Epistemologi Agama (2)
Oleh: Andi Mahdi
Teologi Baru
Salah satu persoalan yang menerpa kaum agamis adalah ketika dihadapkan pada muatan-muatan teks suci yang diyakini. Pertanyaan fundamental bak tsunami menghantam keyakinan mereka terhadap teks-teks suci yang disakralkan. Tidak sedikit, mereka terjebak pada dikotomi kelompok. Sebagian, mulai terbawa arus tsunami dan “ikut-ikutan” mempertanyakan kembali teks agama. Lainnya menolak segala bentuk rasionalitas dan rasionalisasi teks suci. Dikotomi tersebut membelah pandangan kaum agamis menjadi lateralis dan liberalis. Minimnya modal disiplin ilmu yang mereka miliki merupakan konsekuensi dari dikotomi tersebut. Padahal, terdapat jalan tengah yang dapat menjembatani antara keimanan dan rasionalitas. Jalan tengah tersebut adalah dengan tidak mengabaikan sisi-sisi pengetahuan yang digunakan untuk memperkuat keyakinan.
Jika kita menyelisik tujuan ilmu kalam yaitu, menjaga keyakinan dan keimanan dari terpaan kritik fundamental, maka dapat dimengerti tujuan sebagian pemikir kontemporer muslim menggagas Teologi Baru (new theology) sebagai jembatan yang menengahi antara rasionalitas dengan keimanan.
Teologi Baru merupakan “jabang bayi” di tengah-tengah kaum muslimin. Tentunya, bahasan dan istilah teologi ini bukanlah hal yang asing bagi dunia Barat. Masuknya Teologi Baru di tengah kaum muslimin adalah andil sebagian pemikir kontemporer muslim yang menganggap terpaan badai kritik terhadap gereja juga bisa berlaku kepada teks-teks suci, Alquran dan riwayat.
Tidak dipungkiri, badai kritik terhadap gereja dengan mempertanyakan validitas muatan teks Injil yang dibenturkan kepada sains. Diawali dari Galileo Galilei yang berujung pada fatwa mati atasnya. Tragedi Galleleo memicu kemarahan kaum Saintis untuk melakukan perlawanan terhadap hegemoni keimanan yang diwakili oleh gereja. Klimaksnya, gelombang Renaissance di Prancis dan Aufklarung di German memudarkan hegemoni tersebut.
Namun, badai tersebut tidak berhenti dengan memudarnya hegemoni gereja, bahkan menampakkan kegigihannya dan menancapkan pondasi-pondasi berfikirnya semakin kuat. Berbagai karya ilmiah dari mulai koronal, esseai dan buku terbit secara masif. Menariknya, pihak gereja pun lemah menghadapi badai kritik tersebut.
Mengamati sekelumit perjalanan pemikiran yang terkait dengan agama, maka sangat dimaklumi bila sebagian pemikir muslim kontemporer memasukkan Teologi Baru sebagai satu disiplin pengetahuan di tengah-tengah kaum muslimin.
Bahasan-bahasan seperti, hubungan agama dengan sains, agama dan etika, definisi agama, pluralitas gagasan terhadap muatan agama, hermeneutik dan tafsir dan kembang-kencup pengetahuan agamis merupakan sekian dari kajian Teologi Baru.
Epistemologi teks
Salah satu hal terpenting dan terkait dengan seluruh bahasan teks adalah epistemologi teks. Bahkan, kajian tersebut menjadi landasan bagi hermeneutik, semiotik dan tafsir. Teks merupakan media untuk memindahkan keinginan penulis kepada pembaca, sebagaimana kalimat yang terucapkan merupakan media untuk menjelaskan keinginan pembicara yang tersembunyi di benaknya kepada pendengar. Teks harus mewakili kehendak penulis agar benar-benar dimengerti oleh pembaca. Seluruh teks memiliki tujuan tersebut tanpa terkecuali, termasuk teks-teks suci agama. Namun, tidak setiap teks memiliki tingkatan yang sama. Teks sastra berbeda dengan teks ilmiah, begitu pula teks agama. walaupun, sama dalam tujuan.
Terdapat dua aliran dalam menghubungkan makna dengan teks. Kelompok pertama, Atomistic, menganggap bahwa makna dari sebuah teks itu terkandung dalam kalimat-kalimat. Di mana setiap kalimat memiliki kekhususan tersendiri. Sedangkan kelompok kedua, Holistic, berkeyakinan bahwa makna dari sebuah teks tidak diperoleh serta-merta dari sebuah kalimat, melainkan dari kalimat-kalimat tersusun yang menjadi satu kesatuan, seperti sulaman benang, sehingga memiliki makna khas darinya. Setiap bagian dari sulaman tersebut, kalimat, memiliki peran khusus dan unik untuk membentuk makna dari sekumpulan bagian-bagiannya.
Selanjutnya, permasalahan makna dan teks berkembang pada pembatasan makna dan kebebasan makna. Dengan artian, apakah makna dari setiap teks memiliki keterbatasan atau bebas tanpa sekat. Gadamer berpendapat, makna dari setiap teks tidak ditentukan. Ia tergantung dan terhubung dengan pendengar dan pembacanya hingga ia dapat dimengerti. Lain halnya dengan Gadamer, Derrida, pendiri mazhab dekonstruksi, berpandangan bahwa mungkin sekali makna dari sebuah teks tidak memiliki batasan. Dan sama sekali tidak ada satu makna bisa menjustifikasi makna lainnya. Karena, makna merupakan satu permainan dari tanda-tanda yang tiada batasannya. Ketika tanda-tanda tersebut berhadapan dengan tanda lainnya, bisa saja memberikan makna-makna temporal, akan tetapi makna-makna tersebut sama sekali tidak memiliki batasan.
Berbeda dengan pandangan di atas, terdapat satu kelompok lainya yang berpendapat bahwa hanya terdapat satu makna dari satu teks. Perseteruan dua pandangan di atas, berakibat pada munculnya kelompok ketiga yang berdiri di antara keduanya, netral. Kelompok ini menawarkan pandangannya berkaitan dengan masalah hubungan antara teks dan makna dengan menegasikan bahwa teks hanya memiliki makna tertentu dan makna memiliki makna yang tidak terbatas. Menurutnya, makna dari sebuah teks memiliki batasan-batasan tertentu yang menyebabkan munculnya makna yang beragama, tidak tunggal. Beragamnya makna tidak berakhir dengan ketidakterbatasannya makna itu sendiri.
Logika Memahami Agama
Perkembangan pemikiran dunia pengetahuan menarik untuk selalu dikaji dan dicermati. Selain, memberikan wacana baru juga menambah daftar pustaka pengetahuan pada manusia. Diskursus-diskursus dialektik yang panjang di antara para pemikir, baik dalam pengertian penerimaan atau pun penolakan, menelurkan karya-karya menarik. Bahkan, terkadang tidak sedikit menghasil satu disiplin pengetahuan baru. Salah-satunya Teologi Baru di atas itu.
Selain itu, juga terjadi perkembangan pada metodologi memahami agama. Hal tersebut mendapatkan tempat khusus di kalangan pemikir. Sehingga, tidak sedikit dari mereka yang berupaya menawarkan teori dalam metodologi memahami agama.
Sekilas pandang, diskursus tentang agama mendapatkan ruang yang cukup besar di kalangan pemikir dunia, baik kontra atau pun pendukung. Kajian-kajian terhadap agama tidak mensyaratkan para penelaahnya harus sejalan dengan agama, bisa jadi seorang ateis memberikan pandangannya terhadap agama. Oleh karena itu, di sinilah letak mengapa diskursus terhadap agama memiliki ruang yang sangat luas dan menarik. Sebagai contoh kasus, Marx seorang sosialis yang memiliki kecenderungan kuat menolak agama juga menuangkan pandangannya terhadap agama.
Persoalan metodologi memahami agama bukan hal baru, khususnya dalam Islam. Garis-garis besar yang telah diberikan oleh agama itu sendiri ketika mengenalkan dirinya kepada manusia. Secara garis besar, agama memuat dua hal besar, teoretis dan praktis. Seluruh ajaran agama, jika ditarik pada pangkalnya hanya berporos pada dua garis besar tersebut. Teoritis menjelaskan perkara-perkara yang seharusnya diketahui. Sedangkan praktis menerangkan hal-hal yang semestinya dilakukan. Singkat kata, teoretis berbicara pada poros pengetahuan, sedangkan praktis pada core “harus dan tidak”. Akan tetapi, dua garis besar tersebut tidak menjelaskan secara detail metodologi perolehannya.
Mengamati persoalan di atas, para pemikir agama, khususnya dalam Islam, mulai menata bangunan pengetahuan agamisnya dan menganalisa muatan-muatan agama sehingga bisa menelurkan metodologi yang benar dan tepat dalam memahami agama.
Proses dan prosedur memahami agama disebiut dengan logika memahami agama. Sebagai sampel kasus, Syeikh Muhammad Sanad al-Bahraini berpendapat, ushul-fiqih sebagai media untuk memahami agama. Menurutnya, dengan meletakkan ushul-fiqih sebagai landasan besar dalam memahami agama akan memberikan pengertian yang luas dalam menarik kesimpulan-kesimpulan pengetahuan dari agama. Walau pun demikian, Sanad tidak menolak penggunaan rasio, bahkan menurutnya rasio memiliki peran penting dalam menjalankan mekanisme ushul-fiqih sebagai logika memahami agama.
Selanjutnya, Sanad memberikan perluasan makna dan defini ushul-fiqih. Menurutnya, harus melakukan perombakan konsep ushul-fiqih yang selama ini hanya dipahami sebagai satu disiplin pengetahuan yang hanya digunakan untuk menyimpulkan hukum-hukum syariat dari sumber-sumber otentiknya. Definisi populer yang ditawarkan oleh Muhammad Baqir Shadr adalah satu disiplin ilmu yang membahas anasir-anasir umum dalam upaya menyimpulkan hukum dari sumber-sumbernya. Melihat definisi tersebut, Sanad tergerak untuk memberikan pemaknaan baru terhadap ushul-fiqih. Menurutnya, sangat relevan jika kita merobah definisi yang sudah ada. Dikarenakan, ushul-fiqih adalah pengetahuan metodologis sebagaimana logika. Metode dalam peraihan pengetahuan dari sebuah upaya penarikan kesimpulan hukum-hukum praktis. Oleh karena itu, seyogianya, dengan perkembangan zaman, ushul-fiqih tidak lagi dilihat sebagai pengetahuan metodologi dalam ranah hukum-hukum praktis. Namun, diletakkan sebagai metodologi peraihan pengetahuan agamis dari sumber-sumbernya. Dengan demikian, Sanad menawarkan definisi ushul-fiqih dengan adalah satu disiplin ilmu yang membahas anasir-anasir umum dalam upaya menyimpulkan pengetahuan-pengetahuan agamis dari sumber-sumber otentiknya.
Menarik untuk ditelusuri lebih lanjut tawaran Sanad di atas. Dengan menjadikan ushul-fiqih sebagai core besar dalam membaca agama agar diperoleh darinya pengetahuan-pengetahuan agamis, tentunya akan menarik kita pada satu bahasan yang tidak kalah menarik yaitu, intra-disipliner.
Sanad, dalam Imamah Ilahiyah-nya, setelah menjelaskan beberapa jenis pengetahuan sebagai premis atas karyanya, memulai bahasan tentang permasalahan teologi dengan membagi dua jenis hukum. Hukum wâqi’i dan hukum thariqi. Wâqi’i adalah hukum yang langsung mengarah kepada perbuatan manusia, seperti kewajiban salat. Sedangkan thariqi adalah hukum atau aturan-aturan yang termuat dalam ushul-fiqih dalam rangka menyingkap hukum wâqi’i. Selanjutnya, Sanad menjelaskan kemungkinan penggunaan kedua hukum atau aturan tersebut dalam permasalahan-permasalahan teologi. Pada paparannya, Sanad, menarik masalah keimanan pada ranah akal praktis.
Dengan sampel di atas, cukup jelas bagi kita, Sanad telah menawarkan intra-disipliner. Mengawalinya dengan bahasan ushul-fiqih dan berkembang pada kajian akal-praktis. Sudah menjadi mafhum, kajian akal-praktis merupakan satu core besar dalam filsafat. Banyak filsuf besar dunia seperti, Immanuel Kant hingga Derrida memberikan perhatian serius terhadapnya, baik dalam dukungan atau pun kritik.
Sebagai singgungan, persoalan akal-praktis memiliki akar sejarah yang panjang di tengah para filsuf muslim. Dari Ibnu Sina hingga Allamah Thabathabaei persoalan akal-praktis bergulir. Walau pun, pada awalnya permasalahan akal-praktis terkait dengan kasus-kasus teologis, namun bahasan dan terapannya terjalinlindan dengan beberapa disiplin pengetahuan seperti, filsafat dan ushul-fiqih.
Sangat menarik untuk menjelajahi persoalan intra-disipliner. Di mana, terdapat rajutan benang merah antara satu disiplin dengan lainnya. Sehingga, batasan-batasan antara disiplin menjadi semu, walau pun bukan dengan artian roboh.