Husain Sang Wali Mujahid
Seringkali Husain bin Ali bin Abi Thalib ditampilkan dan dibahas sebagai sosok politikus dan pejuang, dan agak jarang yang mengemukakan putra Ali ini dari aspek kewalian dan kesufian. Padahal spirit jihad dan keberanian luar biasa yang dimiliki Husain dilatarbelakangi oleh keberhasilannya dalam kancah jihad asghar, yaitu jihad nafs (perang menundukkan hawa nafsu). Dengan kata lain, Husain adalah musafir minallah wa ilallah wa fillah.
Karena Husain adalah salah satu wali Allah di zamannya maka sesuai penuturan Al-Qur’an, wali-Nya tidak pernah merasakan ketakutan dan kesedihan.[1] Bila kita telaah episode demi episode peristiwa Karbala dari sumber-sumber muktabar dan referensi-refensi yang otentik maka akan kita temukan kemantapan dan keyakinan yang kokoh dari sang syahid ini. Hampir sulit ditemukan bukti yang meyakinkan bahwa Husain goyah dan ragu dalam keputusan dan resolusi jihad yang diambilnya.
Pertanyaannya, apa yang membuat Husain begitu teguh untuk memilih jalan jihad guna menghadapi sang tiran pemabok dan penggila monyet, Yazid bin Muawiyah? Bukankah banyak sahabat dan para pembesar yang berusaha menghalangi jalan jihadnya dan membujuknya untuk mengurungkan niatnya untuk melawan hegemoni Yazid dan pergi ke padang tandus Karbala? Apakah keyakinannya tersebut karena hasil istikharah yang dilakukannya? Karena bisikan dan masukan keluarga dan sahabat-sahabatnya? Karena semata-mata untuk memperebutkan kursi kekuasaan dan berlatar belakang politik? Karena emosi individual dan karakternya yang temperamental (mudah tersinggung dan mudah marah?
Ya, keyakinan dan kemantapan Husain bin Ali dipicu oleh faktor kejelasan tujuan, panggilan tugas dan pelaksanaan tanggung jawab moral dan ideologis. Tidak mungkin orang sekelas Husain yang mendapat sentuhan spiritual dari tangan-tangan suci sehebat kakeknya Nabi, selembut ibunya Fatimah dan seberani ayahnya Ali melakukan tindakan yang gegabah/ceroboh dan bodoh serta tidak memiliki tujuan yang jelas. Apalagi bila tindakan bodohnya itu mengorbankan nyawa anak-anak dan wanita-wanita tak berdosa dari keluarganya.
Di samping itu, sulit untuk diterima bila dikatakan bahwa peristiwa tragis dan sepilu Karbala yang cucu kesayangan Nabi saw, Husain bin Ali menjadi korban mutilasi yang dikomando oleh Umar bin Sa’ad bin Abi Waqas luput dari pengetahuan dan prediksi Rasulullah saw. Mengapa? Karena para pelaku mutilasi massal ini adalah orang-orang yang dikenal dengan baik oleh Rasul saw, sehingga apa tidak mungkin beliau mendapat bocoran dari langit yang kiranya dapat dijadikan acuan dan bimbingan bagaimana bila sang cucu yang ditahbiskannya sebagai penghulu pemuda surga ini menghadapi tragedi mengenaskan ini?!
Husain adalah sahabat setia sang Nabi saw, plus ahlul baitnya yang Allah sucikan-sesuci sucinya, sesuai SK (surat keputusan) Allah dalam surat al-Ahzab, ayat ke-33. Husain adalah khomis ashab kisa’ (orang kelima dari ahlul bait yang masuk dalam kain yang dibentangkan Nabi saw dan dibacakan kepada mereka ayat penyucian/tathhir tersebut). Dan berdasarkan ayat penyucian di atas, motif, tujuan dan perilaku Husain pasti suci. Sebab, telah dihilangkan darinya rijs yang menurut ahli tafsir dimaknai sebagai kekotoran fisik dan spiritual. Dosa dan kesalahan itu termasuk dalam kategori rijs. Sehingga bila kita mempersoalkan dan mengkritisi tindakan Husain, khususnya menyangkut keputusan dan pilihan jihad yang diambilnya maka secara langsung atau tidak kita sedang menggugat SK surat al-Ahzab ayat ke-33.
Husain adalah wali dan bahkan sejatinya adalah orang yang paling dekat dengan Allah Swt di zamannya. Saat Yazid mengklaim sebagai khalifah dan meminta Husain untuk membaiatnya, dengan tegas beliau menolak dan mengatakan bahwa orang sekelas dan sesuci beliau tidak mungkin berbaiat kepada manusia sejahat dan sekotor Yazid.
Husain dididik di kamar yang suci dan mendengar langsung munajat dan doa sang ibu tercinta di malam hari. Apakah munajat dan tarikan nafas az Zahra yang beraroma surga yang sesuai sabda Nabi saw bahwa bila ia merindukan surga maka ia akan mencium putrinya ini tidak berpengaruh dalam spiritual Husain? Magnet dan spiritual Fatimah itulah yang membentuk karakter Husain, sehingga ia menjadi wali dan insan kamil yang tidak mungkin salah perhitungan karena ia setiap hari melakukan muhasabah (internal audit). Apalagi bila salah perhitungan itu menyangkut kepentingan orang banyak dan mengorbankan banyak jiwa.
Fatimah mengajarkan—sejak usia dini—kebiasaan berhitung kepada Husain melalui tasbih Zahra. Jadi, seseorang yang sejak usia dini terbiasa mengamalkan wirid dan zikir seperti tasbih Zahra tidak mungkin salah perhitungan dan salah jalan. Lagi pula, mana mungkin Allah membiarkan orang yang tumbuh dalam keluarga kenabian ini tersesat jalan?! Sehingga kematiannya tidak bisa dianggap biasa seperti syuhada pada umumnya dan episode demi episode perjuangan dan gerakannya tidak boleh diabaikan begitu saja, karena setiap gerak geriknya mengandung keteladanan dan pelajaran yang berharga.
Kewalian dan kesufian Husain tampak dengan begitu indah dan sempurna di Nainawa. Husain menerima musibah yang menimpanya dan keluarganya dengan penuh tabah dan sabar karena beliau yakin semua itu terjadi demi menegakkan agama Allah dan meraih rida-Nya. Husain tidak keluar dari Mekkah ke Madinah dan kemudian ke Karbala untuk membuat onar dan kerusakan namun beliau pergi untuk memperbaiki umat datuknya, Rasulullah saw.
Husain ingin membawa pesan cinta dan perdamaian kepada umat sepanjang masa. Husain bukan gila perang, tapi beliau dipaksa untuk perang dan pantang bagi orang sekaliber beliau untuk menerima kehinaan. Slogan dan syiar “haihat minna dzillah” menginspirasi para pejuang kemerdekaan dan keadilan sepanjang sejarah dari agama apapun dan dimanapun. Sedangkan ajaran Yazid adalah ajaran yang mengusung dan menonjolkan kebencian dan permusuhan serta menekankan kekerasan. Ajaran Husain mengajarkan mencintai, sedangkan ajaran Yazid mengajarkan membenci. Ajaran Husain identik dengan ajaran cinta, sedangkan ajaran Yazid sama dengan ujaran kebencian. Ajaran Husain memperbanyak orang masuk surga, sedangkan ajaran Yazid memonopoli surga, sehingga membuat surga sunyi dan sepi penghuni. Ajaran Husain tidak mudah mengkafirkan dan menyesatkan sesama Muslim selama ia ahli kiblat dan bersyahadat serta meyakini hari kiamat, sedangkan ajaran Yazid mudah mencap kafir dan sesat kepada orang Muslim yang berseberangan pemikiran dengannya.
Husain wali sekaligus mujahid. Beliau mengajarkan kepada kita tasawuf yang benar, bukan tasawuf ha ha hi hi atau tasawuf hi hi ha ha. Husain menegaskan bahwa puncak tasawuf itu diraihnya dengan tetesan darahnya. Kewalian Husain justru memancar dari sikap reformisnya dan kepedulian sosialnya. Tasawuf Husain adalah tasawuf yang dinamis dan menghidupkan masyarakat. Kesufian Husain justru bertitik tolak dari perlawanan terhadap kezaliman yang berbalut agama.
Karbala adalah madrasah cinta; madrasah tasawuf/‘irfan. Betapa tidak, kewalian dan kesufian seseorang dapat disorot dari kebiasaan dan kekhusukan shalatnya. Dan shalat terkhusuk dan terbaik Husain justru dilakukan di Padang Duka Karbala. Sejarah mencatat dengan tinta emas bagaimana kekhusukan dan totalitas ibadah serta kesempurnaan penghambaan kepada Allah atau yang diistilahkan dengan kamalal ‘inqitha itu terlukis dan terwujud dalam bentuknya yang sempurna saat shalat terakhir di waktu Zhuhur di Karbala. Sulit ditemukan seorang wali yang mendapatkan dan merasakan momentum kekhusukan, kesyahduan dan totalitas ibadah seperti yang dirasakan Imam Husain di Karbala.
Salam kepadamu wahai sang wali mujahid di hari engkau dilahirkan, di hari engkau gugur sebagai syahid dan di hari engkau akan dibangkitkan kembali.
Moch. Taqi
[1] Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka (dan tidak pula) mereka bersedih hati. (QS.Yunus, ayat: 62).