Penyusunan Alquran
Al-Quran merupakan firman Allah Swt yang turun secara berangsur-angsur selama 23 tahun, dan urutan ayatnya tidak seperti yang kita lihat dalam Mushaf yang ada. Mayoritas ulama meyakini bahwa wahyu pertama yang turun kepada Rasulullah Saw adalah 5 ayat pertama dari surat al-‘Alaq bukan surah al-Fatihah.
Nah pertanyaannya sekarang adalah penyusunan Al-Quran yang umumnya beredar saat ini atas perintah siapa? Di zaman siapa dan bagaimana prosesnya?
Dalam penyusunan dan pengumpulan al-Quran terdapat polemik di antara para ulama, sebagaimana terlihat dalam tiga pendapat berikut ini:
Pendapat pertama, penyusunan al-Quran terjadi setelah wafat Rasulullah Saw. Pendukung pendapat ini beragumentasi bahwa:
- Kemungkinan penyusunan al-Quran sulit dilakukan mengingat proses turunnya wahyu saat itu terpisah-pisah dan tidak teratur.
- Riwayat-riwayat juga menunjukkan bahwa saat Nabi wafat, al-Quran tidak terkumpul sama sekali.
Pendapat kedua, penyusunan al-Quran dengan urutan ayat dan surah-surah yang kini kita lihat sudah terjadi pada masa Rasulullah Saw. Kelompok ini berdalil:
- Jika tidak disusun pada masa Rasulullah Saw, keterjagaan Al-Quran dari tahrif sangat sulit dibayangkan. Bagaimana penyusunannya akan maksimal jika tidak dihadiri oleh sosok yang bersentuhan langsung dengan wahyu tersebut.
- Tantangan al-Quran yang memestikan ayat dan surah-surah itu sudah tersusun.
- Beberapa riwayat juga menunjukkan adanya beberapa sahabat yang sibuk melakukan penyusunan ini. Sya’bi menuturkan bahwa ada 6 orang dari Anshar telah mengumpulkan al-Quran di masa Rasulullah Saw. Mereka adalah Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Mu’adz bin Jabal, Abu Darda’, Said bin Ubaid dan Abu Zaid.
Pendapat Ketiga meyakini bahwa quran memiliki tiga tahap pengumpulan dan penyusunan: tahap pertama, penyusunan ayat demi ayat yang dilakukan pada masa Rasulullah Saw. Tahap kedua adalah pengumpulan mushaf-mushaf yang tercecer ke dalam sebuah jilid, terjadi pada masa Abu Bakar. Tahap ketiga, pengumpulan seluruh Al-Quran dari para pencatat wahyu sebagai upaya penyatuan dalam bacaan atau yang lainnya. Tahap ketiga ini terjadi pada masa Utsman. Pendapat ketiga ini juga mengemukakan dalil-dalil dan argumentasi yang dapat dirujuk dalam kitab-kitab Ulumul Quran.
Al-hasil, terlihat bahwa mayoritas ulama Islam tidak menyetujui pendapat bahwa penyusunan al-Quran terjadi pada zaman Rasulullah Saw. Namun demikian ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa penyusunan sudah dilakukan pada masa Nabi dan menolak secara tegas tiga tahapan pada masa para khalifah itu. Di antara mereka adalah Ayatullah Khu’i dalam kitab al-Bayan, Ayatullah Hasan Zadeh Amuli dan Dr. Subhi Saleh dalam kitab al-Mabahis Fi Ulumil Quran, hal 73.
Ayatollah Khu’I menyatakan beberapa sebab dan keberatan:
- Hadis-hadis yang menunjukkan pengumpulan dan penyusunan Al-Quran setelah wafat Rasul Saw berkontradiksi satu sama lain. Ada yang mengatakan pada zaman Abu Bakar, ada yang mengatakan pada zaman Umar bin Khatab, dan sebagian pada zaman Utsman.
- Hadis-hadis tersebut bertentangan dengan riwayat yang menegaskan penyusunan itu pada masa Nabi.
- Hadis-hadis tersebut bertentangan dengan logika sehat. Tidak mungkin Nabi yang begitu perhatian terhadap al-Quran baik dalam pengumpulan dan pencatatannya tidak menyuruh para sahabat untuk melakukannya. Hal-hal kecil saja beliau perhatikan, tak mungkin al-Quran diabaikan.
- Riwayat-riwayat tersebut juga bertentangan dengan ijmak muslimin akan kemutawatiran al-Quran karim.
- Penyusunan yang terlambat atau kasep semacam ini tentunya tidak dapat menepis sanggahan adanya tahrif al-Quran secara sempurna.
Hanya saja, keberatan-keberatan ini dijawab oleh para ulama dengan pernyataan berikut ini:
Masalah pengumpulan dan penyusunan al-Quran adalah kasus sejarah dan tidak ada kaitannya dengan masalah logika, sehingga kita harus merujuk kepada teks-teks sejarah yang kredibel dan valid.
Untuk menjawab pertanyaan mengapa al-Quran tidak tersusun pada zaman Nabi, kelompok ini menjawab bahwa perhatian Nabi terfokus pada penyusunan dan perangkaian ayat demi ayat. Pengumpulan dan penyusunan surah-surah sebagai satu mushaf satu yang utuh dilakukan setelah wafat beliau. Sebabnya adalah beliau senantiasa menanti turunnya wahyu. Bagaimana kita bisa menerima bahwa al-Quran telah disusun sedangkan wahyunya masih berjalan dan belum berakhir. Oleh karenanya, ketika Rasul sudah menyaksikan tanda-tanda akan dekatnya kematian beliau dan berakhirnya wahyu, beliau memerintahkan dan berwasiat kepada Imam Ali a.s. untuk menyusunnya.
Menurut pendapat ini, setelah wafat Nabi para sahabat besar dengan ilmu dan kemampuannya mereka menyusun al-Quran dan menata surah-surahnya, sehingga masing-masing memiliki mushaf tersendiri. Akhirnya, dengan tersebarnya kawasan pemerintahan Islam, jumlah mushaf itupun bertambah.
Sebagaian mushaf ini semakin populer di kawasan para penyusunnya dan mendapatkan tempat di dunia Islam saat itu. Contohnya, Mushaf Abdullah bin Mas’ud populer di Kufah, Mushaf Abu Musa As’ari di Bashrah, dan Mushaf Miqdad bin Aswad di Damaskus. Para penyusun begitu banyak dan satu sama lain tidak saling berhubungan, sehingga masing-masing memiliki metode, penyusunan, qiroat, dan aspek lain yang berbeda-beda.
Akhirnya perbedaan ini terasa begitu berat di tengah masyarakat, semakin santer sampai merambah ke pusat pemerintahan pada waktu itu, Madinah. Para guru mengajarkan al-Quran kepada murid-murid sesuai bacaan dan metode yang mereka pahami. Hal inilah yang melandasi upaya Usman untuk menyatukan mushaf-mushaf tersebut. Tim penyusun yang ditunjuk terdiri dari: Zaid bin Tsabit, Abdur Rahman bin Harits bin Hisyam, Said bin ‘Ash, dan Abdullah bin Zubair.
Dengan dibantu delapan orang lagi, tim tersebut mulai mengumpulkan mushaf-mushaf yang beredar di pemerintahan Islam kala itu. Akhirnya mereka berhasil membuat dan menyusun al-Quran yang kemudian populer dengan nama Quran Imam atau Quran Utsmani. Atas perintah Usman atau ada yang menyebut atas titah Umar, mushaf-mushaf yang lain dibakar dan dimusnahkan.
Dalam sebuah pernyataan, Mushaf Usmani disalin menjadi empat salinan dan masing-masing dibawa oleh guru-guru qiraat ke pusat-pusat pemerintahan Islam saat itu untuk disebarluaskan.
Para Imam Ahlul bait a.s. mendukung al-Quran tersebut dan menganjurkan untuk membacanya. Allamah Thaba’thabai mengatakan, “Imam Ali a.s., kendati beliau juga mengumpulkan al-Quran sebelum mereka, menunjukkannya tapi tidak diterima dan pada pengumpulan tahap awal dan kedua beliau tidak diberi bagian. Semasa hidupnya beliau sama sekali tidak menentang dan setuju dengan al-Quran yang ada bahkan dalam masa pemerintahan beliau sendiri. Begitu juga dengan para imam Ahlul bait a.s. yang lainnya yang menjadi pelanjut beliau, tidak pernah mengatakan sepatah kata pun tentang ketidaksetujuannya kepada al-Quran tersebut bahkan kepada pengikut dan sahabat karib mereka. Malah sebaliknya, mereka memerintahkan para pengikutnya untuk mengikuti bacaan yang dibaca oleh muslimin lainnya.