Mahsa Amini dalam Skuad Timnas Iran untuk Piala Dunia Qatar 2022
Farazdaq Khuza’i-Kematian Mahsa Amini, wanita muda asal Kurdistan, Iran, pada 16 September lalu masih menjadi topik hangat di berbagai media massa dunia. Kontroversi bermula ketika terdengar kabar bahwa wanita muda tersebut meninggal karena disiksa polisi Iran, setelah tertangkap tidak menggunakan hijab dengan baik. Sebagaimana yang diketahui, Iran memberlakukan hukum menggunakan hijab bagi wanita di tempat umum. Meski pemerintah, berikut polisi dan tim ahli kodekteran, telah menunjukkan data bahwa ia meninggal karena hipoksia selebral, suatu kondisi yang terjadi saat otak kekurangan oksigen. Kondisi ini sangat mungkin terjadi melihat riwayat kesehatan pemudi tersebut. Iranian Legal Medicine Organization menjelaskan, kematian yang bersangkutan karena “sakit yang disebabkan oleh disfungsi multi organ (Multiple Organ Failure) yang muncul akibat hipoksia selebral (kondisi yang terjadi saat otak kekurangan oksigen).”[i] Lebih jauh, dalam surat pernyataan resmi tersebut, Organisasi Kedokteran Nasional Iran dengan tegas menolak berita yang menyatakan bahwa Mahsa Amini meninggal karena “pemukulan kepala dan anggota tubuh vital.”
Meski demikian, masyarakat, baik dalam maupun luar Iran, telah terlanjur bereaksi. Aksi demo ini tak ayal berubah menjadi kerusuhan hingga menyebabkan kematian puluhan warga Iran, baik warga sipil maupun aparat keamanan. Aksi demo solidaritas ini kini menjadi topik hangat di berbagai media di belahan dunia, termasuk AS dan Eropa, tidak terkecuali di Indonesia. Isu yang beredar luas, setidaknya dalam pantuan penulis atas media-media berita nasional, Mahsa Amini meninggal dalam tahanan polisi Iran akibat kekerasa fisik yang dialaminya. Pernyataan resmi Organisasi Kedokteran Nasional Iran tampaknya tak mendapat tempat dalam berita-berita yang dibuat di berbagai media mainstream, baik di Barat maupun di Indonesia.
Hasilnya bisa ditebak, serangan dan kritik habis-habisan kepada pemerintah Iran. Lebih parahnya, bahkan kepada mereka yang tak bersuara membela para demonstran, termasuk beberapa pemain timnas sepakbola Iran yang akan berlaga di Piala Dunia Qatar 2022. Ya, Anda tidak salah baca, kritik-kritik tajam ditujukan kepada punggawa timnas Iran atas tragedi kematian Mahsa Amini, karena mereka tak bersuara membela para demonstran. Beberapa netizen Iran bahkan juga ikut mengkritik pelatih timnas Iran saat ini, Carlos Querioz. Mereka menuding sang pelatih tersebut sebagai ‘antek pemerintah’, ‘telah disogok pemerintah untuk menjadi buta terhadap apa yang terjadi’, dan berbagai kecaman lainnya. Meski, pada akhirnya, pelatih asal Portugal tersebut membolehkan para pemainnya untuk ‘mengekspresikan diri mereka’.
Kematian Mahsa Amini tambah memperkeruh situasi timnas Iran menjelang Piala Dunia. FIFA pernah didesak untuk mencabut hak Iran berpartisipasi di Piala Dunia karena ikut membantu Rusia menginvasi Ukraina. Sebelumnya, Iran juga pernah dikecam karena tidak memperbolehkan wanita masuk stadion sepakbola. Meski, kini para wanita Iran sudah bisa ikut menyaksikan langsung pertandingan sepakbola di tribun-tribun stadion sepakbola.
Di sisi lain, perhelatan Piala Dunia 2022 kali ini ditenggarai sebagai perhelatan olahraga paling sarat kepentingan politis. Isu HAM, termasuk tudingan terabainya hak-hak pekerja pembangunan stadion-stadion dan isu LGBTQ, menjadi lebih populer dibicarakan dibanding sisi olahraganya. Para pemain dan staff pelatih lebih sibuk memberikan opini mereka terkait isu-isu di atas, dibanding isu-isu teknis dan taktik. Lantas, pertanyaan yang mesti diajukan adalah, “Bagaimana seharusnya kita melihat perhelatan akbar sepakbola seantero dunia ini? Apakah aspek-aspek politik dan sosial perlu diperbicarakan bersamaan dengan aspek-aspek olahraga? Terkait Iran, perlukah kematian Mahsa Amini menjadi isu utama para punggawa Timnas Iran?”
Tentu, dalam membicarakan sepakbola, kita tak bisa mengesampingkan hal-hal lain seputar sepakbola, termasuk isu politik dan HAM. Tak bisa mengesampingkan artinya tak ada larangan untuk itu. Semua orang bebas ber-opini, tentu jika opini tersebut tidak disiapkan secara sengaja untuk memperkeruh dan merusak momentum terbesar di jagad sepakbola ini. Berdasarkan akal sehat, kita bisa memisahkan perhelatan olahraga dari kepentingan-kepentingan politis. Sepakbola, sebagai aktifitas manusia yang dilakukan berdasarkan kesadaran untuk memperoleh hasil-hasil tertentu, bisa dibicarakan secara mandiri, tanpa perlu melihat isu-isu yang mengitarinya. Jika kita lebih banyak membicarakan hal-hal di luar sepakbola, maka tentu kita akan kehilangan hal-hal utama yang ingin diraih dalam sepakbola, seperti nilai-nilai sportifitas, usaha dan kinerja, kerja-sama, keindahan-keindahan teknis dan taktis, peraturan-peraturan, tensi yang ada, dan seterusnya.
Terkait Timnas Iran, tampaknya tak relevan jika para pemain dan pelatih terus diminta untuk berbicara terkait kasus kematian Mahsa Amini. Meski, mereka punya hak untuk menyampaikan pendapat mereka dan membersihkan diri mereka dari tuduhan-tuduhan yang ada, bahkan hak untuk menyampaikan dukungan mereka terhadap para demonstran, baik yang benar-benar anti pemerintahan Iran maupun yang mendukung transparansi dan perbaikan kebijakan-kebijakan yang ada, khususnya terkait penggunaan hijab bagi wanita di tempat umum.
Justru, yang perlu dipertanyakan adalah mereka yang terus-terus menuding dan menuduh siapapun yang diam sebagai orang yang tak peduli dan mendukung pemerintah yang otoriter. Tudingan-tudingan seperti ini muncul dari asumsi bahwa ‘siapapun yang tak ikut berdemo berarti mendukung pemerintah yang kejam’ dan yang lebih fundamental, bahwa ‘pemerintah Iran itu otoriter dan kejam’. Asumsi ini tentu perlu dibicarakan secara lebih argumentatif, sebelum sampai pada kesimpulan. Ditambah, kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa berita-berita negatif tentang Iran lebih banyak memuat laman dan halaman berbagai media massa, dibanding berita-berita positif.
Teruntuk netizen Iran dan netizen dari berbagai negara yang menuntut keadilan atas kematian Mahsa Amini, termasuk netizen Indonesia yang budiman, pertanyaan utama yang perlu diklarifikasi adalah, “Betulkah kita sudah mendapat berita yang valid?” Di era revolusi informasi ini -yang oleh beberapa pakar disebut sebagai era post-truth (setelah kebenaran) yakni era di mana kebenaran bukan lagi hal yang bisa divalidasi berdasarkan fakta dan data yang ada, melainkan berdasarkan emosi masyarakat- kecakapan untuk mengkonsumsi berita sangat diperlukan. Berbagai berita menyesatkan, hoaks, penipuan, dan berbagai kejahatan lainnya begitu mudah sampai ke dalam layar gawai kita. Maka, alangkah bijaknya jika kita senantiasa membuka kemungkinan bahwa berita yang kita terima tidak sepenuhnya benar (juga tidak sepenuhnya salah).
Alhasil, Mahsa Amini tampaknya tidak perlu berada di tengah skuad Timnas Iran saat ini. biarkan dia beristirahat dengan tenang di alam sana, seraya kita berharap bahwa kejadian-kejadian tak mengenakkan, yang terjadi di Iran dan bahkan di seluruh dunia, bisa menjadi pemicu bagi masyarakat dunia untuk mencari solusi terbaik. Mari merayakan perhelatan olahraga terakbar seantero dunia ini dengan penuh suka-cita dan fair-play! Salam olahraga!
[i], Tasnimnews.com, https://www.tasnimnews.com/fa/news/1401/07/15/2784582/%D9%85%D8%AA%D9%86-%DA%A9%D8%A7%D9%85%D9%84-%D8%A8%DB%8C%D8%A7%D9%86%DB%8C%D9%87-%D8%B3%D8%A7%D8%B2%D9%85%D8%A7%D9%86-%D9%BE%D8%B2%D8%B4%DA%A9%DB%8C-%D9%82%D8%A7%D9%86%D9%88%D9%86%DB%8C-%D8%AF%D8%B1%D8%A8%D8%A7%D8%B1%D9%87-%D8%B9%D9%84%D8%AA-%D9%81%D9%88%D8%AA-%D9%85%D9%87%D8%B3%D8%A7-%D8%A7%D9%85%DB%8C%D9%86%DB%8C, diakses pada 16/11/2022.