Haji dan Muatan Politik, Sosial, dan Kebudayaan
Oleh : Sayyed Ali Qadli ’Askar
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, penguasa alam semesta. Rahmat Allah untuk makhluk
terbaik, Muhammad, keluarganya yang baik dan suci, dan sahabat-sahabatnya yang terpilih. Allah SWT berfirman: “Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh, agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan agar mereka menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan. Haji adalah ritual yang paling agung dan salah satu kewajiban terbesar dari lima rukun Islam. Haji adalah di antara amal yang paling utama untuk mendekatkan diri kepada Allah.3 Meninggalkan haji adalah dosa besar yang akan menyebabkan seseorang keluar dari Islam dan dari umat Islam.4 Ibadah haji mengandung aspek-aspek yang khusus, sehingga tidak ada ibadah apapun selainnya yang dapat menyamainya.5 Pahala yang diberikan kepada hamba-Nya yang menunaikan kewajiban ini adalah keridhoan Allah dan kenikmatan surga, sebagaimana sabda Rasulullah saww., “Seandainya engkau menginfakkan emas sebesar gunung Abi Qubais, engkau tetap tidak akan sampai ke tingkat orang yang berhaji dan kemuliaan yang didapatkannya.” Teks pertama yang kita temukan tentang haji adalah ajakan yang disampaikan oleh Nabi Ibrahim as. agar manusia melaksanakan haji. Teks itu berupa firman Allah swt.yang berbunyi “Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji,” dan tujuan dari haji adalah “agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk diri mereka.” Dalam ayat ini kita mendapati adanya sebuah seruan untuk melaksanakan kewajiban
ibadah haji yang disertai dengan penjelasan tentang hikmahnya. Manfaat-manfaat yang dapat diperoleh dalam haji sungguh luas dan tidak terbatas, meliputi manfaat ekonomi, sosial, politik, maupun kebudayaan. Makalah singkat ini akan menjelaskan segala sesuatu yang berkaitan dengan ibadah haji dalam berbagai dimensinya berlandaskan pada Kitab Allah yang mulia, Sunnah Nabi yang agung, dan kata-kata para Imam Ahlul Bait Rasulullah. Saya akan memusatkan pembahasan pada sisi politik, sosial, dan kebudayaan karena ketiganya memiliki nilai yang sangat penting dalam zaman ini.
Realitas Haji Masa Kini
Dewasa ini, kita melihat jutaan orang datang dan berkumpul di Baitullah. Mereka datang dari timur dan barat, dengan etnis dan warna kulit yang berbeda-beda. Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, “Saya melihat Rasulullah saww. saat haji wada’, berpegangan pada pintu Ka’bah dan melihat ke arah para jamaah. Lalu beliau menyebutkan peristiwa yang akan terjadi pada umatnya di akhir zaman. Di antara hadits ini, beliau menjelaskan sedikit tentang haji pada akhir zaman nanti. Beliau bersabda, orang-orang kaya dari umatku berhaji untuk rekreasi, kelas menengahnya berhaji untuk berdagang, dan yang miskin berhaji untuk riya’ dan membanggakan diri.” Dari hadits yang mulia ini kita dapat memahami bahwa Rasulullah saww. mengkhawatirkan nasib umatnya yang kelak akan berhaji dengan motivasi-motivasi yang salah. Ketika ibadah haji berubah menjadi sebuah sarana perdagangan dan rekreasi, sudah tentu akan hilanglah ruh, hakikat, dan tujuan haji yang hakiki. Dalam keadaan semacam ini, alih-alih haji sebagai sesuatu yang berfungsi secara konstruktif dan solutif bagi masalah-masalah dunia Islam, malah
dijadikan sebagai jalan untuk meraih tujuan-tujuan duniawi. Oleh karena itu, para ulama dan pemikir Islam hendaknya berupaya untuk mengubah musim haji menjadi musim Islami sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah. Haji seharusnya menjadi arena pertemuan umat Islam sedunia. Para pemikir Islam seharusnya dapat bertemu dalam arena haji untuk berdialog tentang pemikiranpemikiran Islam yang sehat, yang akan melahirkan keyakinan yang sama, atau setidaknya berusaha mendekatkan pemikiran satu sama lain, saling memahami sudut pandang masing-masing, dan pada gilirannya sampai pada kesatuan pemikiran dan program kerja bersama yang konstruktif. Sesungguhnya, para ulama dan pemikir Islam berada barisan terdepan dalam memanggul tanggung jawab pemikiran, penyuluhan, dan pengajaran di tengah masyarakat Islam secara keseluruhan. Dalam arena haji, para ulama yang ikhlas dapat berkumpul untuk saling bertukar pikiran, pengalaman, dan saling mengenal konsep,
tujuan, dan dasar pemikiran mereka. Melalui pertemuan itu, akan ditemukan cara untuk mentransformasi perbedaan menjadi keyakinan bersama dan dirumuskan langkah-langkah riil-aplikatif untuk bekerjasama demi menyatukan semua potensi dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat Islam, seperti tekanan-tekanan
politik, ekonomi, dan kebudayaan, serta keterjajahan. Kami mendukung pertemuan seperti ini, karena bila kita hanya mengandalkan diskusi intelektual melalui buku, majalah, atau televisi, biasanya kita tidak mampu menunjukkan sikap keislaman yang jelas. Kita juga tidak bisa mendekatkan berbagai sudut pandang agar bisa menghilangkan kesalahpahaman yang masih menggantung di pikiran berbagai kelompok. Oleh karena itu, pertemuan para ulama dan pemikir di arena haji berpotensi untuk meluruskan berbagai penyimpangan, serta menyatukan dan mengorganisasi upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk menyelesaikan berbagai masalah.
Tujuan Politik Haji
Untuk menjelaskan dimensi politik haji dan tujuan yang diharapkan darinya, kita bisa berpegang pada firman Allah, dimana Dia memperkenalkan Ka’bah secara tegas dan jelas sebagai faktor dan pendorong untuk kebangkitan manusia,9 “Allah telah menjadikan Ka’bah, rumah yang suci untuk membangkitkan manusia.” Kata “qiyâm” (berdiri, bangkit) di sini mengandung banyak makna dan konsep politik, misalnya, kemerdekaan, kemandirian, partisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial dan lain sebagainya. Makna dan konsep politik qiyam ini harus kita wujudkan baik secara sendiri-sendiri atau kolektif, sebagaimana firman Allah SWT, “Katakanlah, Aku hendak
memperingatkan kepadamu satu hal saja, yaitu agar kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian agar kamu berpikir.” Kemudian dalam hadits dijelaskan tentang kesamaan substansi antara ikut perang bersama Rasulullah saww. dengan haji ke Baitullah, “Orang yang berperang di jalan Allah, orang yang berhaji dan berumrah adalah tamu-tamu yang diundang oleh Allah.”11 Hadis
ini mengajarkan kepada kita bahwa terdapat hubungan yang erat antara sisi politik dan sisi jihad dari haji, yaitu bahwa orang-orang yang berjihad di jalan Allah dan para haji di Baitullah adalah orangorang yang dipilih oleh Allah di satu barisan yang berhadapan dengan musuh. Dalam beberapa riwayat yang lain, kita menemukan ungkapan yang lebih sederhana, “Haji adalah jihad.” Dalam sebuah hadits dari Rasulullah saww. disebutkan, “Sebaik-baiknya jihad adalah haji.” Berdasarkan riwayat-riwayat ini, haji bukan hanya sekedar makna dari jihad tetapi ia adalah bentuk yang paling indah dari jihad di jalan Allah. Ritual-ritual agung dalam haji adalah salah satu bentuk dari berbagai bentuk jihad di jalan Allah. Ada juga hadits Rasulullah saww. yang menghilangkan segala keraguan dalam hal ini, “Biaya yang dikeluarkan untuk haji seperti biaya yang dikeluarkan di jalan Allah.” Titik kesamaan antara haji dan jihad dalam Islam adalah bahwa keduanya menjelaskan tentang komprehensitas dan hakikat Islam. Keduanya adalah kewajiban yang memiliki tujuan yang sama. Keduanya adalah
ibadah dan aktifitas politik demi menguatkan dan mewujudkan tujuantujuan politik Islam. Namun, pada saat yang sama, masing-masingnya memiliki kekhasan substansif tersendiri. Di hadapan berbagai penjelasan yang tegas dari Nabi saw dan Ahlul Baitnya ini, bagaimana mungkin kita meragukan adanya filsafat politik haji? Dari buku “al-Hajj Mu’tamar ‘Ibâdi Siyâsi” (Haji, Pertemuan Ibadah dan Politik), kami kutip pidato Imam Khomeini RA pada tanggal 22 Syawal 1405 H, “Sejak awal, kita berkeinginan kuat untuk melaksanakan haji sebagaimana pada masa Rasulullah. Sebagaimana Rasul yang termulia saww menghancurkan berhala-berhala di Ka’bah, kita juga ingin menghancurkan berhala-berhala. Bahkan, berhala-berhala yang ada di masa kita lebih besar dan lebih buruk dari berhala-berhala di masa itu.” Imam Khomeini berkata juga, “Pada pertemuan yang suci dalam haji ini, pertama, kita harus mencari masalah-masalah dasar dalam Islam. Kedua, kita harus saling bertukar sudut pandang dalam masalah-masalah khusus di Negara negara Islam. Lihatlah apa yang terjadi terhadap saudara-saudara muslim di negara-negara mereka. Mereka mesti menyampaikan laporan kepada umat Islam sedunia dalam pertemuan suci ini. Di sini mereka dapat menjelaskan kesulitan dan penderitaan yang dihadapi oleh rakyat mereka.” Ada banyak dimensi haji yang belum terwujud, yang terutama adalah sisi politik. Seandainya ada sedikit saja persatuan umat bias diwujudkan melalui haji, maka mestinya banyak hal yang telah dicapai oleh umat Islam, baik di level politik, sosial, ekonomi maupun kebudayaan. Sisi politik dari haji adalah sisi yang paling sering diabaikan dan dilupakan. Karena itu, umat Islam tidak boleh untuk berpangku tangan dari upaya untuk mewujudkan semua dimensi haji. Setidaknya, ada agenda bersama yang dibuat oleh seluruh umat yang disampaikan dalam pertemuan haji itu. Mereka bisa mencari solusinya dengan bermusyawarah, dan kemudian mereka membawa solusi tersebut ke negeri mereka masing-masing.
Dimensi Sosial Haji
Hal terpenting yang hilang dari masyarakat Islam adalah kasih sayang, keamanan, dan persatuan dalam akidah yang akan menjamin kebahagiaan di dunia dan akhirat. Salah satu tujuan haji adalah mewujudkan keamanan dalam hubungan sosial, menyediakan
kesempatan emas untuk berkasih sayang di antara sesama manusia, menguatkan barisan dan memperkuat ikatan persatuan di antara mereka. Dalam kaitan ini, Imam Khomeini berkata, “Kita harus mengetahui bahwa salah satu filsafat sosial dari pertemuan akbar dari seluruh penjuru dunia ini adalah memperkuat ikatan persatuan antara para pengikut Nabi Islam, para pengikut al-Qur’an al-Karim di hadapan segala penguasa zalim di dunia ini Dimensi sosial haji ini bisa terwujud melalui hal-hal sebagai
berikut:
1. Melepaskan diri dari ego dan kekuasaan syahwat dengan cara melebur dalam jamaah dan bersatu dalam perjalanan iman menuju Allah, yang dimulai dari mîqât. Dengan haji, tidak ada keistimewaan bagi seseorang terhadap orang lain hanya karena warna kulit, pakaian, pangkat, atau keistimewaan apapun yang biasa diperhitungkan oleh orang-orang dalam kehidupan mereka. Faktor yang paling banyak menyulut masalah dalam masyarakat adalah benturan yang terjadi antara individu dan egoisme. Ketika individu-individu larut dan bersenyawa dalam jamaah akbar haji, manusia akan terlepas dari egoismenya. Dalam ibadah haji terdapat aturan-aturan hukum yang bertujuan untuk membebaskan manusia dari kekuasaan hawa nafsu dan syahwat. Salah satunya, dalam haji seseorang diwajibkan untuk melempar jumrah, yang merupakan simbol dari melempar setan yang selalu menyeret manusia kepada hawa nafsu dan syahwat.
2. Setelah seseorang melepaskan diri dari ego, maka ia akan mendapati dirinya larut dalam sebuah kumpulan akbar manusia, yang bersatu, tak tercerai-berai, dan bersama-sama memenuhi satu panggilan untuk berputar mengelilingi satu pusat, kemudian kumpulan haji yang disatukan dan menyatukan ini bergerak untuk melempar setan.
Peranan Haji Dalam Perkembangan Kebudayaan
Ketika Baitullah menjadi lambang dan bendera Islam sebagaimana diungkapkan oleh Ali Bin Abi Thalib as, ”Allah menjadikannya (Baitullah) sebagai tanda Islam” maka meninggalkan haji merupakan sebuah kekufuran. Rasulullah SAW berkata kepada Ali AS, ”Wahai Ali, orang yang meninggalkan haji, padahal dia mampu, maka dia adalah kafir.” Dan beliau menguatkannya dengan ayat al-Qur’an, “Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.”19 Tidak cukup dengan itu, beliau bahkan menjelaskan lebih jauh, dimana beliau bersabda: “Wahai Ali, barangsiapa yang menunda-nunda haji sampai dia mati, Allah akan membangkitkannya pada hari kiamat sebagai orang Yahudi dan Nasrani.” Dari sini bisa ditangkap bahwa haji berperan penting dalam memberi gizi iman dan meningkatkan level kebudayaan dan ilmu bagi umat Islam. Haji seolah merefleksikan pendidikan agama, dimana umat Islam tidak akan sampai pada hakikat iman kecuali dengan mengikuti pendidikan tersebut, setidaknya sekali seumur hidup. Imam Ali Bin Husein AS yang selalu berhaji ke Baitullah pernah berwasiat kepada para sahabatnya, ”Berhaji dan berumrahlah, maka imanmu akan baik.” Ketika Hisyam Bin Abdul Malik bertanya kepada Imam as- Shadiq AS tentang filsafat haji, beliau menjawab, ”Pertemuan (antar umat Islam) dari barat dan timur dibuat agar mereka saling mengenal… agar anda tahu peninggalan Rasulullah SAW; berita-berita tentang beliau diketahui untuk diingat dan tidak dilupakan. Kalau satu kaum mengandalkan negeri mereka, niscaya mereka akan celaka, negeri mereka akan hancur, sehingga keuntungan tidak ada, kabar para pendahulu terlupakan dan anda tidak mengetahui semua. Itulah alasan adanya ibadah haji.”
Haji sesungguhnya adalah kembali ke tauhid dan sejarah orangorang yang memelihara kewajiban ini, mulai dari Nabi Adam, Ibrahim, Isma’il hingga Muhammad saww. Sepanjang sejarah manusia, benturan antara iman dengan kekafiran dan kemunafikan terus berlangsung. Dengan tegaknya Ka’bah, maka sejarah ini akan tetap menjasadkan dan merefleksikan tauhid, dan menjadi tanda kebenaran agama. Dengan demikian, tauhid dan pengetahuan tentangnya akan hidup abadi selamanya. Haji adalah pendidkan praktis tentang budaya persamaan, persaudaraan dan kerjasama menuju kebaikan dan kemaslahatan manusia. Ia adalah kesempatan emas untuk menyampaikan dan menyebarkan kebudayaan Islam yang kaya ke seluruh lapisan umat Islam, sehingga ia menjadi faktor kekuatan dalam masyarakat Islam yang memiliki peranan aktif dan fundamental. Langkah-langkah awal atau persiapan sebelum berangkat haji adalah dengan mempelajari dan memahami masalah-masalah keislaman, dan hal ini merupakan kesempatan yang berharga bagi para ulama Islam untuk memberikan bimbingan kepada umat Islam menyebarkan kebudayaan Islam, dan memperluas pemahaman terhadap agama (tafaqquh fi ad-din). Selanjutnya, spiritualitas haji itu akan menjadi faktor penting yang menyiapkan hati untuk mempelajari hakikat dan pengetahuan agama Islam.
Imam Ali Bin Musa al-Ridla AS berkata kepada Fadl Bin
Syâdzân, “Mereka diperintahkan untuk berhaji, untuk berangkat menuju Allah, juga untuk mendalami agama serta menyampaikan kabar para imam ke seluruh penjuru dunia, sebagaimana firman Allah, ’Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali agar mereka dapat menjaga dirinya.’”
Kenikmatan dan keberkahan yang diperoleh dari peningkatan pengetahuan dan kebudayaan Islam melalui ibadah haji akan dirasakan oleh umat Islam yang berhaji, namun juga oleh umat Islam di berbagai penjuru dunia karena para jamaah haji itu akan menyebarkan dan menyampaikannya ke negeri mereka masing-masing. Oleh karena itu, haji telah berperan sangat luas dalam peningkatan ilmu dan budaya Islam, serta mengokohkan agama Islam. Imam Ali as berkata, “Allah mewajibkan haji untuk menguatkan agama.” Imam as-Shadiq AS juga menjelaskan kenyataan ini, “Agama ini akan selalu tegak selama Ka’bah berdiri tegak.” Perkembangan kebudayaan dan pengetahuan Islam adalah tujuan yang diinginkan oleh Islam dari prosesi haji yang indah. Haji akan menguatkan atmosfer dan hakikat yang mengatakan bahwa sesungguhnya seluruh manusia meskipun mereka berbeda warna kulit, ras, bahasa, sejarah, atau kelas sosial, sesungguhnya mereka memiliki satu fitrah yang sama, yaitu fitrah Ilahiah. Di tengah pelaksanaan manasik haji, budaya-budaya yang jumud menjadi merdeka, dan manusia akan keluar dari batas-batas tradisi, suku, bangsa atau negara
untuk melebur dalam identitas Islam yang universal. Haji adalah pelatihan pendidikan dan kebudayaan yang bersifat transformatif agar manusia kembali meraih kemanusiaannya yang fitri, menemukan kembali identitas Islam bersama, sehingga jutaan muslim akan berpegang teguh pada Islam, yang bagaikan pohon yang baik dan kokoh serta memakan buahnya yang matang. Allah SWT berfirman,:
“Tidakkah kamu memerhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik, seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit, (pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat.”
Sebagai penutup makalah singkat ini, kami ingin menyampaikan usulan yang kami harap akan mendapatkan persetujuan dari para hadirin. Dengan memikirkan sisi kebudayaan haji, kita akan sampai pada dua kesimpulan yang bisa dianggap sebagai hikmah dan tujuan asli dari kewajiban yang agung ini, yaitu sebagai berikut. Pertama, prosesi dan ritual haji harus dilaksanakan dengan cara yang memungkinkan terjadinya hubungan dan komunikasi antara bangsa-bangsa Islam; mengokohkan ikatan antara kebudayaan, warisan pemikiran dan identitas-identitas nasional atas dasar saling memahami secara rasional; menyiapkan lingkungan yang sesuai untuk kerjasama kebudayaan untuk menguatkan dan mengokohkan pengenalan terhadap kebudayaan dan identitas Islam atas dasar parameter dan timbangan orisinil bersama. Melalui langkah ini, kebodohan dan fanatisme akan sirna; dan umat Islam akan mampu
membebaskan diri dari ikatan-ikatan yang dipaksakan oleh penjajahan Barat atas nama kebudayaan nasional, dan sebagai gantinya, mereka akan menghidupkan kembali kebudayaan Islam yang orisinil. Kedua, prosesi haji seyogyanya dimulai dengan mencabut akar kebudayaan kolonial serta ketercampuran budaya bangsa-bangsa Islam dengan segala sumber yang berkaitan dengan spirit penjajahan dan eksploitasi. Haji adalah sarana untuk mengembalikan umat Islam kepada Islam yang asli, mengajarkan untuk memperbaiki iman dan mengenal warisan Islam dan Rasul saww, serta mengingatkan agar berpikir secara tauhid dan berdasarkan fitrah. Oleh karena itu, seorang haji wajib untuk mengosongkan pikiran, ruh, akal, dan dirinya dari kebudayaan selain tauhid. Dia harus melepaskan diri dari keterkaitan pada budaya yang menjauhkannya dari Allah dan Rasul-Nya saww. Untuk sampai pada dua tujuan di atas, kami mengusulkan hal hal sebagai berikut:
1. Harus ada saling memahami dan saling mendekati secara kebudayaan baik pada level para pemikir maupun para spesialis dalam bidang penyelenggaraan prosesi haji. Para ulama harus mendedikasikan sebagian dari waktu mereka pada musim haji untuk menjelaskan proyek kebudayaan ini, mulai sejak para jamaah dating ke Baitullah dari segala penjuru dunia Islam, hingga kemudian mereka kembali ke negeri mereka masing-masing untuk membawa kebudayaan Islam yang murni.
2. Negara-negara Islam melakukan segala sesuatu yang dimungkinkan untuk mengadopsi politik, kebudayaan dan ekonomi Islam, demi pengembangan kebudayaan bangsa-bangsa muslim. Untuk mencapai hal ini perlu didirikan lembaga-lembaga yang bekerja secara fokus untuk sebuah gerakan kebudayaan Islam, melepaskan diri dari kebudayaan kolonial di berbagai negeri. Sebuah pusat kebudayaan Islam yang bersifat internasional juga sangat perlu didirikan. Tujuan yang harus kita capai bersama adalah terwujudnya satu umat yang diinginkan oleh Allah, yaitu umat terbaik untuk seluruh manusia, sebagaimana firman Allah SWT,: “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.”
DISKUSI: