Kritik Disertasi “Kesatuan Mistis Dalam Filsafat Illuminasi”(Bagian II)
Di samping metodologi penulisan yang sistematis dan kajian teoritis yang cukup memadai dalam menjelaskan konsep jenjang-jenjang fana dalam tauhid dalam perspektif Suhrawardi, namun masih terdapat kelemahan mendasar dalam mengupas pemikiran Syihab ad-Din al-Suhrawardi terhadap masalah wahdah/iitihâd wujud antara manusia dan Allah. Kelemahan tersebut adalah: tidak adanya penjelasan tentang pendekatan yang digunakan Ahmad Asmuni dalam menganalisa pemikiran Suhrawardi. Ahmad Asmuni tidak menguraikan metode hikmat al-isyraq yang di satu sisi bertumpu pada metode falsafi-‘aqli dan di sisi lain berpijak pada metode syuhud-kasyf dan sayr wa suluk-tahdzîb nafs. Oleh sebab itu Ahmad Asmuni terkesan hanya membuat kesimpulan dalam disertasinya tentang pemahaman Syihab ad-Din al-Suhrawardi tentang jenjang-jenjang tauhid dalam filsafat illuminasi, meskipun terkadang Ahmad Asmuni juga menyertakan pendapat pribadinya.
Untuk itu, menurut hemat penulis pendekatan hermeneutik ‘irfâni sangat menarik jika saja ditambahkan dan ditekankan dalam analisa dan kritik yang disampaikan oleh Ahmad Asmuni.
III. Critical Review Bab I (Pendahuluan)
- Latar Belakang Masalah
Pada latar belakang masalah, menurut pemahaman penulis, tampaknya Ahmad Asmuni menganalisa fenomena krisis spiritual yang terjadi di kalangan masyarakat modern yang dipicu oleh kemajuan tehnologi dan peradaban. Di sinilah Ahmad Asmuni melihat peranan signifikan dari tasawuf karena pembahasan tentang spirituaitas Islam tidak mungkin dilakukan tanpa menjamah tasawuf. Dan selanjutnya, Ahmad Asmuni menekankan perlunya mempelajari dan memahami Islam secara komprehensif.
Berangkat dari kondisi keagamaan dan pemahaman religius-teologis masyarakat yang selama ini telah misunderstanding tentang ajaran atau doktrin sufi dan berbagai sikap diskriminatif yang diterima oleh kaum sufi inilah, yang membuat Ahmad Asmuni tertarik untuk mengkaji persatuan/kemanunggalan dalam filsafat illuminasi.[1] Dengan kata lain, ajaran yang menyeret Suhrawardi dihukum mati, utamanya konsep ittihâd, hulȗl, wahdah al-wujȗdi, dan wahdah as-syuhȗdi, yang semuanya itu memiliki keidentikan konotasi yakni persatuan atau kesatuan wujud adalah alasan dan motivasi utama di balik penulisan disertasi ini.
Sedikit hal yang luput dari latar belakang masalah ini, Ahmad Asmuni tidak menjelaskan klasifikasi katsrah (multiplisitas) dan wahdah (kesatuan) wujud dalam pandangan hukamâ Masya’i, ‘urafâ, Mulla Shadra dan tentu pendapat Syekh al-Isyraq, padahal masalah ini merupakan pembahasan kunci dalam tema yang diteliti oleh Ahmad Asmuni. Bila masalah ini dikemukakan dan diteliti dengan baik maka akan tampak jelas perbedaan sudut pandang Suhrawardi terkait dengan katsrah dan wahdah al-wujud, baik dengan para filosof sebelum maupun sesudah masanya.
Critical Review
Pertama, penulis lebih cenderung jika judul disertasi ini diubah. Alasannya karena fokus kajiannya pada penjelasan landasan ontologis jenjang-jenjang tauhid dalam filsafat Illuminasi, bukan landasan ontologis kesatuan mistis—sebagaimana yang dimaksudkan oleh Ahmad Asmuni.
Alternatif judul misalnya:
(1). Jenjang-Jenjang Tauhid Dalam Filsafat Illuminasi
(2). Tahapan-Tahapan Cahaya Dalam Filsafat Illuminasi
(3). Kesatuan Wujud Dalam Filsafat Illuminasi
(4). Kesatuan Eksistensi Dalam Filsafat Illuminasi
(5). Relasi antara Manusia dan Tuhan Dalam Filsafat Illuminasi
Lalu, mengapa judul disertasi ini perlu diubah? Karena setelah membaca rumusan masalah yang disampaikan, penulis memahami bahwa antara kandungan/materi yang diteliti dan judul kurang sesuai. Di samping itu, dalam latar belakang masalah peneliti tidak menjelaskan dari mana istilah kesatuan mistis yang digunakannya sebagai judul disertasi ini. Andaikan Suhrawardi menggunakan istilah ini maka seyogianya peneliti menjelaskannya, apalagi bila dipakai sebagai judul disertasi. Sebab, sependek pengetahuan penulis, istilah yang populer adalah kesatuan wujud atau wahdah al-wujȗd, bukan kesatuan mistis (mystical union).
Kedua, pada paragraf kedua dalam latar belakang yang ditulisnya, peneliti menegaskan perihal komprehensifitas pengetahuan Islam. Ironisnya, peneliti menyatakan bahwa mustahil seseorang mengetahui semua aspek pengetahuan Islam secara mendalam, paling tidak seseorang mengetahui aspek-aspek yang mencakup antara lain: hukum, sejarah, teologi, filsafat dan tasawuf hanya dalam garis besarnya.
[1] Disarikan dari latar belakang masalah pada disertasi Ahmad Asmuni, Kesatuan Mistis Dalam Filsafat Illuminasi, h. 1-9.