Tasawuf dalam Al-Qur’an (Bagian Pertama dari Dua Tulisan)

quran dan tasawuf
Meskipun al-Qur’an bukan kitab kedokteran, filsafat, arsitektur, fikih, ilmu eksperimental, ekonomi dan politik, namun seluruh kebutuhan ilmiah dan pengetahuan dan pelbagai kebutuhan spiritual manusia serta keperluan manusia menuju kesempurnaan di pelbagai dimensi pasti dipenuhinya.
Di dalam al-Qur’an disebutkan tentang nafsu yang menyuruh kepada keburukan (nafs al–ammârah), jiwa yang menyesali dirinya sendiri (nafs al– lammâwah), dan jiwa yang tenang (nafs al–muthma’innah). Juga disinggung pengetahuan yang diilhamkan (ilm al–ladunni) dan bentuk-bentuk bimbingan yang dihasilkan dari perjuangan spiritual.
Al-Qur’an juga menyebutkan penyucian jiwa dan diartikan sebagai salah satu hal yang mengarah kepada penghambaan dan pembebasan. Juga di dalam al-Qur’an disebut beberapa kali tentang cinta kepada Allah sebagai keinginan yang kuat di atas segala cinta dan daya tarik manusia. Al-Qur’an juga berbicara tentang semua partikel dari makhluk yang mengagungkan dan memuji Allah, dan hal ini mengisyaratkan bahwa jika seseorang ingin menyempurnakan pemahamannya, dia akan mampu merasakan pujian dan kebesaran Allah. Al-Qur’an juga mengangkat masalah tiupan Ilahi sehubungan dengan sifat dan keadaan jasmani manusia.”…[1]
Ayat-ayat di atas cukup kiranya mengilhami sebuah spiritualitas dan tasawuf komprehensif mengenai Tuhan, alam, dan manusia, terutama dalam hubungannya dengan Tuhan.”…[2]
Salah satu masalah yang banyak menguras pikiran dan menjadi pusat perhatian dan banyak penelitian terkait dengannya dan di bidang analisa identitas tasawuf Islam sangat berpengaruh adalah meneliti dan mencari asal-muasal tasawuf Islam. William C. Chittick menyatakan bahwa banyak orang—baik Muslim maupun non-Muslim memandang tasawuf sebagai sesuatu yang asing bagi Islam.[3] Karena itu, perlu dijawab, apakah tasawuf Islam itu sebuah hakikat yang tidak orisinil dan tidak otentik dan sifatnya impor yang didatangkan dari budaya-budaya asing lalu kemudian ia tumbuh dan populer di tengah muslimin? Apakah ia merupakan produk internal dari budaya Islam dan besumber dari unsur-unsur makrifatnya; makrifat praktis Islam yang beragam? Apakah al-Qur’an yang merupakan sumber pertama dan utama syariat Islam mengemukakan masalah dan tema tasawuf?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu ditegaskan bahwa pelbagai pandangan tentang asal muasal dan sumber tasawuf dapat diklasifikasi dalam dua kelompok. Kelompok pertama menyatakan bahwa sumber tasawuf Islam dan asal muasal kemunculannya berasal dari luar Islam. Pandangan ini mengatakan bahwa kaum muslim mengenal masalah tasawuf itu dari luar bidang agama mereka. Sedangkan kelompok kedua meyakini bahwa tasawuf Islam bersumber dari dalam ajaran Islam.
Reinald Nicholson yang dalam pandangan pertamanya bersikeras bahwa tasawuf Islam bersumber dari luar Islam, pada pandangan akhirnya beliau meyakini bahwa tasawuf Islam bersumber dari internal Islam. Dalam hal ini, beliau mengatakan, “Benih hakiki tasawuf terdapat dalam al-Qurân, dan benih-benih ini begitu cukup dan memadai sehingga tidak diperlukan lagi untuk duduk di atas meja makan orang asing.”[4] Begitu juga Masinion mengatakan, “Begitu banyak modal epistemologis, sayr dan suluk di dalam agama sehingga seseorang tidak mungkin mencari sumber tasawuf Islam di luar dari budaya Islam.”[5]
Masalah utama yang harus dikemukakan di sini adalah apakah tasawuf Islam seperti fikih, ushul, tafsir, dan hadis, yakni dari ilmu-ilmu yang kaum Muslimin, sumber-sumbernya dan bahan-bahan asli dan utamanya mengambil dari Islam lalu mereka meletakkan kaidah-kaidah, aturan-aturan, dan dasar-dasarnya?Atau seperti ilmu kedokteran dan matematika yang masuk ke dunia Islam dari luar, lalu berkembang dan tumbuh di bawah asuhan dan peradaban Islam?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada tiga pandangan yang berbeda:
- Pandangan ‘urâfâ yang memilih pandangan yang pertama, yaitu tasawuf itu seperti ilmu fikih yang bahan-bahan dasarnya berasal dari Islam dan dikembangkan oleh kaum muslim. ‘Urâfâ tidak menerima pandangan selainnya.
- Pandangan sebagian orientalis yang menyatakan bahwa tasawuf adalah gagasan-gagasan halus dan agung yang datang ke dunia Islam dari luar. Kadang-kadang mereka berpendapat bahwa tasawuf itu berasal dari Kristen dan mengklaim bahwa mistisisme di dalam Islam merupakan hasil hubungan awal kaum muslim dengan pendeta-pendeta Kristen. Pada waktu yang lain mereka mengaku tasawuf merupakan hasil dari reaksi bangsa Persia menentang Islam dan Arab. Kadang mereka menyatakan tasawufakibat murni produk Newplatoisme, yang disusun dari gagasan Plato, Aristoteles dan Pitagoras, yang dipengaruhi oleh gnostisisme Alexandria serta pandangan-pandangan dan keyakinan Budha dan Kristen. Bahkan ada yang berpandangan lebih ekstrem dan menganggap keseluruhan tasawuf dan sufisme sebagai aliran yang bertentangan dengan Islam dan bukan berasal dari Islam.[6]
- Pandangan yang mengemukakan bahwa tasawuf, modal-modal utamanya—baik di bidang tasawuf praktis maupun teoiritis—mengambil dari Islam. Dan berdasarkan modal ini, ia menjelaskan kaidah-kaidah, aturan-aturan serta dasar-dasarnya serta terpengaruh juga oleh haluan-haluan pemikiran dari luar, khususnya pemikiran-pemikiran teologis, dan filosofis, dan lebih khusus lagi pemikiran-pemikiran filsafat isyrâqi (iluminasi).”[7]
Muhammad ‘Arif
[1] Murtadha Muthahari, Kulliyyât ‘Ulum Islamiy,J. 2, hal. 92.
[2] Lihat: Murtadha Muthahari, Kulliyyât ‘Ulum Islamiy,J. 2, hal. 92.
[3]William C. Chittick, Tasawuf di Mata Kaum Sufi, (Mizan, 2002) hal. 20.
[4] Ali Amini Nejad, Osynoi Bo Majmu’eh tasawufIslamiy, hal. 79. [5] Ali Amini Nejad, Osynoi Bo Majmu’eh tasawufIslamiy, hal. 79. [6] Lihat: Murtadha Muthahari, Kulliyyât ‘Ulum Islamiy,(terbitan Intisyarat Shadra 1429 H), hal. 88.
[7] Lihat: Murtadha Muthahari,Kulliyyât ‘Ulum Islamiy, hal. 87-88.