Arogansi Mayoritas atau Tirani Minoritas?
Oleh: Husein Muhammad Alkaf
IkmalOnline –Beberapa hari setelah aksi demo tanggal 4 November (411), ketika saya menunggu moda angkutan travel ke Jakarta, seseorang yang sering saya lihat di pool travel bertanya kepada saya, “Bagaimana pendapat Bapak tentang demo kemarin? ” Saya jawab, “Banyak sekali yang ikut. ” Dia tiba-tiba nyerocos, “Luar biasa. Sudah saatnya mayoritas berkuasa. Selama ini, umat Islam tertindas dan terzalimi oleh minoritas “, katanya sambil menyebutkan etnis dan agama tertentu. “Ini saatnya umat Islam harus menjadi tiran”, lanjutnya dengan bersemangat. Sayang, tidak lama kemudian, kendaraam travel datang. Pembicaraan pun terputus dan berakhir. Saya tidak tahu siapa orang itu dan apa aktivitasnya. Sekilas , orang itu terlihat cukup berpendidikan, dan secara penampilan juga agak religius.
Bukan peristiwa demonya yang akan saya bahas, karena peristiwa tersebut sudah out of date. Saya akan membahas sisi menarik dari obrolan sekilas saya dengan orang itu. Dari pembicaraan orang itu, saya menangkap ada semacam dendam terhadap kelompok minoritas etnis dan agama tertentu. Kelihatannya, dia meyakini bahwa demo dipicu oleh akumulasi kebencian dan amarah umat Islam yang terpendam bertahun-tahun. Melalui demo itu, kaum Muslimin ingin unjuk kekuatan dan menuntut hak mereka sebagai mayoritas. Menariknya, orang tersebut untuk mendorong ummat Islam yang mayoritas di negeri ini agar menjadi tiran. Masalah inilah yang akan saya bahas.
Istilah tirani sebenarnya tidak cocok disematkan kepada kelompok mayoritas, melainkan minoritas. Tirani awalnya adalah istilah yang diberikan kepada aristokrat tunggal yang berkuasa di masa Yunani kuno. Awalnya, kata tersebut berkonotasi netral. Akan tetapi, ketika kekuasaan tirani jatuh ke tangan seorang aristokrat bernama Hippias, istilah ini mengalami perubahan rasa. Hippias yang bertindak sewenang-wenang saat menjadi tiran kemudian dijadikan contoh tentang kesewenang-wenangan dan penindasan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok elit saat sedang berkuasa.
Bagaimana jika yang melakukan kesewenang-wenangan itu adalah kelompok mayoritas? Para ahli politik mengistilahkannya sebagai hegemoni, dominasi, atau arogansi. Dan yang pasti, baik tirani atau arogansi, keduanya merupakan perilaku yang buruk. Kesewenang-wenangan dan ketidakadilan tetaplah menjadi sebuah keburukan, baik itu dilakukan oleh mayoritas ataupun minoritas.
Indonesia adalah negara yang terdiri dari berbagai suku, etnis, agama dan mazhab. Seseorang dilahirkan dari suku atau etnis tertentu bukan merupakan pilihannya, melainkan sebuah takdir dari Allah SWT. Islam sendiri tidak membeda-bedakan suku, etnis, dan bangsa. Tiap suku atau etnis tersebut bisa menjadi mayoritas di satu tempat, dan bisa juga menjadi mayoritas di tempat lain.
Berbeda dengan suku dan etnis, agama dan mazhab adalah sebuah pilihan. Tuhan Yang Mahabijaksana memberikan kepada manusia akal untuk berpikir dan kemudian menentukan agama dan mazhab yang akan dianutnya. Agama dan mazhab merupakan tawaran-tawaran yang dijajakan kepada manusia. Dan Islam pun, sebenarnya, memberikan kepada manusia hak untuk memilih agama dan mazhab.
Sebagaimana suku dan etnis, beragama dan bermazhab juga tidak lepas dari kenyataan sosial yang bersifat relatif: mayoritas dan minoritas. Agama dan mazhab bisa menjadi mayoritas dan minoritas di tempat dan lingkungan yang berbeda. Jadi, mayoritas dan minoritas sebuah agama dan mazhab juga bersifat relatif.
Dalam sebuah negara yang pluralis dari sisi suku, etnis, agama dan mazhab seperti Indonesia, semua rakyat harus mendapatkan haknya sebagai warga secara adil. Kelompok mayoritas dan kelompok minoritas harus hidup berdampingan dan mereka bebas menjalankan ajaran agama dan mazhabnya. Dengan itu, mereka semuanya, tanpa kecuali, dapat hidup dengan aman dan tenang, tanpa curiga dan benci. Hal ini dijamin sepenuhnya oleh UUD 45 pasal 28 E dan pasal 29 ayat 2.
Selain UUD 45 itu, perlu juga dibangun sebuah kesadaran di tengah masyarakat tentang nilai-nilai agama dan kemanusiaan, antara lain, sikap saling mengayomi dan menghormati. Kelompok mayoritas harus menyayomi kelompok minoritas sedangkan kelompok minoritas harus menghormati kelompok mayoritas. Yang kuat dan besar mengayomi yang lemah dan kecil; sedangkan yang lemah dan kecil menghormati yang kuat dan besar. Inilah pesan abadi yang disampaikan oleh Rasulullah SAW dengan sabdanya: “Man lam yuwaqqir kabîranâ wa lam yarham shaghîranâ falaysa minnâ – Siapa saja yang tidak menghargai yang besar dan menyayangi yang kecil, dia bukan bagian dari kami.”
Memang benar bahwa sebuah bangsa akan hancur ketika kekuasaan dan fasilitas negara dinikmati dan digunakan secara sewenang-wenang oleh segelintir orang saja dari kelompok minoritas (non-Muslim). Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa ummat Islam yang mayoritas boleh bertindak sewenang-wenang kepada kelompok minoritas. Upaya untuk berjuangan melawan tiranisme jangan sampai disusupi oleh nafsu dendam dan keinginan untuk berbuat zalim/arogan kepada kaum minoritas manakala cita-cita itu tercapai.
Sungguh hal yang tercela dalam agama kalau kelompok mayoritas bersikap arogan sehingga memaksakan kehendaknya atas kelompok minoritas. Juga merupakan tindakan yang keliru manakala pihak berwajib, alih-alih melakukan tindakan hukum apapun terhadap aksi sewenang-wenang kelompok mayoritas, malah mendukung mereka dengan dalih demi kestabilan warga dan masyarakat. Tentu yang dimaksud degan warga dan masyarakat di sini adalah warga dan masyarakat mayoritas yang terganggu oleh kegiatan kelompok minoritas.
Alhasil, arogansi mayoritas ataupun tirani minoritas, keduanya harus dilawan dan dibuang jauh-jauh demi mewujudkan kehidupan yang tenang, damai, dan sejahtera bagi semua lapisan masyarakat. Pilihan yang terbaik adalah mayoritas yang mengayomi dan minoritas yang menghormati.