Kehidupan Awal dan Keluarga Al-Husein as
Setiap orang selalu mempunyai kebanggan terhadap sosok manusia, entah itu orangtuanya, saudaranya maupun orang tertentu yang memiliki integritas dalam masyarakat sosial. Sosok tersebut menjadi figur baginya dalam menjalankan kehidupannya di masyarakat. Seluruh perbuatannya menginspirasi dalam setiap tindakan yang akan dilakukan. Sosok itu menjiwai dirinya dalam setiap langkahnya, seolah-olah sebagai mentor yang selalu melekat dalam dirinya. Dalam hal ini penulis ingin menuliskan kisah perjuangan hidup Al-Husein as sebagai sosok yang menginspirasi dan memberikan semangat dalam hidupnya.
Husein ibn Ali lahir pada tahun 626 M dalam rumah tangga Nabi Muhammad Saw. Ia adalah putra Fatimah sa putri Nabi Muhammad Saw dari hasil pernikahannya dengan Ali ibn Abu Thalib. Husein tumbuh besar dalam era kekacauan gejolak politik. Namun tumbuh berkembangnya Husein selalu diperhatikan oleh kakeknya Muhammad Saw. Ia dibesarkan sendiri oleh kakeknya dengan kasih sayang dan merupakan cucu kesayangan Nabi Saw.
Ya’la bin Murrah meriwayatkan, “kami pergi bersama Rasulallah untuk menghadiri undangan makan. Di suatu gang, kami melihat Husein sedang bermain-main. Rasulallah mendekatinya seraya membentangkan kedua tangannya untuk menangkap Husein. Namun Husein berlari kesana kemari hingga membuatnya tertawa, sesampainya berhasil menangkapnya. Kemudian Rasulallah meletakkan satu tangannya di bawah dagu Husein dan tangan yang lain di atas kepalanya, Rasulallah mencium-ciumnya. Rasulallah bersabda, ‘Husein dariku dan aku darinya, Allah mencintai orang yang mencintai Husein, dan Husein adalah cucuku.'”
Begitu perhatiannya Nabi Muhammad kepada Husein sehingga banyak yang meriwayatkan tentang kedekatan Nabi dengan Husein. Dalam salah satu riwayat Salman Al-Farisi mengatakan, “aku pernah menjumpai Rasulullas Saw, sedangkan Husein bin Ali berada di atas pahanya. Ia mencium kening, pipi kanan dan kirinya seraya bersabda, ‘engkau adalah penghulu putra penghulu, imam putra seorang imam, saudara seorang imam, dan ayah para imam. Engkau adalah hujah Allah putra seorang hujah Allah dan ayah sembilan hujah dari keturunanmu dan yang kesembilan adalah Imam Mahdî afs.”
Orangtua Husein sangat dihormati di antara orang-orang karena kebijaksanaan, kesalehan dan kasih sayang mereka; dan Ali sangat dikenal di kalangan orang Arab karena keberanian, integritas dan kepemimpinannya. Kehidupan kedua orangtua Husein sangat sederhana berbeda dengan orang yang memanfaatkan status sosialnya. Ia berasal dari keluarga yang dikenal menjunjung tinggi nilai keadilan, suka beramal dan damai.
Ia baru berumur 8 tahun ketika kakeknya meninggal, dan tahun-tahun berikutnya diliputi oleh kekacauan politik dan meluasnya korupsi yang mempengaruhi masyarakat. Dengan kondisi seperti itu Husein tumbuh berkembang dengan berbagai macam tekanan ekonomi, psikologis dan hubungan sosialnya di masyarakat. Berbeda dengan anak seumuran dengannya saat tumbuh berkembang.
Pada suatu ketika ayah dan ibunya dianiaya oleh orang-orang yang secara sengaja menyalahartikan ajaran Muhammad Saw mengenai kesetaraan bagi semua, untuk mendukung kembalinya sistem klan yang sangat korup di masa lalu. Peristiwa itu merupakan kejadian yang kemudian membentuk diri Husein dan mengenal siapa yang berkhianat maupun yang setia terhadap Nabi Muhammad dan ajarannya.
Keluarga Muhammad dikesampingkan, namun Ali dan Fatima menanggapi perilaku mereka yang ingin menyakitinya dengan sopan dan niat baik. Ali mengatakan kepada Fatimah “jadilah seperti bunga, yang memberi keharuman bahkan pada tangan yang meremukkannya”. Ali sangat bersabar melihat sikap arogan mereka yang telah menganiaya keluarganya. Nabi Muhammad mengetahui adanya gesekan di dalam internal umat Islam, mengenai hal ini Nabi berwasiat kepada Ali agar tetap sabar dan jangan memberontak terhadap pemerintahan yang sah.
Melalui kesabaran mereka dalam menghadapi kesulitan, orangtua Husein menanamkan kepadanya kualitas tak ternilai dan pengorbanan pribadi yang tak ternilai harganya; menempatkan kebutuhan masyarakat di depan mereka sendiri, untuk menjaga perdamaian dan tidak bereaksi terhadap pelecehan atau melakukan agenda pribadi. Meskipun berasal dari latar belakang keluarga yang relatif istimewa dan menjadi tokoh terkemuka di kalangan umat Islam, Husein akan mengabaikan keagungan statusnya tersebut demi berbagi roti bersama orang miskin dan yang membutuhkan. Husein dihormati secara luas di seluruh wilayah tanah Arab dan sekitarnya karena kemurahan hati, ketulusan dan kebijaksanaannya.
Mengenai pengorbanan Al-Husein sebelum itu Rasulallah mendapatkan wahyu dari Jibril. Terdapat riwayat dari Ibn Abbas, ia mengatakan, “ketika Husein berada di kamar Rasulullah saw, Jibril berkata, ‘apakah engkau mencintainya?’ Rasul menjawab, ‘bagaimana aku tidak mencintainya? dia adalah buah hatiku. ‘Jibril menimpali, ‘sesungguhnya umatmu akan membunuhnya, maukah engkau aku perlihatkan kuburannya?’ Tak lama rasul keluar dari kamar Husein dengan menggenggam sesuatu. Aku melihat, ia menggenggam tanah merah seraya menangis.”
Kisah perjuangan dan pengorbanan hidup Al-Husein penuh dengan cerita duka, namun pengorbanan dan perjuangannya bukan berarti untuk mendukakan hidup umat dan pengikutnya. Berduka demi Al-Husein sebuah kehormatan, kesetiaan dan integritas diri manusia yang mengerti tentang nilai kemanusiaan. Selain itu, hikmah dari perjuangan dan pengorbanan Al-Husein sebagai tolak ukur kita dalam kehidupan sosial untuk membedakan antara kesetiaan dan pengkhianatan.