Ijtihad dalam Istinbathul Hukmi
Keperluan kepada ijtihad kontemporari adalah suatu hakikat yang tidak dapat dinafikan pada hari ini. Bukan hanya untuk menjawab persoalan-persoalan baru yang sentiasa timbul tetapi juga untuk menilai kembali ijtihad para fuqaha terdahulu memandangkan suasana dan persekitaran hidup sudah berubah.
Secara mudah ijtihad boleh disifatkan sebagai penyelidikan ilmiah yang serius dan berwibawa. Secara praktikalnya ia bermula sejak zaman Rasulullah lagi, hal ini dilakukan oleh baginda sendiri sewaktu wahyu lewat turun bagi menyelesaikan persoalan-persoalan yang memerlukan penyelesaian segera atau dilakukan oleh para sahabat baginda bagi menghadapi masalah yang berlaku sewaktu mereka berada jauh daripada baginda Rasulullah saw.
Mengikut para fuqaha lagi, sekurang-kurangnya ada dua tujuan atau objektif kepada ijtihad yang dilakukan pada zaman Rasulullah itu. Pertamanya untuk melatih para sahabat berijtihad agar apabila Rasulullah s.a.w. wafat nanti mereka tidak lagi merasa susah untuk melakukannya. Keduanya ialah untuk memberi jawaban yang segera kepada masyarakat dalam menghadapi persoalan yang berkenaan. Karena tanpa jawaban yang segera seperti itu orang ramai akan membina persepsi sendiri. Mereka mungkin merasa sukar untuk mengubah persepsi itu kalau nantinya diperlukan.
Hanya apabila Rasulullah s.a.w. wafat barulah ijtihad ini secara teori dan praktikalnya diterima sebagai sumber hukum. Bagaimanapun para sahabat berbeda pendapat dan mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda antara satu sama lain dalam mentafsirkan apa itu ijtihad dan bagaimana sepatutnya digunakan dalam menentukan hukum. Perbedaan pendapat ini kemudiannya menghasilkan berbagai aliran di kalangan mereka dalam melihat persoalan berkenaan. Ada aliran yang lebih konservatif dan ada yang lebih liberal. Ada yang bersifat lebih formal dan ada pula yang bersifat lebih objektif.
a.Apa itu pengertian dan dan dasar hukum ijtihad?
b.Sebab Kemunculan dan Perkembangan Ijtihad
c.Ruang Lingkup dan Syarat-syarat Ijtihad.
d.Hukum dan Masa berlaku Ijtihad.
e.Dalil-dalil Ijtihadi.
f.Macam-macam Ijtihad
7.Fungsi Ijtihad
Ijtihad secara bahasa berasal dari kata jahada yang berarti kemampuan. Menurut istilah ijtihad adalah sebuah usaha dengan mengerahkan semua kemampuan dalam menggali hukum-hukum syar’i untuk menetapkan hukum Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis. Ijtihad dilakukan setelah Nabi Muhammad wafat sehingga tidak bisa langsung menanyakan pada beliau tentang suatu hukum.
Sedangkan menurut Ibnu Hajib ijtihad adalah pengerahan segenap kemampuan yang dilakukan oleh seorang ahli fiqih untuk mendapatkan suatu tahap dugaan kuat terhadap adanya sebuah ketetapan syari’at.
Ijtihad adalah salah satu sendi syari’at yang besar dan dalil-dalil untuk itu cukup banyak. Didalam al qur’an banyak ayat yag mendesak menggunakan pikiran dan mengharuskan menmgambil i’tibar, seperti firman Allah surat al Hasyr ayat 23. Selain itu, ada juga ayat yang secara terbuka menyatakan pengakuanya terhadap prinsip ijtihad dengan menggunakan metode qiyas, seperti surat al Nisa’ ayat 105.
Kata “ aroka Allahu “ pada ayat diatas mencakup penetapan hukum berdasarkan nash dan yang berdasarkan proses penetapan hukum dari hukum yang ditetapkan langsung dari nash.
Telah menjadi bagian dari kasih Allah bahwa Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya dalam keadaan sia-sia. Sifat dan kasih Allah itu terinfestasi pada dikirimkannya Rosul yang menyampaikan kabar gembira dan peringatan karena rahmat-Nya kepada manusia. Allah mengakhiri rangkaian kerosulan dengan Nabi SAW dan nabi berijtihad dalam banyak masalah keduniaan dan keagamaan. Jika ijtihad Rosul sesuai dengan kehendak Allah maka wahyu turun untuk menguatkanya dan jika tidak maka wahyupun datang menjelaskan cara yang benar dalam masalah tersebut. Diantara ijtihad beliaua adalah keizinan beliaua bagi orang yag mengajukan alasan dan tertingggal dalam perang tabuk dan Allah menjelaskan yang benar kepada nabi dengan firman-Nya yaitu surat al Taubah 44.
Ketika wilayah Islam menjadi semakin luas karena terjadinya penaklukan daerah baru, maka muncullah kasus-kasus dan peristiwa baru yang tidak ada nash yang menjelaskan ketentuan hukumnya namun memerlukan penyelesaian. Metode mereka dalam menyelesaikan masalah yang tidak ada nashnya adalah pertama mereka mencari jawaban dari kitab Allah, jika tidak menemukan jawaban maka mereka mencari dalam sunnah Rosul. Dan jika tetap tidak berhasil maka mereka mengumpulkan orang muhajirin dan anshor yang ahli dalam menggunakan ra’yi serta terpercaya. Apabila mereka sependapat mengenai sesuatu maka pendapat itu ditetapkan sebagai keputusan hukum yang sah. Tetapi ijma’ seperti ini tidak berlangsung lama. Mereka akhirnya terpisah-pisah dan menyebar setelah memperluas wilayah taklukan khususnya setelah wafatnya Umar ra. Berbagai peperangan dan wilayah tempat tinggal mereka telah memperjauh jarak antara mereka dengan lingkungan mereka menjadi berbeda-beda. Mereka sering berhadapan dengan peristiwa hukum yang tidak ada penjelasanya dalam al qur’an dan hadis. Hal demikian memaksa mereka untuk membandingkanya dengan sebahagian ketetapan hukum syari’at yang telah dikenal serta mencari ketetapan hukumnya melalui ijtihad terutama menyangkut dengan perbedaan pendapat yang bersumber dari dalil-dalil.
Ijtihad para sahabat bukanlah hanya sekedar keinginan tanpa pertimbangan, melainkan merupakan hasil dari sebuah nalar yaitu mewujudkan maslahat dan menghindari mafsadat. Setelah sahabat datanglah masa tabi’in. Mereka ini belajar fiqih kepada sahabat sampai selesai, mereka ikuti dasar-dasar dan cara-cara sahabatdalam beristidlal. Disamping itu pula para tabi’in juga mempelajari dalam bidang apa saja para sahabat memelihara maslahat. Mereka juga berbeda pendapat mengenai memelihara dan mempertimbangkan maslahat tersebut. Ijtihad pada masa tabi’it tabi’in adalah ijtihad mutlak yaitu ijtihad yang didasarkan pada nalar dan pembahasan serta berusaha keras untuk menemukan sisi kebenaran tanpa terikan pada pendapat seorang mujtahid lainnya kecuali pendapat itu merupakan pendapoat seorang sahabat yang diduga bersumber dari sunnah Rosul.
Metode pertama dipimpin oleh imam abu Hanifah. Penggunaan ra’yu yang begitu besar itu adalah disebabkan karena kota Irak belum lama mengalami kemajuan dalam bidang budaya dan oleh karena itu pula Irak dilanda erbagai persoalan rumit serta kasus yang banyak yang memaksa mereka untuk menguasai seluk beluk ijtihad secara mendalam sesuai dengan kelas kasusnya.
Metode kedua dipimpin oleh Imam Malik. Metode ini lebih banyak berpegang pada sunnah secara khusus, amal penduduk madinah menghindari penggunaan ra’yi secara umum. hal itu sebagaimana disebutkan oleh ibnu Kholdun, adalah disebabkan karena kehidupan disana lebih cenderung pada corak keprimitifan dengan pengertian bahwa penduduknya sederhana seklai kehidupannya, mirip dengan kehidupan Rosul.
Dalam memberi batasan bagi runag lingkup ijtihad, al Amidi mengatakan, “ Bidang yang dapat diijtihadi adalah hukum-hukum syara’ yang dalilnya bersifat dzanni. Maksud dari dalil dzanni adalah untuk membedakan dari hukum-hukum yang dalilnya bersifat qoth’i (pasti), Seperti sholat lima waktu, sholat lima waktu bukan merupakan bidang ijtihad karena orang yang keliru dalam sholat dipandang berdosa, sedangkan masalah-masalah ijtihadiyah itu adalah masalah dimana orang yang keliru dalam ijtihadnya tidak berdosa “.
Kemudian untuk berijtihad, peristiwa yang dihadapi haruslah peristiwa yang hukumnya tidak terdapat dalam nash. Dan berdasarkan ini, maka ruang lingkup ijtihad dapat menampung kegiatan panggilan hukum bagi peristiwa hukum baru pada saat tidak terdapatnya nash. Hal itu dilakukan dengan jalan berpegang pada tanda-tanda yang telah dipancangkan sebagai petunjuk bagi hukum, seperti qiyas.
Sahnya ijtihad itu terletak pada diketahuinya dasar-dasar syari’at serta enam syarat dibawah ini :
Mujtahid harus mengetahui bahasa arab, yaitu pengetahuan bahasa dan i’rob, mengetahui secara menyeluruh mengenai hakekat dan majaz, mengetahui secara menyeluruh mengenai percakapan yang menyangkut perintah, larangan, umum, khusus, mutlaq, muqoyyad, dalil khitab dan sebagainya.
Ia harus mengetahui dari kitab Allah segala yang berkaitan dengan berbagai ketentuan berupa umum dan khusus, mufassar dan mujmal, nasikh dan mansukh, serta dapat menggunakan dzahir dan mujmal tepat pada apa yang dimaksud oleh suatu ayat, dapat menggunakan nash tepat pada tujuan penggunaan nash..
Mengetahui kandungan sunnah berupa ketentuan hukum yang meliputi :
Mengetahui tentang thuruq sebuah hadis yaitu mengenai mutawatir dan ahad
Mengetahui para perowi hadis dan kesalehan perawinya
Menguasai lafal-lafal yang bebas dari ihtimal dan lafal-lafal yang dimasuki ihtimal.
Dapat menentukan mana yang kuat diantara khabar-khabar yang bertentangan.
Mengetahui perkataan sahabat dan tabi’in tentang berbagai hukum serta sebagian besar fatwa fuqoha.
Mengetahui qiyas, dasar-dasar yang boleh dicari illatnya serta sifat yang boleh dijadikan dan yang tidak boleh dijadikan illat-nya, serta mengetahui kaidah-kaidah pentarjihan beberapa dalil.
Ia harus seorang yang tsiqot dan dipercaya dan tidak memandang mudah terhadap masalah-masalah agama.
d.Hukum dan Masa Berlaku Ijtihad
Ijtihad menjadi wajib ’ain apabila seorang mujtahid dihadapkan kepada peristiwa baru dan ia tidak mengetahui hukumnya, atau apabila ia ditanyakan mengenai suatu peristiwa yang terjadi dan tidak ada mujtahid lain selain dia. Kewajiban dimaksud harus dilaksanakan secepatnya jika khawatir akan berlalunya perisiwa tersebut tanpa menurut jalur yang dikehendaki syara’.
Ijtihad menjadi wajib kifayah jika disuatu negeri terdapat lebih dari seorang mujtahid dan tidak khawatir akan berlalunya peristiwa hukum. Apabila sebagian mujtahid telah menentukan hukumnya maka tuntutan untuk berijtihad pada yang lainya menjadi gugur. Dan jika mereka tidak bersedia berfatwa padahal mereka mampu memberi jawabanya maka seluruhya dosa.
Ijtihad menjadi sunnah dengan melihat peristiwa-peristiwa yang belum pernah terjadi tetapi boleh jadi ia terjadi dalam waktu dekat.
Ijtihad menjadi haram apabila ia bertentangan dengan nash al qur’an dan hadis ataupun ijma’ ulama’.
Mengenai masa belakunya ijtihad, Apakah ijtihad itu telah terputus? jawaban yang benar yang didukung oleh dalil-dalil aqli dan naqli ialah bahwa ijthad itu akan tetap ada sampai terjadinya kiamat besar. ia tidak boleh terputus. Salah satu alasanya adalah sabda Rosul :
“ Akan tetap ada segolongan dari umatku yang berjuang menegakkan yang hak, mereka tidak dapat dibinasakan oleh orang yang ingin mengalahkan mereka sampai kiamat “
Memperjuangkan yang hak tak mungkin berhasil tanpa ilmu, dan tak ada ilmu tanpa ijtihad. Disamping itu jikalau masaitu hampa mujtahid, maka pasti terjadi kesepakatan antara penduduk atas suatu kesesatan, padahal kesepakatan terhadap kesesatan adalah dosa.
e.Dalil-dalil Ijtihadi
1.Ijma’. Ijma’ menurut bahasa arab berarti kesepakatan atau sependapat dengan suatu hal, menurut istilah ijma’ adalah kesepakatan mujtahid tentang hukum syara’ dari suatu peristiwa setelah Rosul wafat..Sebagai conth adalah setelah rosul meninggtal diperlukan pengangkatan pengganti beliau yang disebut dengan khalifah. maka kaum muslimin pada waktu itu sepakat mengangkat Abu Bakar sebagai kholifah pertama. Sekalipun pada mulanya ada yang tidak setuju dengan pegankatan beliau, namun pada akhirnya semua kaum muslimin menyetujuinya.
2.Qiyas. Qiyas menurut bahasa berarti menyamakan , membandingkan atau mengukur seperti menyamakan si A dengan si B karena keduanya memiliki tinggi yang sama, wajah yang sama dan berat yang sama. Secara istilah qias adalah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkan dengan suatu kejadian yang telah ditetapakan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan illat/sifat diantara kejadian atau peristiwa itu. Contoh narkotika di Qiaskan dengan meminum khamar.
3.Istihsan. Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik, menurut istilah istihsan adalah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasarkan dalil syara’ menuju hukum lain dari peristiwa itu juga. karena ada suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkanya.
Contoh: Syari’ melarang jual beli benda yang ada atau mengadakan akad pada sesuatu yang tidak ada. Namun ia memberi kemurahan secara istihsan pada pemesanan, sewa menyewa, muzaro’ah, mukhobaroh dll. Semuanya itu adalah akd sedangkan sesuatu yang diakadkan tidak ada pada waktu akad berlangsung. Segi istihsannya adalah kebutuhan manusia dan kebniasaan mereka.9
4.Maslahah mursalah adalah suatu kemaslahatan dimana syar;i tidak mensyariatkan sutau hukum ntuk merealisir kemaslahatan itu dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas pengakuanya atau pembatalanya. Contoh kemaslahatn yang karenanya para sahabat mensyariatkan pengadaan penjara, pencetakan mata uang, penetapan tanah p[ertanian, memungut pajak.
5.Urf. Menurut bahasa adalah kebiasaan sedangkan menurt istilah sesuatu yang telah dikenal orang banyak dan menjadi tradisi mereka dan tentunya tradisi disini adalah kebiasaan yang tidak dilarang. Contoh : saling pengertian manusia terhadap jual beli dengan cara saling memberikan tanpa adanya sighot lafdliyah.
6.Istishab. Menurut bahasa adalah pengakuan adanya perhubungan. secara istilah adalah menetapkan hukum terhadap sesuatu berdasar keadaan sebelumnya sehingga ada dalil yang menyebutkan atas perubahan keadaan tersebut. Contoh : Apabila seoran mujtahid ditanyai tentang hukum sebuah perjanjian dan ia tidak menemukan jawaban di nash dan tidak pula menemukan dalil syar’i yang membicarakan hukumnya mala ia memutuskan dengan kebolehan perjanjian tersebut berdasar kaidah : inna al ashla fi syai’in al ibahah.
f.Tingkatan-Tingkatan Ijtihad
Ijtihad terdiri dari bermacam-macam tingkatan, yaitu:
1.Ijtihad Muthlaq/Mustaqil,
Yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara menciptakan sendiri norma-norma dan kaidah istinbath yang dipergunakan sebagai sistem/metode bagi seorang mujtahid dalam menggali hukum. Norma-norma dan kaidah itu dapat diubahnya sendiri manakala dipandang perlu. Mujtahid dari tingkatan ini contohnya seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad yang terkenal dengan sebutan Mazhab Empat.
2.Ijtihad Muntasib,
Yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dengan mempergunakan norma-norma dan kaidah-kaidah istinbath imamnya (mujtahid muthlaq/Mustaqil). Jadi untuk menggali hukum dari sumbernya, mereka memakai sistem atau metode yang telah dirumuskan imamnya, tidak menciptakan sendiri. Mereka hanya berhak menafsirkan apa yang dimaksud dari norma-norma dan kaidah-kaidah tersebut. Contohnya, dari mazhab Syafi’i seperti Muzany dan Buwaithy. Dari madzhab Hanafi seperti Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf. Sebagian ulama menilai bahwa Abu Yusuf termasuk kelompok pertama mujtahid muthalaq/mustaqil.
3. Ijtihad Mazhab atau Fatwa.
Pelakunya disebut dengan mujtahid mazhab/fatwa.
Yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dalam lingkungan madzhab tertentu. Pada prinsipnya mereka mengikuti norma-norma/kaidah-kaidah istinbath imamnya, demikian juga mengenai hukum furu’/fiqih yang telah dihasilkan imamnya. Ijtihad mereka hanya berkisar pada masalah-masalah yang memang belum diijtihadi imamnya, men-takhrij-kan pendapat imamnya dan menyeleksi beberapa pendapat yang dinukil dari imamnya, mana yang shahih dan mana yang lemah. Contohnya seperti Imam Ghazali dan Juwaini dari madzhab Syafi’i.
4.Ijtihad di Bidang Tarjih,
yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara mentarjih dari beberapa pendapat yang ada baik dalam satu lingkungan madzhab tertentu maupun dari berbagai mazhab yang ada dengan memilih mana diantara pendapat itu yang paling kuat dalilnya atau mana yang paling sesuai dengan kemaslahatan sesuai dengan tuntunan zaman. Dalam mazhab Syafi’i, hal itu bisa kita lihat pada Imam Nawawi dan Imam Rafi’i. Sebagian ulama mengatakan bahwa antara kelompok ketiga dan keempat ini sedikit sekali perbedaannya; sehingga sangat sulit untuk dibedakan. Oleh karena itu mereka menjadikannya satu tingkatan.10
7.Fungsi Ijtihad
Fungsi ijtihad ialah untuk menetapkan hukum sesuatu , yang tidak ditemukan dalil hukumnya secara pasti di dalam A-lqur’an dan hadits .
Begitu pula dewasa ini, kehidupan dimulai dari realita. Kita tidak mulai pembaruan dari teks, tidak dari agama, akidah ataupun dari syariat. Ini adalah metode Islam ketika kita mencermati metode Asbâb al-Nuzûl (konteks sosial atau sebab-sebab turunnya wahyu), dan nâsikh wa al-mansûkh (ayat yang menghapus dan ayat yang dihapus).
Asbâb al-nuzûl berarti memperhatikan dan memprioritaskan realita atas teks, memperhatikan pertanyaan daripada jawaban. Seperti ayat-ayat, “ Wa yasalûnaka ani-l khamr” (mereka bertanya kepadamu mengenai khamer/minuman keras), wa yasalûnaka ani-l mahîdl (menstruasi), wa yasalûnaka ani-l anfâl.. dst. Saat ini apa pertanyaaan-pertanyaan yang dihadapai kaum muslimin? wa yasalûnaka ani-l awlamah (globalisasi), wa yasalûnaka an nihâyah at-târîkh (akhir sejarah), wa yasalûnaka ani-l ihtilâl (kolonialisme), wa yasalûnaka ani-l faqr (kemiskinan), wa yasalûnaka ani-l bathâlah fi indûnisiâ (pengangguran di Indonesia), wa yasalûnaka ani-l fasâd (kerusakan)…dst.
Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah permulaan, dari permasalahan dan musibah yang menggejala di seluruh masyarakat muslim. Jadi kita memulai dari realita yang general. Maka dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwasannya fungsi ijtihad dewasa ini ialah sebagai salah satu cara untuk menentukan hukum islam yang tidak tercntum secara jelas dalm Al-Quran dan Al-Hadist.
4.KESIMPULAN
Ijtihad para sahabat bukanlah hanya sekedar keinginan tanpa pertimbangan, melainkan merupakan hasil dari sebuah nalar yaitu mewujudkan maslahat dan menghindari mafsadat.
Yang dapat di ijtihadi adalah hukum-hukum syara’ yang dalilnya bersifat dzanni. Maksud dari dalilnya dzanni adalah untuk membedakan dari hukum-hukum yang dalilnya bersifat qoth’i (pasti).
Hukum ijtihad dapat wajib ‘ain, wajib kifayah, sunnah dan dapat juga haram
Contoh dari dalil ijtihadi misalnya ada ijma’, qiyas, istihsan, maslahah mursalah, urf dan istishab.
Tingkatan-tingkata ijtihad : mutlaq, muntasib, madzhab dan ijtihad di bidang tarjih
5.PENUTUP
Daftar Pustaka
1.Dr Abbas Ibrahim Al Dzarwy,1993, Teori ijtihad dalam hokum islam, Dina Putra, Semarang
2.http://www.fiqhmalaysia.com/v1
3.Al qur’an digital
4.DR Faturrahman djamil, 1995, Metode ijtihad majlis tarjih muhammadiyah, Logos, Jakarta.
5.Drs Mu’in Umar dkk, 1986, Ushul Fiqh, Proyrk pembinaan PTAI, Jakarta.
6.Abdul wahab kholaf, 1994, Ilmu ushul fiqh, Dina Utama, Semarang.
7.www.indoscrip.com