Cinta Sufistik Perspektif Rumi (Bagian Pertama)
Surat Cinta
Sesungguhnya cinta yang suci adalah obat yang mujarab yang mencair di dalamnya kedengkian sebagaimana mencairnya garam dalam air. Cinta abadi adalah tongkat yang menyihir, dimana ia menyihir hati yang membatu dan kering serta karakter-karakter yang membangkang dan culas, lalu ia mengiringnya ke arah yang dikehendakinya.
Cinta yang murni akan mengubah musuh bebuyutan menjadi sahabat yang setia dan mengubah kebencian dan permusuhan menjadi kecintaan dan persahabatan serta membentuk dua kubu yang saling bertarung dan berperang menjadi satu kesatuan dan satu hati, dimana jika ada anggota tubuh yang merasa sakit maka semuanya juga merasa sakit. Allah SWT berfirman: “Maka tiba-tiba orang yang di antaramu dan dia ada permusuhan seolah-olah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (QS. Fushilat: 34-35)
Bila kita membuka-buka kembali lembaran kehidupan masyarakat Islam pada abad pertama maka kita akan menemukan cahaya cinta, persaudaraan, kedamaian yang menghiasi keadaan mereka. Sejarah Islam dipenuhi dengan hal yang demikian itu yang jarang ditemukan pada sejarah umat-umat lain.
Jika saat ini kita memikirkan keadaan kaum Muslim lalu kita amati secara mendalam berbagai aktifitas islami dan gerakan Islam yang dipelopori oleh lembaga-lembaga keislaman yang beraneka ragam, yang selanjutnya kita melihat problema-problema sosial yang menimpa dunia Islam di setiap tempat, maka kita akan melihat bahwa sebab dari semua itu adalah kurangnya perhatian terhadap cinta dan usaha meremehkannya dalam agama Islam serta keperluannya bagi masyarakat manusia.
Hendaklah para pemuda Muslim kita menjadikan cinta dan ikhlas sebagai slogan pertamanya, dan tugas utamanya adalah menyebarkan cinta di antara manusia serta menjelaskan keutamaannya. Sehingga awan kegelapan tersingkap dan problema-problema pelik yang menggelilingi kaum Muslim menjadi hilang, dan agar mereka tidak menjadi tawanan harta, karena harta meskipun banyak dan melimpah tidak akan mampu mengisi kekosongan spiritual itu. Harta tidak akan mampu menggantikan hati dan bagian-bagiannya, pikiran dan cakrawalanya, dan cinta serta kepahlawanannya. Begitu juga, ia tidak mampu menggantikan apa-apa yang tersembunyai di balik panca indera (metafisik) dan apa-apa yang realistis (nyata atau kongkrit), dan ia tidak dapat melihat apa-apa yang ada di balik lambung dan syahwat, yakni syahwat perut dan kemaluan.
Cinta adalah batu fondasi dalam pembangunan Islam, yang disuarakan oleh Al-Qur’an dan dianjurkan oleh Nabi saw serta diamalkan oleh kaum Muslim pada abad pertama, generasi demi generasi. Maka, kalau bukan karena cinta, Islam tidak akan bersinar secemerlang sekarang.
Menurut hemat saya, cinta adalah api yang jika ia menyala maka ia akan membakar apa saja selainnya, sehingga tidak ada lagi kesombongan, ketakutan, kesedihan, kebencian, kedengkian, dan berbagai penyakit hati lainnya.
Dunia Cinta
Namun tidak ada jalan menuju cinta ini kecuali melalui hati yang hidup, yang penuh dengan gairah dan semangat. Dan aspek rasional begitu menggelora dan mencuat ke permukaan di masa Jalaluddin ar-Rumi sehingga terkesan malampaui batas yang berdampak pada tersingkirnya hati. Namun sejauh apapun pencerahan akal saat itu, hati justru mengalami kelesuan dan kekeringan serta kehilangan gairah dan kehidupannya. Alhasil, perut adalah kutub yang berputar di sekelilingnya roda kehidupan.
Antara Hati dan Akal
Jalaluddin ar-Rumi membandingkan antara cinta yang murni dan akal yang cerdas dalam perkataannya:
Sesungguhnya cinta adalah warisan ayah kita Adam as, sedangkan kecerdasan adalah barang dagangan setan. Orang cerdas yang bijak akan selalu bersandar pada dirinya dan akalnya, sedangkan cinta selalu mengupayakan penyerahan dan kepasrahan. Akal adalah kolam renang dimana terkadang dengannya manusia akan sampai ke tepi dan terkadang ia justru tenggelam. Sedangkan cinta adalah bahtera Nabi Nuh as, dimana orang yang menaikinya tidak akan merasa khawatir dari tenggelam.
Demikianlah perahu kehidupan menghadapi goncangan ombak yang dahsyat dimana untuk berenang di dalamnya tidaklah mudah. Maka, hal terbaik yang harus dilakukan manusia adalah berlindung kepada perahu yang aman dari tenggelam, yaitu perahu iman dan cinta. Dengan memberikan alasan, ar-Rumi berkata: “Aku telah melihat banyak orang yang menguasai renang dengan baik justru tenggelam dalam laut yang dalam ini, namun aku belum pernah melihat perahu iman yang tenggelam.
Selanjutnya, beliau berkata: Tidak setiap orang dapat menjadi kekasih; karena hal itu membutuhkan sifat-sifat dan keutamaan-keutamaan yang tidak diberikan pada setiap orang. Namun, hendaklah setiap orang mengambil bagiannya dari cinta dan menikmatinya. Jika Anda kehilangan kesempatan untuk menjadi kekasih maka Anda belum kehilangan kesempatan untuk menjadi pecinta, dan jika Anda belum beruntung untuk menjadi Yusuf, maka tidak ada yang menghalangimu untuk menjadi Ya`qub. Apa gerangan yang mencegahmu untuk menjadi pemilik cinta yang tulus dan seorang yang selalu pengasih!