Janji Setia ke-3 dan Politik Militer Iran vs Israel
MM-Pembalasan Iran dengan operasi sandi janji setia 1 terhadap serangan konsulat Iran oleh Israel di Damaskus 1/4/2024 memakan waktu 13 hari (13/4/2024). Paska pembunuhan Ismail Haniyeh oleh Israel, butuh waktu berbulan-bulan bagi Teheran untuk membalas.
Dua puluh lima hari setelah serangan rudal besar-besaran Iran dengan operasi sandi janji setia 2, pada 1 Oktober terhadap Israel, dan setelah berminggu-minggu penuh dengan ancaman dan kegaduhan, Tel Aviv mengeklaim melancarkan serangannya sendiri terhadap lokasi militer Republik Islam Iran pada dini hari Sabtu, 26/10/2024. Israel mengeklaim telah melumpuhkan air defense dan lokasi produksi rudal Iran.
Setelah serangan Israel, Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran bertemu untuk mendapatkan pengarahan tentang target yang diserang dan menilai tingkat kerusakan. Sementara kemungkinan kapan tanggapan militer Iran sudah pasti. Hanya saja publik tidak tahu, kapan serangan operasi janji 3 di lakukan. Pemimpin tertinggi Iran, Ayatullah Khameini memastikan balasan, menekankan tidak akan terburu-buru, tidak akan lambat, menghimbau publik untuk tidak membesar besarkan serangan Israel, tapi juga tidak meremehkanya.
Nampaknya perang genosida Israel di Gaza sejak 7/10/2024 dan serangan darat Israel ke Libanon, 1/10/2024 memiliki narasi sendiri meski satu kesatuan. Secara geografis, baik Gaza dan Libanon langsung berbatasan sekaligus menjadi lokasi tarjet okupasi Israel sejak 1948. Tentara pendudukan Israel “yang dianggap” entitas negara melawan pejuang kemerdekaan Palestina, aktor bukan negara.
Sementara perang Israel dengan Iran sebagai pendukung Hizbullah dan Hamas, menempatkan keduanya secara alamiah sebagai aktor negara. Secara strategis, mau tidak mau, Iran harus mempertimbangkan kekuatan US sebagai pendukung utama Israel, tepatnya mempertimbangkan postur-barak militer NATO di timur tengah yang membentengi Israel.
Iran berupaya serius bergerilya secara diplomatik ke negara-negara Arab yang menfasilitasi pangkalan milter AS. Hasilnya cukup positif, Mesir, Arab Saudi, Uni Emiret Arab, Kuwait mengutuk serangan Israel ke Iran. Termasuk negara Asia lainya juga mengutuk, seperti Malaysia, Indonesia, India, Afghanistan dan Jepang. Kecaman ini akan memberi amunisi legitimasi lebih banyak pada Iran, saat melakukan operasi janji setia ke-3.
Serial Janji Setia
Nampaknya, kedepan, serangan Iran ke Israel dalam operasi serial yang ketiga akan memberi dampak destruksi lebih besar, sebanyak 80 titik telah di tentukan sebagaimana yang di janjikan Iran. Disamping itu, semakin banyaknya dukungan internasional dalam mengecam Israel menandakan keberhasilan Iran pada level diplomatik. Sementara level militer juga meningkat. Berdasar bukti di lapangan, Air Defense Iran lebih efektif daripada milik Israel, Iron Dome, David Slink, Arrow, bahkan Patriot dan THAAD. Pesawat F35, F16 USA juga kalah efektif dibanding performa berbagai variasi rudal Iran.
Sebenarnya, tanda-tanda kekuatan perimbangan militer Iran di kawasan menghadapi postur militer US di kawasan telah di akui oleh Jenderal Kenneth Franklin McKenzie.
McKenzie Jr, seorang pensiunan jenderal Korps Marinir Amerika Serikat yang menjabat sebagai komandan ke-14 Komando Pusat Amerika Serikat dari 28 Maret 2019 hingga 1 April 2022. McKenzie menekankan dalam sebuah laporan yang diterbitkan oleh Institut Yahudi untuk Keamanan Nasional Amerika (JINSA): “Sifat ancaman di Timur Tengah telah berubah secara signifikan sejak pangkalan AS pertama kali ditempatkan, beberapa dekade lalu. Ancaman inti – sekarang lebih dari sebelumnya – adalah Iran.” Tepatnya setelah Iran, menyerang pangkalan militer AS di Irak, dengan 12 misil ke pangkalan al-Asad, Irak Barat dan Erbil 8/1/2020. Serangan ini sebagai pertahanan diri, setelah AS membunuh jenderal Qasem Soleimani 3/1/2020 di bandara Irak, atas peirintah Donald Trump.
Serangan Iran pada tanggal 1 Oktober adalah tahap lanjut dari serangan sebelumnya pada bulan April, yang sebagian besar, dirancang untuk tidak efektif. Serangan tersebut pada dasarnya adalah operasi pengumpulan intelijen terhadap pertahanan udara Israel dan sekutunya.
Orang awam, dan bahkan analis kebijakan luar negeri yang berpengalaman, mungkin tidak mengetahui makna dari serangan awal tersebut, bahkan bisa jadi para ahli strategi militer di Washington tidak mengetahuinya. Para analis militer AS memang sudah lama meremehkan kemampuan militer Iran, menganggap kepemilikan senjata nuklir sebagai satu-satunya ancaman nyata. Namun ancaman itu justru dari kualitas dan kuantitas misil berpresisi tinggi bukan senjata nuklir Iran.
Hasil analisis Akademi Militer West Point milik Angkatan Darat AS, dalam rangka mengatasi misil Iran, merekomendasikan Israel, membangun lebih banyak tempat perlindungan bom. Menggunakan pertahanan udara untuk melawan rudal Iran,
Sampai batas tertentu, strategi ini tidak ada gunanya. Pertama, setelah melewati titik tertentu kemajuan teknologi dalam teknologi rudal, pertahanan udara adalah alat yang mahal dan tidak dapat diandalkan.
Sebagai contoh, setiap baterai Terminal High Altitude Area Defense (THAAD), rudal anti balistik Amerika, dirancang untuk mencegat dan menghancurkan rudal balistik jarak pendek, menengah, terdiri dari enam peluncur yang dipasang di truk, 48 pencegat, peralatan radio dan radar, memerlukan 95 tentara untuk mengoperasikannya, dan menghabiskan biaya antara $1 miliar dan $1,8 miliar, dengan setiap rudal menghabiskan biaya sekitar $13 juta. Ini berarti $625 juta untuk semua 48 rudal.
Lebih jauh lagi, penempatan THAAD dengan operator pasukan AS menjadi target yang sah dalam perang regional yang belum melibatkan pasukan AS secara langsung dan resmi. Jika pasukan AS terkena sasaran, bisa menjadi dalih secara langsung, AS ikut terlibat.
Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi memperingatkan minggu lalu bahwa Washington secara efektif telah menempatkan nyawa pasukan AS “dalam risiko dengan menempatkan mereka untuk mengoperasikan sistem rudal AS di Israel.”
Kendala lain bagi rencana pertahanan udara AS-Israel ini adalah tidak adanya tindakan balasan yang dapat diandalkan terhadap sistem rudal yang melintasi atmosfer luar. Meskipun berbagai kemajuan teknologi telah dicapai dalam beberapa tahun terakhir, masalah tersebut masih sebanding dengan “menangkal peluru dengan peluru lainnya.” Upaya militer AS selama beberapa generasi untuk mengembangkan sistem pertahanan rudal balistik guna menangkal Rudal Balistik Antarbenua (ICBM) telah diejek selama beberapa dekade sebagai “garis Maginot di langit.”
Sistem rudal tercanggih yang dimiliki AS untuk menangkal ancaman tersebut adalah sistem Rudal Standar 3 (SM-3) yang baru, yang memiliki kemampuan untuk menyerang rudal dalam tahap atmosfer luar. Namun, jika AS meluncurkan senjata inipun belum bisa menanggulangi rudal hipersonik Fattah milik Iran. Militer AS telah memproduksi rudal-rudal ini dalam skala besar, sebagai antisipasi konfrontasi rudal dengan Tiongkok terkait konflik dengan Taiwan.
Meski sejak pemerintahan Obama secara resmi mengakui perlunya AS untuk memfokuskan kekuatan militernya di Timur Jauh dan menjauh dari Asia Barat dengan kebijakan “Berputar ke Asia” tahun 2009. Namun 85 persen pertemuan Dewan Keamanan Nasional AS masih membahas Asia Barat. Apalagi perang genosida Israel di Gaza, telah melebar ke Libanon, Suriah dan kemungkinan ke Irak. Namun rudal hipersonik, blokade selat Hormuz menjadi kartu truf Iran, ditambah perlawanan laut Houti, gerilya Hisbullah dan Hamas, menjadikan eksistensi Israel berpotensi punah.