Maunya Firaun, Berkeyakinan Harus Seizinnya!
Pandangan dunia seseorang atau satu kelompok ialah:
-Penafsiran dan pemikirannya tentang dunia, manusia dan keberadaan; yang bisa berbeda dengan pandangan dunia orang atau kelompok lain.
-Yang mendasari ideologinya; apa yang harus dan tidak harus dilakukan.
-Yang didasari oleh pengetahuannya. Di sinilah letak pentingnya masalah pengetahuan, bahwa berbagai pandangan dunia di sana dikarenakan pengetahuan seseorang atau satu kelompok, berbeda dengan pengetahuan orang-orang atau kelompok-kelompok lainnya tentang dunia. Dua hal yang berbeda ini, tak mungkin sama-sama benar. Setidaknya satu di antaranya salah, atau bahkan kedua-duanya salah. Lalu, manakah pengetahuan yang benar?
Pengetahuan di Mata Descartes dan Pyrrho
Di masa sesudah Socrates, Pyrrho pemuka dari kelompok skeptis mengatakan: “Pengetahuan adalah perkara mustahil. Ragu dan “tidak tahu” adalah hal yang pasti bagi manusia.” Alasannya sangat sederhana, ialah bahwa manusia bila ingin tahu sesuatu hanya dua sarana yang dia punya, yaitu indera dan akal. Bukankah penglihatan dan pendengaran bisa salah? Yang berarti tak bisa dipercaya! Terlebih akal. Jadi, apapun dan mengenai apapun yang kita pikirkan, dengan ataupun tanpa peran indera, bisa salah, kita tak dapat bersandar pada sarana-sarana pengetahuan ini.
Keraguan tersebut diungkapkan oleh Descartes bahwa adanya dia, ruh, Tuhan, dunia, agama dan sebagainya yang dia katakan, apa alasannya? Semua yang dia katakan, menurutnya akan terbantahkan. Indera dan akal –sebagai sarana pengetahuan- yang dia sandari tidaklah kuat. Ia meragukan segala sesuatu. Namun (bedanya dengan Pyrrho) dalam keadaan ragu ini, Descartes kemudian mengungkapkan: “Aku tidak ragu!”.
Di atas sebuah batu yang menengahi bumi dan langit, ia berdiri mengatakan: “Adalah benar aku meragukan apa yang aku rasakan dan apa yang aku pikirkan. Aku ragu mengenai adanya diriku, Tuhan, dunia, agama dan kehidupan. Namun setiapkali aku akan meragukan sesuatu, di dalam keraguanku ini aku tidak ragu. Sebab, ketika aku ragu aku tahu kalau aku sedang ragu.” Ia telah menemukan satu titik, di atasnya ia letakkan sebuah patokan bagi pengetahuan, yaitu “aku ada!”. Dari sinilah Descartes memulai sesuatu, terlepas benar dan tidaknya perkataan dia.
Alasan Pyrrho memustahilkan pengetahuan, ialah bahwa dia melihat satu orang itu dua, atau kayu di air itu retak, dan sebagainya. Yang dia katakan, “Aku melihat penglihatanku salah”, ini apakah berarti dia mengetahui ataukah meragukan kesalahan penglihatannya? Tak syak lagi, dia mengetahuinya dengan pasti, dan bukankah itu sebuah pengetahuan yang telah dia capai? Ialah kebenaran, yang apabila tak dicapai takkan diketahui letak kesalahan itu.
Dengan demikian, manusia dalam sebagian pengetahuannya salah, tapi dalam sebagian pengetahuannya yang lain tidak salah. Hal ini tak dipilah oleh seorang seperti Pyrrho yang memandang ketidak mungkinan pengetahuan. Baginya, mungkin dan tidak mungkinnya pengetahuan adalah sama. Ibarat kata, ketika Zaid salah, maka Umar pun akan salah. Padahal tidaklah demikian. Sedangkan mereka yang memandang pengetahuan adalah perkara mungkin, mencari tolok ukur untuk dapat memilah mana pengetahuan yang salah dan mana pengetahuan yang benar.
Alquran dan Pengetahuan
Lalu bagaimana dengan Alquran, apakah ia memandang bahwa pengetahuan itu perkara mungkin? Selain itu, apakah pengetahuan itu sendiri berhukum, dan bagi Alquran adalah perkara yang dibolehkan? Alquran –kitab suci Islam yang mengawali seruannya tentang ilmu, yakni, iqra`; bacalah!- menyerukan manusia dengan kata “اعلموا” (i’lamû; ketahuilah!); “تفكروا” (tafakkarû; berpikirlah!).
Pengetahuan mengantarkan seseorang pada keimanan. Seperti dalam kisah para penyihir masa Firaun, mereka menjadi beriman kepada nabi Musa setelah mengetahui bahwa apa yang dibawa Musa as bukanlah sihir. Firaun mengecam mereka: “Kalian percaya dia tanpa seizinku?” Bahwa si penguasa ini bertindak sekehendaknya terhadap diri mereka termasuk akal, keyakinan dan pemahaman mereka. Tak seorang pun bertindak sesuatu kecuali dengan izinnya. Firaun mengancam: “Aku potong tangan dan kaki kalian karena pelanggaran kalian, dan aku salib kalian di batang-batang pohon!”.
Apa jawaban mereka? Dalam QS.Thaha 72:
قالُوا لَنْ نُؤْثِرَكَ عَلى ما جاءَنا مِنَ الْبَيِّناتِ وَ الَّذي فَطَرَنا فَاقْضِ ما أَنْتَ قاضٍ إِنَّما تَقْضي هذِهِ الْحَياةَ الدُّنْيا
Mereka berkata, “Demi Tuhan yang telah menciptakan kami, kami sekali-kali tidak akan mengutamakanmu atas bukti-bukti yang nyata (mukjizat) yang telah datang kepada kami; maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja.”
Referensi:
1-Mas`ale-e Syenakht/Syahid Mutahari
2-Nafahat al-Quran (1)/Syaikh Makarem Syirazi