Kebangkitan al Husain Menurut Wahhabi
Khilafah dan Kerajaan Islam.
Beberapa saat setelah Rasulullah saw. wafat sebagian kaum Muslimin; sebagian besar dari mereka terdiri dari kaum Anshar, berkumpul di Balairung (Saqifah) Bani Saidah untuk membicarakan tentang masalah kepemimpinan setelah Rasulullah wafat. Terjadi perbedaan yang cukup tajam antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin dalam menentukan siapa yang berhak menjadi khalifah kaum Muslimin. Namun, karena satu dan lain hal, terpilih lah sahabat Abu Bakar menjadi khalifah pertama kaum Muslimin.
Abu Bakar berkuasa selama dua tahun dan tiga bulan. Sebelum wafat, dia berwasiat agar Umar bin al Khattab menggantikannya. Umar berkuasa selama sepuluh tahun lebih. Kemudian Utsman menjadi khalifah setelah diputuskan dalam sebuah formatur yang dihadiri oleh enam orang sahabat. Utsman berkuasa selama dua belas tahun. Setelah itu, Ali bin Abi Thalib diminta oleh kaum Muslimin agar bersedia menjadi khalifah. Karena permintaan mereka, Ali bersedia dan memimpin mereka selama lima tahun. Dan terakhir yang menjadi khalifah adalah al Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Al Hasan menjadi khalifah selama enam bulan. Setelah itu, dia menyerahkan kekuasaan kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan.
Masa kekuasaan khilafah itu berlangsung selama tiga puluh tahun. Menurut Abu Utsman Ismail bin Abdurahman al Shabuni dalam kitabnya, ‘Aqidah Salaf wa Ahlul Hadis bahwa jumlah waktu khilafah itu telah disebutkan dalam sebuah hadis yang berbunyi bahwa khilafah akan berlangsung selama tiga puluh tahun. Setelah itu, sistem khilafah diganti dengan sistem kerajaan.[1]
Kemudian Muawiyah berkuasa. Dia berkuasa tidak sebagai khalifah tapi sebagai raja. Sebelum wafat, dia mengangkat putranya yang bernama Yazid sebagai putra mahkotanya. Pada tahun 60 Hijriah Muawaiyah mati, lalu Yazid dinobatkan sebagai raja. Yazid berkuasa selama empat tahun dan dilanjutkan oleh putranya, Muawiyah bin Yazid, yang berlangsung kurang dari empat bulan. Muawiyah kedua dibunuh oleh sepupunya sendiri dari klan Bani Umayyah, yaitu Marwan bin al Hakam. Sejak itu, yang menjadi penguasa raja secara turun temurun adalah dari keturunan Marwan bin al Hakam dan berlangsung sampai tahun 132 H (750 M).. Bani Umayyah dijatuhkan oleh keturunan sahabat dan paman Nabi saw. yang bernama Abbas bin Abdul Muthalib. Mereka kelak dikenal dengan sebutan Abbasiyah. Penguasa pertama dari mereka adalah Abu Manshur al Saffah. Kemudian kerajaan Islam beralih ke mereka secara turun temurun dan berlangsung beberapa sampai tiba penyerangan pasukan Tatar ke ibukota kerajaan Abbasiyah di Baghdad pada tahun 656 H (1258 M).
Sikap Wahhabi-Salafi Terhadap Para Penguasa
Menurut metode dan cara pandang Wahhabi-Salafi yang skriptualistik, Fakta sejarah tersebut bisa menjadi input teologis dan menjadi bagian dari keimanan yang harus diimani karena dua hal;
- Bahwa apa yang terjadi adalah kehendak Allah swt. dan kaum Muslimin wajib mengimani kehendakNya sebagai sebuah qodho dan takdir; yang baik maupun yang jahat ( khayrihi wa syarrihi). Karena itu, melawan penguasa berarti menolak qodho dan takdir Allah yang mengakibatkan kekafiran seseorang.
- Mentaati penguasa sebuah kewajiban karena mereka adalah Ulil Amri yang wajib ditaati sebagaimana dinyatakan dalam al Qur’an dan dipertegas oleh hadis Nabi saw. Karena itu, tidak mentaati penguasa sama dengan tidak mentaati al Qur’an, dan itu sebuah kekafiran.
Cara pandang Wahhabi-Salafi tersebut dipertegas kembali dalam keterangan-keterangan dan fatwa-fatwa ulama mereka. Misalnya, Utsman al Shabuni menyatakan, “ Para Ahlu Hadis berpendapat bahwa solat jum’at, Ied dan lainnya di belakang pemimpin yang baik maupun yang jahat hukumnya sah. Jihad bersama mereka dibenarkan meskipun mereka itu dzalim dan fasik (pelaku maksiat). Tidak diperbolehkan melawan para penguasa dengan pedang meskipun mereka itu dzalim dan fasik, dan diwajibkan memerangi kelompok bughât (pemberontak) “.[2]
Sulit untuk diterima oleh akal sehat tentang sikap Wahahabi-Salafi ini. Coba sejenak berpikir, melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar adalah sebuah kewajiban yang diperintahkan oleh Allah swt., dan saat yang sama, mentaati penguasa Muslim yang dzalim dan fasik hukumnya wajib, dan melawannya tidak dibenarkan, bahkan yang melawannya dianggap bughât. Dalam pandangan mereka, penguasa Muslim yang dzalim dan fasik cukup dinasehati dan didoakan saja. Simak penjelasan al Shabuni,
“ Rakyat hendaknya bersabar dalam menghadapi kedzaliman para penguasa, karena dalam kesabaran itu terdapat maslahat yang besar. Nasehat perlu dilakukan oleh para ulama, muballigh dan ahlul hal wal aqdi. Jika mereka menerima nasehat, maka Alhamdulillah. Jika tidak, maka yang penting para ulama telah melakukan kewajiban mereka “
Lebih dari itu, Wahhabi-Salafi menganggap kedzaliman para penguasa itu karena kesalahan rakyat,
“ Para penguasa itu tidak melakukan kedzaliman kecuali karena dosa dan kemasiatan rakyat mereka. Maka rakyat harus bertaubat kepada Allah. Kedzaliman mereka boleh jadi sebagai bentuk pelajaran bagi orang-orang yang fasik dan ujian bagi orang-orang yang saleh untuk mengangkat derajat mereka “.
Al Husain Bersalah dan Yazid Benar Sebagai Penguasa
Sebagai sebuah fakta bahwa Yazid berkuasa. Karena itu, dia wajib ditaati dan tidak boleh dilawan. Melawannya dianggap sebagai sebuah kesalahan. Sementara itu, al Husain menolak kekuasaan Yazid. Dia bangkit melawan Yazid demi melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar. Siapa yang bersalah ?
Berdasarkan cara pandang Wahhabi-Salafi tersebut, maka perlawanan dan kebangkitan al Husain terhadap Yazid yang berkuasa dianggap sebagai sebuah pemberontakan yang salah. Al Husain bersalah karena menolak dan melawan penguasa Muslim (bahkan mungkin, al Husain dianggap tidak menerima takdir Allah yang meghendaki Yazid berkuasa). Namun pada sisi lain, mereka meyakini bahwa al Husain adalah cucu dan sahabat Nabi saw. yang dijamin sebagai ahli surga. Sebuah dilema yang membingungkan mereka.
Dalam menghadapi dilematika kekuasaan Yazid dan perlawanan al Husain ini, kaum Wahhabi-Salafi mempunyai satu solusi yang diangap jitu, yaitu bahwa seorang yang melakukan ijtihad jika salah maka mendapatkan satu pahala, dan jika benar maka mendapatkan dua pahala. Al Husain berijtihad dengan melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar tapi dia salah, maka dia mendapatkan satu pahala. Sedangkan Yazid, meski seorang yang dzalim dan fasik, adalah seorang penguasa Muslim yang wajib ditaati, dan dia berkuasa karena kehendak Allah swt.
Solusi tersebut diyakini dapat menyelesaikan semua perselisihan dan konflik di antara para sahabat Nabi saw., dan digunakan juga dalam menjelaskan kesalahan-kesalahan mereka.( Husein Alkaff)
[1] http://shamela.ws/browse.php/book-37012/page-190
[2] ibid