Pidato Syiqsyiqiyyah: Sejarah Singkat Khilafah
Pidato ini salah satu pidato Imam Ali bin Abi Thalib yang sangat masyhur. Syiqsyiqiyyah sendiri berarti gumpalan mirip paru-paru yang dimuntahkan unta dalam keadaan kejang lalu mereda dan tenang. Dalam kitab terkenal dengan nama Nahj al-Balaghah, pidato ini jatuh di urutan ketiga. Imam Ali a.s. menyampaikannya di sebuah daerah di kota Kufah. mengenai waktunya, para ahli berselisih pendapat; Ibnu Abil Hadid menyebutkan pidato itu disampaikan di awal kekhalifahan Imam Ali a.s., sementara menurut Makarim Syirazi di akhir kekhalifahan beliau.
Apapun itu, yang pasti pidato ini berasal dari Imam Ali a.s. sebagaimana ditegaskan oleh kesaksian banyak ulama terdahulu dan mutakhir. Berikut terjemahannya.
“Ketauhilah, demi Allah, seseorang telah mengenakan jubah [kekhalifahan] itu. Padahal dia sendiri tahu bahwa kedudukan saya dalam hal [kekhalifahan] adalah kedudukan pasak pada penggiling; dari saya air bah mengalir dan tak ada burung yang terbang sampai kepada saya.
“Maka, saya lemparkan tirai ke atas [kekhalifahan] dan saya berpaling darinya. Kemudian saya mulai menimbang-nimbang: antara saya melawan dengan tangan buntung atau saya bersabar atas kegelapan buta yang, dalam [situasi] itu, orang tua menjadi renta, anak kecil menjadi ubanan, dan orang beriman bekerja keras sampai menjumpai Tuhannya.
“Saya dapati bahwa bersabar atasnya lebih bijak. Maka, saya bersabar, meski ada sesuatu menusuk di mata dan mengganjal di kerongkongan, melihat pusaka saya dirampas sampai orang pertama itu menuntaskan jalannya (menemui ajalnya), namun dia menyuapkan kekhalifahan kepada seseorang setelah dirinya.”
Kemudian [Ali bin Abi Thalib] membuat perumpamaan dari puisi A’sya’:
Betapa beda antara hari [sulit]-ku di atas beban unta
dan hari (senang) Hayyan saudara Jabir.
“Sungguh aneh! dia ingin melepaskan diri dari kekhalifahan semasa hidupnya, tetapi dia justru mengikatkannya pada orang lain setelah kematiannya. Begitu ketat kedua orang itu membagi kedua susu kekhalifahan.
“Dia pun menempatkan kekhalifahan di arah paling terjal: yang membuat luka parah, banyak orang tersungkur dan berdalih di dalamnya. Maka, pemegangnya adalah seperti penunggang unta binal; apabila ia menarik kekangnya, akan robek hidungnya, dan apabila ia melepaskannya, ia akan terhempas. Akibatnya, demi Allah, masyarakat menderita [lantaran tunggangan yang] berjalan liar, meronta-ronta, berubah-ubah, dan bergerak menyimpang.
“Tetapi, saya tetap bersabar atas panjangnya masa dan kerasnya bencana sampai, tatkala dia menuntaskan jalannya (meninggal dunia), dia menjadikannya (kekhalifahan) berada pada sekelompok orang yang mengira aku salah satu dari mereka. Tetapi, ya Allah, apa arti musyawarah itu?! Sejak kapan terbetik keraguan tentang saya dibandingkan dengan yang pertama dari mereka hingga saya sekarang disejajarkan dengan orang-orang ini?!
“Tetapi, merendah ketika mereka merendah dan saya terbang tinggi ketika mereka terbang tinggi. Namun, seorang dari mereka berpaling [dari saya] karena kedengkiannya, sementara yang lainnya berpaling karena hubungan pernikahan demi satu dan lain alasan, hingga orang ketiga dari orang-orang ini bangkit sambil membusungkan kedua bidang dadanya di antara kotoran dan makanannya.
“Keluarga ayahnya turut bangkit bersama-sama dengannya melahap sepenuh mulut harta Allah seperti unta melahap rumput musim semi, sampai terputus talinya, tindakannya memastikan kematiannya dan kebegahan perutnya membuatnya jatuh terkapar.
“Segera setelah itu, tak ada yang mengagetkan saya selain keramaian orang yang berdesakan menyerbu saya dari semua arah hingga Hasan dan Husain terinjak dan kedua samping badan saya terkelupas. Mereka berkerumun di sekitar saya seperti kawanan kambing.
“Ketika saya memegang kendali pemerintahan, suatu golongan mencampakkan baiat (nakitsin), dan satu kelompok lain menyempal (mariqin), ada juga kelompok yang menyimpang (qasithin), seakan-akan mereka tidak mendengar Allah SWT berfirman:
“Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. 28:83).
“Ya, demi Allah, mereka telah mendengarnya dan memahaminya, tetapi dunia nampak berkilau di mata mereka dan hiasannya menggoda mereka. Ketahuilah, demi Dia yang membelah benih dan menciptakan makhluk hidup, seandainya tidak ada kesiapan orang yang siap, tidak ada bukti dengan adanya pembela, dan seandainya Allah tidak mengambil janji dari ulama agar mereka tidak berdiam diri dalam keserakahan orang penindas dan laparnya orang tertindas, maka aku akan sudah melepaskan kekhalifahan dari bahuku, dan memberikan orang yang terakhir perlakuan yang sama seperti orang yang pertama. Anda akan melihat bahwa, dalam pandanganku, dunia Anda ini tidak lebih baik dari bersin kambing.”
Dikatakan bahwa ketika pidato Ali bin Abi Thalib a.s. sampai di sini, seorang lelaki dari Irak berdiri dan menyerahkan kepadanya suatu tulisan. Ketika ia melihat (tulisan) itu, Ibnu Abbas berkata, “Wahai Amirul Mukminin, aku berharap engkau melanjutkan pidato dari mana engkau telah menghentikannya.”
Ia menjawab, “Wahai Ibnu Abbas, [pidato] tadi seperti segumpal muntahan unta yang kejang lalu mereda.”
Ibnu Abbas berkata bahwa dia tak pernah kecewa terhadap suatu ucapan sebagaimana di atas satu ini, karena Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. tidak menuntaskannya sebagaimana yang diinginkannya.[af]