Idul Fitri dan Jiwa Pemaaf
Tak terasa sebentar lagi kita akan memasuki gerbang Idul Fitri, hari kemenangan dan kejayaan bagi ash-sha’imin (kaum pria yang berpuasa) dan ash-sha’imat (kaum wanita yang berpuasa). Hari raya agung ini biasanya ditandai dengan ucapan dan kiriman pesan halal bi halal dan saling memaafkan. Ya, lebaran adalah kesempatan istimewa untuk mengekspresikan cinta, kasih sayang dan maaf-memaafkan.
Ramadhan adalah madrasah yang membina para siswanya untuk meningkatkan kadar kesabaran dan ketakwaan. Selama satu bulan, Ramadhan membimbing—dengan program pendidikan dan ibadahnya—orang-orang yang berpuasa untuk mengendalikan sifat-sifat buruk dan merantai nafsu ammarah bi as-su’i (yang memerintahkan kejahatan). Sehingga saat datang Idul Fitri, jiwa kotor menjadi jiwa bersih; jiwa serakah menjadi jiwa pemurah, dan jiwa pendendam menjadi jiwa pemaaf.
Tradisi maaf-memaafkan dan halal bi halal yang mengakar kuat di masyarakat kita adalah tradisi Islami dan sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan hadis nabawi. Islam adalah agama damai dan cinta dan sangat menekankan perihal memaafkan dan toleransi. Buktinya, berapa banyak orang yang masuk Islam bukan dengan kedahsyatan mukjizat Nabi saw dan keunggulan argumentasi dan logika yang dibangunnya tapi mereka masuk ke agama yang fitri ini karena keindahan sikap beliau, khususnya sifat memaafkan beliau. Lihatlah bagaimana beliau memaafkan orang-orang musyrik saat penaklukan kota Mekah (peristiwa Fath Makkah) dengan memberikan amnesti umum dengan sabda abadinya: idzhabu wa anthum thulaqa (hendaklah kalian pergi karena kalian telah bebas).
Saat pasukan kaum Muslimin memasuki kota Mekkah dan menaklukkannya, terdengar teriakan dan slogan “al-yaum yaumul malhamah” (hari ini adalah hari pembalasan/peperangan). Mendengar hal tersebut, Rasulullah saw mengganti slogan dan teriakan tersebut dengan mengatakan: “al-yaum yaumul marhamah” (hari ini adalah hari cinta dan kasih sayang). Inilah ajaran Nabawi: ajaran cinta dan maaf-memaafkan. Inilah madrasah Muhammadiyyah: madrasah yang memuliakan manusia dan memanusiakan manusia. Inilah agama Ilahi yang menutup rapat-rapat “pintu kekerasan” dan penumpahan darah selama jalan damai dan cinta bisa ditempuh dan diutamakan.
Salah satu satu sifat dan asma Allah Swt adalah ‘afuw dan ghafur yang bermakna Yang Maha Memaafkan dan Maha Mengampuni/Menutupi dosa. Dan agama yang datang dari Tuhan seperti ini senantiasa mendahukukan memaafkan daripada menghukum. Hukuman diberikan sebagai jalan terakhir bila memang pintu memaafkan telah ditutup rapat-rapat. Adlah benar bahwa setiap kesalahan dan dosa harus dibalas secara setimpal, namun Al-Qur’an selalu berpesan dan menekankan: Dan memaafkan itu lebih baik bagimu.
Selanjutnya, apa sich maaf dan memaafkan itu secara bahasa dan istilah? Kata ‘afw (memaafkan) secara linguistik bermakna memalingkan dan membiarkan. Oleh karena itu, kata «عفاعنه» digunakan dalam pengertian berpaling dari hukuman suatu dosa. Sedangkan secara istilah dan defenisi ‘afw (memaafkan) berarti seseorang berpaling dan mengabaikan hak atau tuntutan kisas atau denda. Memaafkan berarti anonim mendendam dan ini terlaksana dengan mengabaikan kisas dan hukuman. Dan hakikat memaafkan adalah seseorang menutup mata atas kesalahan pelaku dosa lalu dia tidak menghinakan, menyakiti dan menggangunya. Bahkan secara tulus dan sepenuh hati, ia memaafkan pelaku dan justru membalasnya dengan kebaikan.
Tidak semua bentuk dan sikap memaafkan itu dikategorikan sebagai perilaku moral yang terpuji. Memaafkan menjadi bernilai bila memenuhi tiga kriteria di bawah ini:
1-Kriteria pertama memaafkan yang hakiki adalah memaafkan saat memiliki kesempatan untuk membalas dendam. Jadi, bila seseorang memaafkan karena memang tidak mempunyai kekuatan untuk membalas atau karena kelemahannya maka hal ini tidak dapat dikatakan memaafkan.
Kedua, memaafkan yang hakiki adalah orang yang memaafkan—saat memaafkan kesalahan pelaku—juga menolak untuk mencelanya. Sebab, celaan atau kecamaan dianggap sebagai bentuk hukuman sebagaimana dikatakan oleh Sayidina Ali:
«التّقریعُ أحد العُقوبَتَین »
Celaan adalah salah satu bentuk hukuman.
Ketiga, pemaaf tidak hanya merasa cukup dengan tidak mencela dan mengecam pelaku namun ia justru membalas keburukannya dengan doa dan kebaikan. Allah Swt berfirman kepada Rasulullah saw:
ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ السَّيِّئَةَ ۚ نَحْنُ أَعْلَمُ بِمَا يَصِفُونَ
Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan. (QS. Al Mukminun: 96)
Rasulullah saw bersabda:
« العَفوُ أَحَقُ ما عمل بِه »
Memaafkan adalah kebaikan yang layak untuk dilakukan
Beliau juga bersabda:
: ” لا يحل لرجل أن يهجر أخاه المسلم فوق ثلاث ، يلتقيان فيعرض هذا ويعرض هذا وخيرهما الذي يبدأ بالسلام ” رواه البخاري ( 5727 ) ومسلم ( 2560 )
Tidak dibenarkan (haram hukumnya) apabila seorang menjauhi saudaranya yang Muslim lebih dari tiga hari. Apabila keduanya bertemu maka orang yang menyampaikan salam di antara keduanya adalah yang terbaik.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sayidina Ali berkata:
« العَفوُ أَعظَمُ الفَضیلَتیَنِ »
Memaafkan adalah keutamaan yang paling agung di antara dua keutamaan
Sayidina ash-Shadiq berkata:
« ثَلاثٌ مِن مَکارِمِ الدُّنیا و الآخِرَهِ: تعَفو عَمَّن ظَلَمَکَ وَ تَصِلُ مَن قَطَعَکَ وَ تَحِلُم إذا جُهِلَ عَلَیکَ »
Ada tiga kemuliaan dunia dan akhirat: engkau memaafkan orang yang menzalimimu, menjalin silaturahmi dengan orang yang memustuskannya denganmu dan engkau bersikap sabar atas orang yang berbuat bodoh (kesalahan) padamu.
Adalah tidak mudah kita memaafkan orang yang berbuat aniaya kepada kita. Di sini diperlukan kebesaran jiwa dan keluhuran budi. Dan kita bisa memanfaatkan momentum Idul fitri untuk memaafkan saudara dan sahabat kita yang berbuat culas dan jahat kepada kita. Dan nilai memaafkan itu menjadi semakin besar ketika kita melihat kesungguhan dan keseriusan orang yang kita maafkan untuk bertaubat dan berhenti dari sikap jahat dan zalimnya. Jika demikian halnya, maka kita telah membantunya untuk kembali ke jalan yang benar dan tidak kita biarkan ia semakin hanyut dalam kesalahan dan kejahatan.
Sekali lagi, Idul Fitri memberi kita momentum untuk saling bermaaf-maafan dan berkasih sayang. Boleh jadi ada orang yang mau memaafkan dan mau minta maaf tapi kedua-duanya atau salah satunya kehilangan kesempatan dan momentum untuk memaafkan dan mendapatkan maaf. Maka, lebaran adalah hari pembukaan lembaran baru hayat kita dan kita memulai halaman buku kehidupan kita dengan satu kata: Maaf dan satu kalimat: minal aizin wal faizin.
Syekh Muh. Ghazali
Pemerhati-Sosial Keagamaan