Demi Bisa, Ataukah Karena Sanggup Pergi Haji?
Kabarmakkah.com memberitakan tentang seorang pria warga Bosnia bernama Senad Hadzic, yang pergi haji dengan berjalan kaki dari negaranya menuju Mekah. Ceritanya terjadi empat tahun yang lalu. Ia berangkat pada bulan Desember 2011 dan tiba di Mekah tahun 2012, melewati tujuh negara termasuk Suria, yang saat itu –dan sampai kini belum berakhir- dilanda peperangan melawan pemberontak dari kaum radikalis. Terhitung jarak perjalanan yang dia tempuh, sepanjang 5700 km dalam waktu hampir setahun lamanya. Semoga ibadah hajinya mabrur, insya Allah.
Tidak sedikit kisah “demi bisa naik haji”, yang mengesankan dengan jalan cerita yang beragam. Terlepas dari apa yang dikabarkan itu benar atau tidak, seperti kisah “Tukang Bubur Naik Haji”, yang sampai disinetronkan di salah satu chanel televisi kita dalam mungkin bisa sampai “seribu satu seri”, atau bahkan lebih tergantung pesanan.
Namun kisah yang satu ini fakta, terjadi di tahun ini 2016. Diberitakan oleh liputan6.com, tentang seorang kakek usia 90 tahun. Kakek yang bernama Ambari bin Ahmad warga Cirebon ini, giat dan konsisten menabung sejak zaman Presiden Soekarno. Semoga hajinya mabrur, kek!.
Soal Syarat Keislaman
Sudah maklum bagi kita bahwa haji adalah salah satu rukun Islam, dan bagian dari dharuriyat ad-dîn (perkara-perkara yang sangat jelas dalam agama). Maka meninggalkan kewajiban haji dengan sengaja -dalam arti telah kukuh bagi seseorang- termasuk dosa besar, dan mengingkarinya termasuk kufur.
Allah swt berfirman: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS: Al Imran 97)
Banyak hukum di dalam haji, di antaranya yang merupakan persyaratan bagi kewajiban dan kesahannya, dan yang merupakan rukun-rukun serta hukum-hukum lainnya. Mengenai bahwa Islam sebagai syarat wajib haji, menurut tiga mazhab harus dipenuhi. Tapi tidak, menurut mazhab Maliki.
Imamiyah berpendapat bahwa taklif syar’i tertuju pada semua mukallaf termasuk yang non muslim. Sebagaimana pendapat yang masyhur, bahwa orang non muslim pun dikenai taklif. Andai pun ia melakukan ihram, setelah itu masuk Islam, maka ia harus mengulangi ihramnya.
Mazhab Maliki mengatakan: “Keislaman adalah syarat bagi kesahan haji, bukan bagi kewajibannya. Ibadah haji (juga) wajib bagi orang non muslim, tetapi tidaklah sah dilaksanakan sebelum (masuk) Islam.”(1)
Kewajiban yang Bersifat Langsung
Bila seseorang telah memenuhi persyaratan wajib haji, dan karena kewajiban ini bersifat langsung atau segera, maka tidak boleh ia menundanya dari awal tahun dalam keadaan sanggup. Demikian menurut mazhab Imamiyah dan tiga mazhab lainnya. Sedangkan mazhab Syafi’i berpendapat atas kelonggaran (tarâkhi). Artinya, boleh ditunda sampai di tahun lainnya, dengan dua syarat:
1-Tidak dikhawatirkan (kewajiban ini) akan ditinggalkan, baik dikarenakan lanjut usia dan kondisi lemah maupun dikarenakan kehabisan harta.
2-Harus diniatkan sungguh-sungguh akan dilaksanakan nanti. Jika tidak, maka berdosa.(2)
Mengenai kewajiban yang bersifat langsung atau segera dan tidak dapat ditangguhkan, dimungkinkan -dan menurut penilian akal- adalah bagian dari dharuriyatul fiqh (perkara-perkara yang jelas dalam fikih).
Sekiranya tidak bersifat langsung, tetapi akal menilai bahwa semua yang wajib harus dilakukan dengan segera. Lain halnya bila didapati sebuah wutsûq (kepercayaan) akan tiadanya sifat langsung itu. Akan tetapi, dalam biasanya tidak ada wutsûq bahwa kewajiban ini bisa menetap –dalam arti boleh dilakukan (penerj)- di tahun berikutnya.(3)
Tiga Macam Kesanggupan Berhaji
Allah swt berfirman: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah..”
Mengenai maksud dari ayat ini, Imam Shadiq as pernah ditanya oleh Hisyam bin Hakam, dan beliau menjawab: “(Adalah bagi) Siapa yang sehat badannya, lapang jalannya, punya bekal dan kendaraan.”(4)
Diterangkann bahwa istithâ’ah atau kesanggupan terbagi tiga macam:
1-Kesanggupan fisik (istithâ’ah badaniyah), maka tidak wajib bagi yang sakit, tidak mampu atau kesulitan naik (kendaraan) walaupun di atas mobil atau pesawat.
2-Kesanggupan waktu (istithâ’ah zamaniyah), maka tidak wajib bila waktunya sempit yang tidak memungkinkan sampai pada haji, atau memungkinkan (tapi) dengan penuh kesulitan.
3-Kesanggupan perjalanan (istithâ’ah sarabiyah), dalam arti di jalan tidak ada hambatan yang tidak memungkinkan sampai pada miqat atau pada semua amalan.. (5)
Akan dilanjutkan tema pembahasan ini di bagian kedua dalam kesempatan lain, insya Allah.
M.Ilyas
1-Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah wa Mazdhab Ahlilbait, juz 1, kitab al-Haji.
2-ibid
3-Durus Tamhidiyah fil Fiqh al-Istidlali/Syekh Baqir Irawani, juz 1, hal 240.
4-Al-Wasail, bab 8, tentang kewajiban haji, hadis 7
5-Tafshil asy-Syari’ah fi Syarh Tahrir al-Wasilah/, kitab al-Haji