Ya Husein
Malam itu, Ummu Salamah bermimpi melihat Rasulullah Saw. dengan rambut kusut, baju lusuh dan kepalanya bertabur tanah. Dalam mimpi itu, Ummu Salamah bertanya, “Ya Rasulullah, ada apa gerangan hingga kulihat rambutmu kusut dan bajumu lusuh begini?” Beliau menjawab, “Ketahuilah Ummu Salamah, putra kesayanganku, al-Husain, telah wafat, dan aku sedang menggali kuburan untuknya dan sahabat-sahabatnya.” Ummu Salamah segera terbangun sambil menggigil ketakutan. Lalu ia segera melihat botol berisi tanah Karbala yang pernah dititipkan Rasulullah Saw. kepadanya aga disimpan. Ternyata, tanah dalam botol itu sudah menjadi merah berdarah.
Yâ Husainâh!
Ketika tubuh al-Husain terkapar di atas tanah, si durjana Syimir menghampirinya lalu menendangnya dan duduk di atas dadanya sambil menjambak rambutnya. Kemudian ia menebaskan pedangnya ke leher al-Husain dua belas kali, lalu memisahkan kepala suci itu dari tubuhnya. Setelah memotong kepala itu, Syimir meletakkannya di atas tongkat yang panjang.
Seperti kerasukan setan, mereka tidak merasa puas dengan kekejian yang telah mereka lakukan. Maka mereka menyalib tubuh al-Husain yang sudah tidak berkepala itu, dan tidak segan-segan untuk memotong jari tangannya sekadar untuk mengambil cincinnya dan menarik celananya sekadar untuk mengambil ikat pinggangnya.
Ironisnya, perbuatan super sadis itu dilakukan bukan oleh orang-orang kafir dan musyrik yang memang memusuhi Islam dan kaum Muslim, tetapi oleh mereka yang mengaku sebagai umat Muhammad, yang adalah kakeknya. Namun, tindakan mereka amat sangat jauh dari nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang dibawa utusan pembawa rahmat bagi semesta alam itu. Padahal, baru beberapa puluh tahun saja sebelumnya, Muhammad Saw. mengajarkan agar setiap Muslim menjaga hak, harta, kehormatan dan darah Muslim yang lain. Seorang Muslim dituntut untuk membela saudaranya sesama Muslim, membantunya dalam kesulitan, menolongnya dalam kesusahan, menghilangkan kesedihannya, tidak menzaliminya, dan tidak menelantarkannya.
Beliau bersabda, “Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain; tidak boleh dizalimi dan ditelantarkan. Barang siapa memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah akan memenuhi kebutuhan dirinya. Barang siapa melapangkan kesusahan saudaranya, Allah akan melapangkan kesusahan dirinya pada hari kiamat.”
Beliau juga bersabda, “Darah orang-orang Islam dalah setara; yang paling dekat berusaha dibantu dan yang paling jauh dilindungi. Mereka adalah satu tangan terhadap orang-orang selain mereka.”
Bahkan, beliau mengharamkan seorang Muslim memperlihatkan senjatanya—sekadar memperlihatkan—kepada saudaranya, walaupun untuk bergurau. Beliau bersabda, “Siapapun dari kalian tidak boleh memperlihatkan senjata kepada saudaranya, karena ia tidak tahu barangkali setan menarik tangannya sehingga ia terperosok ke dalam lubang di neraka.”
Terlebih lagi, orang yang menjadi korban pembantaian itu adalah keluarga suci Nabi Saw.; orang yang sepantasnya disayangi sebagaimana kakeknya menyayanginya, orang yang semestinya dihormati dan dimuliakan sebagaimana leluhurnya, Muhammad Saw., dihormati dan dimuliakan. Al-Husain adalah buah hati Nabi Saw.
Pada suatu hari, Rasulullah Saw. naik mimbar dengan wajah yang tampak sedih. Al-Hasan dan al-Husain ikut naik bersamanya. Lalu beliau meletakkan tangan kanannya di atas kepada al-Hasan dan tangan kirinya di atas kepala al-Husain. Beliau bersabda, “Ya Allah, sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan rasul-Mu. Dua anak ini adalah keturunanku yang terbaik, asal-usulku yang terpilih, dan keturunanku yang paling utama, yang kutinggalkan di tengah umatku. Jibril telah memberitahukan kepadaku bahwa anakku yang ini akan ditelantarkan dan dibunuh dengan racun, sedangkan yang satunya lagi akan syahid dengan berlumuran darah. Ya Allah, berkahilah dia dalam kematiannya dan jadikanlah dia penghulu para syuhada.”
Syaddad meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. menemui kami pada suatu malam untuk mengerjakan shalat isya. Ketika itu, beliau menggendong al-Husain as. lalu beliau maju untuk mengimami shalat. Setelah menurunkan al-Husain as., beliau bertakbir memulai shalat. Ketika bersujud, beliau melakukannya lama sekali. Maka saya mengangkat kepala lebih dulu. Ternyata, anak itu sedang berada di punggung beliau yang sedang bersujud. Saya pun bersujud lagi. Setelah selesai shalat, saya bertanya, “Ya Rasululah, engkau bersujud dalam shalatmu lama sekali sehingga saya mengira telah terjadi sesuatu atau sedang turun wahyu kepadamu.” Beliau menjawab, “Bukan itu, tetapi anakku ini naik ke punggungku dan aku tidak ingin mengganggunya. Aku membiarkannya hingga ia merasa puas.”
Abu Hurairah berkisah: Saya melihat sendiri dan mendengar dari Rasulullah Saw. bahwa beliau memegang tangan al-Husain as. lalu kedua kakinya diletakkan di atas kaki Rasulullah Saw. sambil berkata, “Naiklah! Naiklah!” Anak itu naik hingga menginjakkan kedua kakinya di dada Rasululah Saw. Kemudian beliau berkata, ‘Bukalah mulutmu!’ Beliau menciumnya, lalu berkata, ‘Ya Allah, cintailah dia karena aku sangat mencintainya.’”
Di mana pun dan dalam masyarakat apapun, setiap sesuatu yang ada kaitan dengan pemimpin mereka selalu dihormati dan dimuliakan. Ada suatu tempat yang selalu dipelihara, sering didatangi dan diyakini oleh masyarakat dapat mendatangkan berkah karena, konon, pernah ditempati atau disinggahi pemimpin yang dianggap suci dan dihormati. Ada kereta kuda yang selalu dijaga, dirawat, disakralkan, dan bahkan diyakini bisa mendatangkan berkah, karena pernah digunakan oleh pemimpin yang dihormati. Ada benda-benda yang diyakini bertuah dan memiliki keampuhan untuk mengobati penyakit atau melindungi diri dari bala karena pernah digunakan oleh pemimpin yang disegani. Terlebih lagi terhadap anak keturunan pemimpin itu.
Adakah orang yang lebih suci, lebih mulia dan lebih terhormat daripada Nabi penutup segala nabi? Sudah sepantasnya bila orang-orang yang mengenal nilai-nilai kemanusiaan dan berjiwa hanif, dari agama dan keyakinan mana pun, menghormati dan memuliakan anak keturunannya karena penghargaan dan penghormatan kepadanya.
Seorang utusan kaisar Romawi datang kepada Yazid. Ketika utusan itu datang, Yazid sedang memukul-mukul mulut suci al-Husain as. dengan tongkat. Ketika utusan itu melihatnya dan tahu bahwa itu adalah kepala cucu Nabi Saw., ia berkata, “Dalam keyakinan kami, di suatu tempat di bumi ini ada telapak kaki keledai milik Isa as. Kami selalu mengunjunginya setiap tahun, walaupun harus datang dari tempat-tempat yang jauh. Kami mempersembahkan nazar kepadanya dan mengagungkannya seperti kalian mengagungkan kitab suci kalian. Oleh karena itu, aku bersaksi bahwa, dengan tindakan ini, kalian telah melakukan tindakan yang keji.”
Dalam kesempatan lain, seorang pendeta Kristen tergerak hatinya untuk rela mengeluarkan uang beberapa dirham sekadar untuk bisa mencium kepala al-Husain. Ketika itu, kepala al-Husain diletakkan di ujung tombak yang ditancapkan di dekat biaranya. Pada tengah malam, pendeta itu mendengar suara tasbih dan tahlil. Ia juga melihat cahaya terpancar dari kepala suci itu dan mendengar seseorang berkata, Assalâmu ‘alaika, yâ abâ ‘abdillâh (salam sejahtera bagimu, wahai Abu ‘Abdillah). Maka ia pun terheran-heran tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Keesokan harinya, ia bertanya kepada orang-orang di sana. Mereka menjawab, “Itu adalah kepala al-Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib. Ibunya adalah Fathimah putri Nabi Muhammad Saw.” Mendengar jawaban itu, sang rahib berkata kepada mereka, “Celakalah kalian! Benarlah apa yang disebutkan dalam berbagai berita, bahwa jika ia terbunuh, langit akan menurunkan hujan darah.”
Kemudian, ia meminta izin kepada mereka agar dapat mencium kepala itu. Akan tetapi, mereka tidak mengizinkannya kecuali bila ia membayar beberapa dirham kepada mereka. Ia pun rela membayar semata-mata agar bisa mencium kepala al-Husain.
Ketika al-Husain as. mati syahid, dunia mengalami kegelapan selama tiga hari dan menjadi hitam pekat sehingga orang-orang mengira bahwa kiamat telah tiba. Selain itu, bintang-bintang muncul pada tengah hari. Tidak terlihat cahaya matahari selama tiga hari penuh. Ketika itu, penghulu pemuda penghuni surga itu dibiarkan tanpa busana di atas tanah.
Diriwayatkan dari Zurarah dari Ja‘far al-Shadiq as., bahwa langit menangisi kesyahidan al-Husain selama empat puluh hari dengan menampakkan mega merah, bumi menangisinya selama empat puluh hari dengan menampakkan warna hitam, dan matahari menangisinya selama empat puluh hari dengan gerhana dan nenampakkan cahaya merah.
Ketika kepala al-Husain dibawa ke Damaskus dan dipancangkan di suatu tempat di pasar, dan di sana ada hiruk-pikuk orang yang berlalu-lalang dan suara gaduh orang-orang yang beradu tawar, penghulu apra syuhada itu ingin menarik perhatian orang-orang kepadanya agar mendengar nasihatnya. Kepala itu berdehem keras sekali sehingga orang-orang menoleh kepadanya. Mereka diliputi kebingungan, karena sebelum hari al-Husain terbunuh, belum ada kepala yang sudah terputus bisa berdehem. Ketika itu, ia membaca surah al-Kahfi hingga ayat: Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk—(QS Al-Kahfi [18]: 13)
Kepala itu diikatkan ke pohon lalu orang-orang berkumpul di sekelilingnya. Mereka melihat cahaya terang itu. Lalu kepala itu berkata, Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali—(QS Al-Syu‘arâ’ [26]: 227).
Ibn Wakidah mengatakan bahwa ia mendengar kepala itu membaca surah Al-Kahfi sehingga ia ragu apakah suara itu berasal dari kepala tersebut atau dari orang lain. Lalu kepala itu berhenti membacanya dan menoleh kepadanya sambil berkata, “Hai Ibn Wakidah, tidakkah kamu tahu bahwa kami, para imam, tetap hidup dengan diberi rezeki di sisi Tuhan mereka?”