Konsep Insan Kamil Ibn Arabi dalam Tasawuf Nusantara (Bagian Terakhir)
Insan Kamil dalam Tasawuf Nuruddin al-Raniri
Tokoh sufi lainnya di tanah air yang juga terpengaruh oleh pandangan insan kamil Ibn Arabi adalah Nuruddin al-Raniri.
Ulama dan sastrawan besar Aceh yang tidak kalah masyhur dari Hamzah Fansuri dan Syamsudin Pasai ialah Nuruddin al-Raniri. Nama lengkap berikut gelar yang diberikan kepadanya ialah al-`Alim Allama al-Mursyid ila al-Tariq al-Salama Maulana al-Syeikh Nuruddin Muhammad ibn `Ali Hasan ji bin Muhammad Hamid al-Qurayshi al-Raniri. Ulama keturunan India Arab ini lahir di Ranir, Gujarat, pada tahun 1568 (Windstedt 1968:145; Ahmad Daudy 1983:49) dan sangat mencintai dunia Melayu. Pada masa hidupnya Gujarat merupakan pelabuhan dagang yang ramai dikunjungi kapal-kapal dagang Arab, Persia, Mesir, Turki dan Nusantara. Di sini bahasa Melayu dipelajari oleh para pedagang dan pendakwah yang akan berkunjung ke Nusantara. Nuruddin tertarik mempelajari bahasa ini sejak usianya masih muda dan berhasrat tinggal di negeri Melayu mengikuti jejak pamannya yang pernah berdakwah di Aceh pada abad ke-16 M.
Pada tahun 1582, setelah agak lama belajar di Tarim, Arab, dia menunaikan ibadah haji di Mekkah (Ibid). Pertemuannya dengan banyak orang Melayu selama di Mekkah dan Gujarat memperkuat hasratnya untuk menetap di negeri Melayu. Apalagi setelah mendengar kabar perkembangan paham wujudiya di Aceh yang dipandang oleh ahli-ahli tasawuf India ketika telah banyak menyimpang. Terutama pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda, ketika pengaruh Hamzah Fansuri dan Syamsudin Pasai semakin kuat. Dia sendiri adalah pengikut Ibn `Arabi, tetapi dalam menafsirkan ajaran wujudiya dia bertolak dari ketentuan syariat dan fiqih sedemikian ketatnya.
Pada masa itulah dia pergi ke Pahang, tinggal lama di situ dan memperdalam penguasaannya terhadap bahasa dan kesusastraan Melayu sehingga akhirnya mampu menulis kitab dan karangan sastra dalam bahasa ini. Ketika Sultan Iskandar Muda wafat pada tahun 1636 M, segera dia pergi ke Aceh dan diterima sebagai ulama istana oleh sultan yang baru Iskandar Tsani (1637-1641). Di sini dia angkat sebagai mufti atau qadi agung. Sejak itulah karirnya sebagai penulis sastra kitab dan ketatanegaraan mencapai puncaknya (Ibid). Selain menguasai berbabagai cabang ilmu agama dan kesusastraan, Syekh Nuruddin juga menguasai ilmu mantiq (logika) dan balaghah (retorika), dan ilmu pengetahuan lain seperti sejarah, ilmu ketabiban dan sebagainya.
Pengakuan Dr. Abdul Hadi WM. bahwa “Nuruddin al-Raniri adalah pengikut Ibn `Arabi, meskipun dalam menafsirkan ajaran Wahdatul Wujud dia bertolak dari ketentuan syariat dan fiqih sedemikian ketatnya” menandakan bahwa beliau tentu seyogianya akrab dengan pembahasan-pembahasan utama yang disampaikan oleh Ibn Arabi, terutama pembahasan terkenal beliau tentang teori insan kamil.
Dalam bukunya “Bustan al-Salatin’, bab pertama, beliau membahas “Nur Muhammad”. Tentu saja pembahasan ini sangat kental beraroma sufistik dan berhubungan dengan konsep penciptaan Adam (insan kamil) yang menjadi guru para malaikat.
Di samping itu, dalam kajian sastra sufistik, sosok insan kamil tentu dijelaskan secara puitis dalam bait-bait syair dan sastra. Banyak sekali karya satra, utamanya dalam bahasa Arab yang memuji Nabi Muhammad saw sedemikian tingginya; melibihi sekat-sekat manusia biasa. Tentu saja segala pujian yang ditujukan kepada Nabi Muhammad itu terasa pas dan tidak perlu dianggap pengkultusan dan hiperbolis bila dilihat dari sudut posisi beliau sebagai insan kamil.
Berkaitan dengan bagaimana maraknya syair pujian dalam sastra Melayu, Dr. Abdul Hadi WM. menulis:
Syair Pujian Kepada Nabi Muhamad Saw Walaupun tema tentang Nur Muhammad dan pujian kepada beliau terdapat dalam syair-syair makrifat, terdapat syair pujian khusus kepada beliau. Dalam kesusastraan Arab disebut al-mada`ih al-nabawiyah dan di Persia disebut na`tiya, dari perkataan na`at yang berarti pujian. Syair jenis ini dalam kesusastraan Melayu terutama diilhami oleh Qasida al-Burdah, Syaraf al-Anam dan Qasida al-Barzanji. Di antaranya ialah Syair Rampai Maulid, Syair Maulid Jawi, Nazam Dua Puluh Lima Rasul, yang didahului dengan puji-pujian kepada nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad Saw Dimasukkan ke dalam kategori karya bercorak tasawuf, karena penulisnya biasa adalah sufi atau guru tariqat, dan dalam ungkapan-ungkapannya terdapat simbol-simbol yang berlaku dalam sastra sufi. Misalnya perumpamaan terhadap Nabi Muhammad Saw sebagai matahari yang menerangi dunia, bulan purnama, kekasih Tuhan, teladan bagi sekalian ahli makrifat, dan lain sebagainya.
Tema tentang Nur Muhammad saw hampir merata disebutkan dalam buku-buku Maulid (kelahiran) beliau. Dan tema ini sangat cocok bila dikaji dari sudut pandangan insan kamil. Bahwa karena Nur Muhammad-lah alam dan seisinya ini diciptakan.
Kesimpulan
Ibn Arabi adalah maestro tasawuf dalam dunia Islam yang berjasa besar dalam perkembangan dan pengukuhan ilmu tasawuf. Sehingga secara langsung atau tidak banyak tokoh sufi dunia yang terpangaruh dan berhutang kepadanya. Tak terkecuali tokoh-tokoh tasawuf di nusantara yang sedikit-banyak terpangaruh oleh pandangan-pandangan Ibn Arabi.
Salah satu pandangan sufistik Ibn Arabi yang mewabah di kalangan sufi tanah air adalah teori ”insan kamil”. Para sufi beken, seperti Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai dan Nuruddin al-Raniri sudah akrab dengan konsep insan kamil dan bahkan masing-masing mereka dengan caranya masing-masing berusaha menyebarkan dan mengembangkannya.
Ibn Arabi menilai bahwa Insan kamil adalah ciptaan yang azali dan abadi dan kalimat penentu dan komprehensi. Dengan perantaranya, rahasia-rahasia Ilahi dan makrifat-makrifat hakiki mewujud. Insan kamil adalah wadah seluruh peran dan duplikat asma-asma Ilahi dan merupakan rahmat terbesar al Haqq bagi makhluk.
Berbeda dengan Ibn Arabi yang membahas teori insan kamil dalam bingkai tasawuf, Murtadha Muthahari menguraikan konsep insan kamil dari sudut pandang Alquran. Sebagaimana Ibn Arabi, Muthahari melihat insan kamil sebagai manusia yang menangkap dan mengembangkan asma Allah secara proporsional.
Sedangkan menurut Hamzah Fansuri, manusia yang paling sempurna adalah mereka yang mampu memanifestasikan keseluruhan sifat Tuhan dalam diriya. Adapun Syamsudin Pasai berpendapat bahwa rupa batin manusia merupakan salinan dari wajah Tuhan. Tetapi hanya manusia yang telah mencapai martabat insan kamil dapat kembali mencapai tipe ideal asalnya yang rupa batinnya mengandung gambaran sifat ketuhanan. Dan akhirnya, pembahasan tentang “Nur Muhammad” yang dilakukan Nuruddin al-Raniri dan juga terdapat dalam sastra Melayu menandakan betapa kuatnya pengaruh pandangan kamil Ibn Arabi dalam literatur dan khazanah tasawuf nusantara.
Ma.