Nahdlatul Ulama dan Ijtihad
Sampai awal abad ke-20, Muslim Indonesia mencari fatwa dari ulama Timur Tengah, terutama dari Kairo dan Mekkah. Sebagai contoh, akhir abad 19 ada sebuah buku berisi kumpulan fatwa-fatwa ulama Mekkah untuk Muslim Indonesia: Muhimmât al-Nafâis. Buku ini terbit pertama kali dalam edisi lithographic di Mekkah tahun 1310 H/1892 M. Nico Kaptein dalam karya-karyanya menunjukan bahwa fatwa yang ada dalam kitab itu menyinggung tentang situasi di Indonesia. Kaptein juga mengutip Djajadiningrat bahwa edisi tahun 1913 buku tadi, tersedia di toko-toko kitab Muslim di Indonesia.
Bagaimanapun juga, tidak berarti ulama NU boleh menggunakan ijtihad mandiri. Beberapa kelompok modernis mengkritik kecenderungan taklid (menerima mentah-mentah pandangan dan pemikiran para mujtahid), karena mereka mengeluarkan fatwa hanya dengan mengutip kitab fikih tanpa menganalisis argumen-argumen di dalamnya, dan yang terpenting, tanpa me-refer langsung pada al-Quran dan Sunnah.
“Wahai para ulama! Jika kamu melihat seseorang melakukan pekerjaan berdasarkan i’tibâr seorang Imam yang boleh untuk diikuti, walaupun lemah dan kamu tidak setuju dengannya, jangan merendahkan dia, tetapi nasehati dia dengan bijaksana dan ramah. Dan jika dia tetap tidak ingin mengikuti kamu, jangan bermusuhan dengan dia. Jika kamu bermusuhan dengannya, maka kamu adalah orang yang membangun sebuah tempat dengan menghancurkan kotanya dulu.”
K.H. Mahfudz Siddiq (1906-1944 M), Ketua Dewan Tanfidziyah (1937-1942), menulis buku berjudul “Ijtihad dan Taqlid untuk rekonsiliasi”. K.H. Mahfudz Siddiq percaya bahwa semua hukum-hukum Islam berdasar dari al-Quran. Sementara penafsiran al-Quran harus berdasarkan pada hadits Nabi Muhamad. Lebih jauh, K.H. Mahfudz Siddiq melihat bahwa pada abad-abad awal sejak Nabi wafat, para ulama berbeda pendapat dalam beberapa kasus, terlebih karena belum ada kodifikasi hadits dan hukum (fikih).
Menurut K.H. Mahfudz Siddiq, pada abad ke-20, ketika beberapa madzhab sudah mapan di dunia Muslim, pemimpin-pemimpin Nahdlatul Ulama hanya mengakui empat pemikir yang bisa dipanggil mujtahid mustaqil sesungguhnya. Artinya, K.H. Mahfudz Siddiq menunjukan bahwa yang lain hanyalah muqallid (pengikut). Bagi mereka yang mampu berijtihad, K.H. Mahfudz Siddiq mengakui kewajiban untuk melakukan ijtihad, sedangkan mereka yang tidak mempunyai kemampuan untuk berijtihad harus bertaklid. Akhirnya, K.H. Mahfudz Siddiq menyimpulkan bahwa pemikiran para ulama adalah produk ijtihad yang berdasar kepada Kitab Allah; bukan hukum buatan mereka sendiri. Bahkan setelah madzhab-madzhab Imam Empat mapan, tidak penting bagi kalangan awam untuk tahu sumber dan dasar pendapat para Imam. Cukup dengan mengutip pendapat itu.
Beberapa tahun setelah itu, K.H. Achmad Siddiq, adik dari K.H. Mahfudz Siddiq, berpendapat:
“Ijtihad adalah memanfaatkan kekuatan akal, menggunakan metode yang absah dan dipercaya berdasarkan pada Quran dan Hadits, untuk menganalisis hal-hal yang tidak jelas dalam Quran dan Hadits. Mereka yang memenuhi kriteria boleh melakukan ijtihad mereka sendiri. Sedangkan yang tidak, boleh mengikuti ijtihad para mujtahid.”
Seperti pendapat ulama lain di dunia Muslim, keduanya masih mengakui ijtihad dalam akal yang terbatas. Oleh karena itu, secara teori, NU terletak di antara posisi ijtihad dan taklid, dan percaya, dalam kerangka terbatas, bahwa pintu ijtihad masih terbuka.
K.H. Ilyas Ruchiyat, Rais Am NU tahun 1994-1999, Pimpinan Pesantren Cipasung Jawa Barat menetapkan bahwa NU adalah muqallid saja, bukannya sebagai mujtahid. K.H. Azis Masyhuri menjelaskan alasan pernyataan Rais Am di atas. Ringkasnya, NU tidak ingin menyebut dirinya sebagai mujtahid. Menurut K.H. Azis Masyhuri, itu menjadikan NU jatuh ke dalam kategori mujtahid yang paling rendah karena peringkat paling tinggi dalam muqallid adalah kira-kira sepadan dengan rangking paling rendah dalam mujtahid.
Jalan terbaik untuk melihat apakah NU melakukan ijtihad atau tidak, dan kategori ijtihad yang manakah yang dilakukan, adalah dengan menganalisis metode dan proses fatwanya. Pada Muktamar I tahun 1926, ulama NU sepakat menjawab pertanyaan: “Apakah wajib bagi seorang Muslim untuk mengikuti madzhab yang empat?” dengan jawaban: “Sekarang, wajib bagi seorang Muslim untuk mengikuti salah satu dari Imam Empat; Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.” Jawaban ini mengutip bukan dari Quran maupun Sunnah. Malahan, jawaban itu dikutip dari tiga buku hukum Islam: al-Mizân al-Sya’râni, al-Fatwa al-Kubra, dan Nihayah al-Ushûl.
Pertanyaan selanjutnya berhubungan dengan metode fatwa: “Pendapat siapa yang bisa digunakan sebagai fatwa dalam sebuah kasus yang berbeda pendapat di antara para ulama Syafi’i?” Ulama NU dengan mengutip dari I’ânah al-Tâlibîn menjawab: “Pendapat yang bisa digunakan sebagai fatwa, terdiri dari: pertama, pendapat manapun yang berdasar pada i’tibâr atau kesepakatan Imam Nawawi dan Imam Rafi’i. Kedua, jika tak terdapat jawaban, hanya pendapat Imam Nawawi saja yang dipakai. Ketiga, kemudian pendapat Imam Rafi’i yang dipakai. Keempat, pendapat mayoritas yang dipakai selain ulama Syafi’i. Kelima, kemudian mengikuti pendapat yang paling ‘âlim dan terakhir mengikuti pendapat ‘alim yang biasa saja.
Menarik untuk ditinjau bahwa kitab-kitab yang digunakan dalam mengeluarkan fatwa bukan dari Imam Syafi’i, melainkan kitab-kitab seperti Minhâj al-Tâlibîn oleh Imam Nawawi, al-Muharrar oleh Imam Rafi’i, Kifâyah al-Akhyar oleh al-Dimasyqi, Fath al-Mu’în oleh al-Malibari, I’ânah al-Tâlibîn oleh Sayyid Bakri al-Dimyati, Ringkasan dan Komentar Kitab Imam Nawawi seperti Kanz al-Râgibîn oleh al-Mahalli, Syarh Kanz al-Râgibîn oleh al-Qalyubi dan ‘Umayra, Tuhfah al-Muhtâj oleh Ibnu Hajar al-Haitami, Mugni al-Muhtâj oleh Syarbini dan Nihâyah al-Muhtaj oleh al-Ramli.
Bukti ini datang dari Muktamar ke 12 tahun 1937, saat ada pertanyaan mengenai keunggulan antara Syafi’i atau Nawawi dalam berpendapat. Anehnya, tanpa menganalisis kedua argumen dulu, mengutip dari I’ânah al-Tâlibîn bersepakat menjawab “Muktamar telah memilih pendapat Imam Nawawi, yang telah dipilih pada Muktamar pertama, sebagai salah satu madzhab yang terkuat. Walaupun itu, telah menunjukkan bahwa Imam Syafi’i adalah pendiri madzhab Syafi’iyah, sedangkan Imam Nawawi hanya sebagai pengikutnya.
Maka jelas, bahwa NU mengenal empat madzhab dan wajib bagi muslim untuk mengikuti salah satu dari mereka. NU mengeluarkan fatwa dengan keras untuk mengikuti urutan ulama dari madzhab Syafi’iyah, berdasar pada kualitas seseorang, apapun juga yang menjadi argumen dan latar belakang kasus.
NU dan Rumusan Metode Ijtihad
Pada November 1998, pertemuan selanjutnya di Pesantren Krapyak Yogyakarta, membahas tata cara Bahtsul Masa’il. Pertemuan ketiga di Pesantren Denanyar Jombang merumuskan metodologi untuk membedakan antara pengutipan pendapat ulama (qauli) dan metode (manhaji). Setelah itu, mereka mendiskusikan cara untuk membina fikih sosial dalam rangka memecahkan masalah sosial. Pada hakekatnya, mereka menginginkan hukum Islam tidak hanya berbicara masalah ritual-keagamaan, namun juga masalah sosial seperti posisi militer, prostitusi, pajak, dan demokrasi.
Pertemuan-pertemuan itu menghasilkan bahwa; pertama, tidak cukup mengeluarkan fatwa hanya dengan mengutip dari teks kitab kuning. Qowâ’id ushûliyyah dan qawâ’id fiqhiyyah juga perlu diuji. Kedua, fatwa masalah sosial perlu menelaah hal-hal seperti latar belakang sosial, situasi politik, dan ekonomi. Seperti contoh, untuk menjawab masalah prostitusi di suatu tempat, tidak cukup hanya dengan mengatakan bahwa “prostitusi itu dilarang menurut kitab fikih”. Malahan, perlu ditelaah kenapa prostistusi terjadi di tempat itu? Kenapa orang-orang menyukai pergi ke sana? Kenapa Pemerintah tinggal diam dalam masalah ini? Jawaban harus lebih luas dan mempunyai daya lingkup menyeluruh.
Ketiga, memberikan fatwa tanpa mengutip pendapat atau qaul madzhab Syafi’iyah bukan berarti menolak terhadap madzhab itu, sepanjang mengikuti metodologi madzhab itu. Tambahan lagi, yang keempat, memilih pendapat paling kuat dari fatwa-fatwa yang berbeda harus berdasar pada argumentasi yang paling bermanfaat (maslahah) bagi masyarakat; bukan hanya pada tingkatan para ulama.
Pada Kongres Nasional di Lampung, 21-25 Januari 1992, sebuah terobosan telah tercapai. Kiyai-kiyai yang terlibat dalam pertemuan itu mengusulkan untuk mendiskusikan metode mengeluarkan fatwa. Jelas tidak mudah mengubah sesuatu yang sudah diikuti sejak 1926. Beberapa Kiyai Senior ingin mempertahankan metode lama. Sebuah kompromi yang tercapai, dengan beberapa metode baru yang diterima selagi masih berdiri di atas prinsip lama.
Selanjutnya, NU biasanya akan memproduksi fatwa dengan; pertama, memeriksa secara menyeluruh pendapat-pendapat para ulama terdahulu. Kedua, Jika ditemukan perbedaan pendapat, maka yang dipilih adalah pendapat paling dominan yang dipilih secara bersama (taqrîr jama’i). Ketiga, jika jawaban masih tidak ditemukan, maka akan menggunakan ilhâq al-masâil bi nadzâriha, dengan menggambarkan antara kasus yang ditangani dan situasi serupa yang disebutkan di dalam kitab hukum Islam. Keempat, jika dengan ilhâq al-masâil bi nadzâriha tidak juga mendapatkan jawaban atas permasalahannya, maka harus mengadakan istinbât jama’i dengan melihat metode Imam madzhabnya. Dalam posisi ini, seorang ahli ilmu umum seperti ahli ekonomi, hukum, dan teknik, bisa terlibat dalam proses ijtihad.
Kedua, NU masih tidak mengakui seputar kemampuan melakukan ijtihad. Semisal, menghindari penggunaan terma ijtihad dan qiyâs. Diyakini bahwa, mengikuti Imam Syafi’i, keduanya setara, dan karena NU menyatakan diri sebagai Muqallid, terminologi seperti itu dihindari. Malahan, terma istinbât dan ilhâq al-masâil bi nadzâriha digunakan. Namun realitanya, terminologi itu secara berurutan tidak berlainan dengan ijtihad dan qiyâs. Bisa dikatakan bahwa, walaupun NU tidak ingin disebut sebagai Mujtahid, tapi melakukan ijtihad dengan nama lain.
NU perlu bercermin pada perdebatan ijtihad dalam tradisi Islam. Mayoritas ulama membolehkan ijtihad dalam kasus tertentu. K.H. Husein Muhammad, Pesantren Arjawinangun, meyakini bahwa ulama NU mempunyai kapabilitas untuk melakukan ijtihad dalam kasus-kasus tertentu. Masalahnya adalah, bahwa mereka terlalu rendah hati untuk melakukan itu.
Ketiga, implementasi metode baru layak ditinjau ulang. Menurut K.H. Azis Masyhuri, tujuh tahun setelah metode baru digunakan, prosedur manhaji dan istinbât tidak pernah lagi dipakai. Para ulama mengklaim bahwa mereka masih bisa memecahkan masalah, termasuk masalah modern, dengan bersumber kepada teks-teks kitab kuning. Faktanya bahwa tidak ada contoh bagaimana mengaplikasikan metode baru secara optimal. K.H. Azis Masyhuri mengklaim bahwa dia ditanya Wakil Ketua Dewan Syuriah, K.H. Sahal Mahfudz (1994-1999), “Adakah contoh mengeluarkan fatwa dengan manhaji atau istinbât?”. Menurut K.H. Azis Masyhuri, K.H. Sahal Mahfudz mengakui bahwa beliau tidak bisa memberikan satu contoh pun.
Dr. Ahsin Muhammad mengkritik NU karena tidak menyediakan petunjuk teknis dalam mengaplikasikan metode baru. Menurutnya jika petunjuk teknis untuk metode baru keluar, maka efeknya akan; pertama, Pesantren akan merubah kurikulum dan program, dalam rangka mengajarkan santri-santrinya tentang cara mengeluarkan fatwa dengan metode baru. Kedua, fatwa lama sejak Muktamar pertama tahun 1926 perlu ditinjau ulang, berdasarkan metode baru. Ini menjadikan NU telah gagal bukan hanya dalam mengenalkan metode baru kepada anggotanya, bahkan juga dalam menindaklanjuti hal tersebut.
Dengan metode baru, analisis sosial diperlukan untuk memecahkan problematika sosial. Dalam prakteknya, jarang muncul analisis seperti itu. Bahkan bisa dikatakan tak ada sama sekali. Seperti contoh, pada Muktamar ke 29 di Pesantren Cipasung Tasikmalaya Jawa Barat (dua tahun setelah metode baru diputuskan), saat menjawab pertanyaan tentang upah minimum tenaga kerja, fatwa masih bersandar pada konsep fikih, dan melalaikan isu dasar: ketimpangan posisi tawar (bargaining position) antara pemerintah, perusahaan, dan karyawan. Hasilnya fatwa itu tidak memberikan rekomendasi apapun untuk memecahkan problem dasar seputar tenaga kerja di Indonesia.
Dengan menerima analisis sosial sebagai metode tambahan, NU berkesempatan untuk mengembangkan posisi fatwa tidak hanya sebatas persoalan agama, namun juga sebagai perangkat untuk pemberdayaan masyarakat. Ini memerlukan ahli ilmu sosial untuk ikut terlibat dalam mengeluarkan fatwa-fatwa. NU menyediakan kesempatan kepada ahli sosial untuk mengambil peran. Sayangnya, sedikitnya kalangan NU yang menguasai disiplin sosial dan besarnya biaya untuk mengundang pakar di bidang itu masih menjadi kendala.[]