Konsep Perjumpaan dengan Allah (Liqa’ullah) dalam Perspektif Tasawuf
Kata liqaullah (pertemuan dengan Allah Swt) dan penjelasan tentang diri-Nya dibawakan lebih dari 20 tempat dalam Al-Quran. Penjelasan tersebut juga terkandung dalam ucapan para nabi as. dan imam maksum as. Termasuk tentang kesucian Allah Swt., yaitu tentang kesucian-Nya yang murni dari semua jenis pengetahuan. juga terkandung dalam riwayat-riwayat tersebut. Tetapi, dikalangan ulama syiah, semoga Allah Swt meridhoi mereka, terjadi perbedaan rasa dalam masalah ini. Adapun yang terpenting dan terbesar dari semua yang ada adalah dua pandangan berikut ini.
Pertama ialah pandangan ‘kesucian murni’. Pandangan ini menyatakan bahwa Allah Maha Suci bahkan dari puncak pengetahuan manusia dalam masalah ini. Karenanya, pendukung pandangan ini menakwil kandungan sejumlah ayat suci dan riwayat yang menjelaskan makrifatullah (pengetahuan tentang Allah) dan liqaullah (pertemuan dengan Allah). Misalnya, mereka menakwil liqaullah yang terdapat dalam ayat-ayat suci dan semua riwayat dengan makna ‘kematian’ atau ‘menerima ganjaran atau tertimpa azab’.
Kedua ialah pandangan yang menyatakan bahwa riwayat-riwayat yang masuk dalam kelompok riwayat tentang ‘kesucian murni’ dan kelompok riwayat tentang ‘tasybih’ (penyerupaan), atau riwayat-riwayat yang menjelaskan tentang kemungkinan makrifatullah, di sisi lain, keduanya dapat diterima dengan memahami yang pertama sebagai kelompok riwayat yang menolak makrifatullah inderawi dan kemungkinan dalam memahami dzat Allah Swt., sedangkan yang kedua dipahami sebagai kelompok riwayat yang menerima kemungkinan mengenal Allah Swt secara global, sifat-sifat dan manifestasi-manifestasi-Nya berikut semua tingkatannya, sejauh kemampuan makhluk-Nya.
Dengan kata lain, tersingkapnya tirai-tirai kegelapan dan cahaya bagi seorang hamba terjadi di saat ia mengenal Allah Swt, sifat-sifat, dan manifestasi-manifestasi-Nya yang berbeda dengan jenis pengetahuan sebelum penyingkapan itu. Atau, Cahaya jamaliah (keindahana) dan jalaliah (kegagahan) Allah Swt termanifestasikan di hati, akal, inti diri (sirr) para wali khawas-Nya dalam tingkatan tertentu yang terindikasikan dengan mengalami keadaan fana dari dirinya. Saat itu, ia tak lagi menyaksikan keindahan dirinya dan akalnya pun tenggelam dalam pengetahuannya. Puncak keadaan tersebut adalah dimana ia mengedepankan tanggung jawab terhadap dirinya sendiri atas akalnya.
Setelah mencapai semua tingkatan penyingkapan atas keagungan, manifestasi cahaya keindahan, fana pada dzat Allah Swt, dan kekekalan bersamaNya, ia masih memperoleh buah dari makrifat tersebut, yaitu penyingkapan atas kelemahan dan kebergantungan dirinya. Tentu saja kelemahan dalam pengetahuan pun adalah jenis pengetahuan dan kelemahan semua manusia juga adalah kelamahan dalam pengetahuan. Tetapi, ini dimana dan itu dimana? Ya, benda mati memiliki kelemahan dalam pengetahuan, begitu juga dengan manusia. Namun, tentu saja tingkatan derajat rasulullah Saw. bila dibandingkan dengan manusia yang lain atau para ulama, lebih banyak dari kelemahan benda mati dan manusia lain.
Sekilas kelompok teolog dari kalangan ulama besar cenderung pada pendapat pertama. Mereka ini berargumen dengan penjelasan lahiriah sejumlah riwayat dan takwil dari ayat-ayat suci, sebagian riwayat yang lain, dan doa-doa yang menjelaskan masalah ini.[1]
Saya yang hina ini akan membawakan sebagian dari ayat-ayat suci dan riwayat yang mengandung pengertian ini berikut takwil dari sejumlah ulama atasnya, agar yang benar dapat dibedakan dari yang salah.
Tentang ayat-ayat suci yang menerangkan masalah liqaullah (pertemuan dengan Allah Swt), kelompok pertama memahaminya dengan makna kematian dan menerima ganjaran dari Allah Swt. Tetapi, kelompok kedua, dipihak lain, menolak pemahaman itu dengan mengatakan, “Itu adalah bentuk pemahaman secara majazi (memaknai kata dengan selain makna aslinya) yang tidak mungkin diterapkan disini. Dan seandainya itu yang kita terapkan, maka makna yang lebih dekat darinya ialah sebuah tingkatan dari pertemuan yang mana dari sudut pandang syariat mungkin dicapai oleh makhluk-Nya, kendati secara ‘uruf umum bukan bentuk ‘pertemuan yang hakiki’. Tetapi, dikarena suatu kata diperuntukan untuk menunjukan makna aslinya, maka saat kita persepsikan kata ‘pertemuan’ tentu kita pahami bahwa pertemuan fisik adalah hakiki, pertemuan ruhani adalah hakiki, pertemuan maknawi adalah hakiki, dan bentuk-bentuk pertemuan lainnya selagi ruh maknanya masih terkandung didalamnya. Tentu saja, masing-masing dari bentuk-bentuk pertemuan itu sesuai dengan kelayakan kondisi yang bertemu dan yang ditemui.”
Kalau memang demikian, maka dapat dikatakan bahwa makna hakiki dari kata pertemuan juga terkandung dalam pertemuan makhluk dengan Tuhan Yang Agung dengan bentuknya yang sesuai bagi pertemuan keduanya. Ini adalah pengertian dari kata yang bermacam-macam yang disebutkan dalam sejumlah doa dan riwayat, seperti, wushul (sampai), ziarah, menyaksikan wajah-Nya, tajalli (termanifestasi), penyaksian hati, dan kerikatan ruh. Sedangkan lawannya, sering diartikan dengan perpisahan dan keterhalangan.
[1] Pendapat ini diutarakan dengan jelas oleh Syekh Ihsai dan para pendukungnya. Tetapi, disaat yang sama mereka menakwil riwayat-riwayat tentang ‘liqaullah’ (pertemuan dengan Allah Swt) dan ‘makrifatullah’ dengan pengertian yang kedua. Menurut mereka, semua sifat dan asma Allah Swt menegaskan kedudukan makhluk pertama. Bahkan, mereka tidak mengakui dzat Allah Swt sebagai sumber pengetahuan atas sifat-sifat-Nya. Ini karena mereka meyakini konsep ‘kesucian murni’, minhu ‘ufiya ‘anhu’. (Marhum Mirza Javad Maliki Tabrizi)