Renungan Do’a Keselamatan dari Imam Mahdi Afj Bagian 3
وصىق النية
wa shidqan niyah
dan ketulusan niat
Setelah permohonan mendapat kemudahan dalam meraih tingkat ketaatan dan karunia untuk menjauhi maksiat, baris doa selanjutnya berisi permohonan agar kita memiliki niat tulus. Memiliki niat yang tulus dan benar sesuai yang dikehendakiNya.
Setiap orang bisa beramal baik, besar atau kecil, dengan terang-terangan atau secara sembunyi-sembunyi, namun semua itu akan sia-sia kalau tidak disertai niatan tulus, niatan semata-mata mencari ridha Allah swt.
Seperti apakah niat yang tulus itu. Niat tulus adalah niat yang tidak dibarengi dualisme tujuan, misalnya kita sedang memberikan sedekah, niatnya pertama untuk pencitraan di media sosial, agar viral maka menyewa wartawan, foto grafer, koreografer dll, sehingga gerakan kita ketika memberikan sedekah terlihat berwibawa, terlihat welas asih, terlihat sebagai orang yang pemurah dll, dan niat kedua adalah agar mendapat pahala, karena kita berbuat baik yakni sedekah, maka kita mengharap ada imbalan dari Allah swt, kita diberi imbalan sepuluh kali lipat dari apa yang sudah kita berikan, imbalan di dunia maupun di akhirat. Niat selanjutnya adalah mendapat ridha Allah swt, jadi dengan bersedekah selain ingin viral di medsos, mendapat pahala, juga ingin agar Allah swt memberikan ridhaNya.
Didalam kasus diatas tidak hanya dualisme niat bahkan ada tiga niat, dimana niat-niat ini tidak bisa bergabung jadi satu, dan disini kita belum memiliki niat tulus, kita masih belum bertauhid dalam niat kita, belum tuntas dalam melakukan iyyaka na’budu (إيَّاكَ نَعْبُدُ) hanya kepada Allah swt menyembah. Belum melakukan tauhid dalam ibadah kita.
Kalau kita telisik ayat tentang ketulusan niat dalam ibadah, tauhid dalam ibadah, ayat-ayat sebelumnya mengupas pernyataan kita, keyakinan kita akan ke esaan Allah swt, keyakinan akan kesucian dan kemahawujudan Allah swt, keyakinan kita akan ada dan akan terjadinya hari kiamat. Jadi keyakinan kita yang kuat dan mengakar menjadi media agar kita bisa tulus dalam niat kita, kita bisa mengabaikan semua hal kecuali Allah swt. Kondisi dimana kita sudah menyalakan cahaya Allah swt dalam benak kita. Memiliki kesadaran penuh bahwa kita bukan apa-apa, kita bukan siapa-siapa.
Jadi pertama dibahas masalah tauhid dzat dan sifat sementara, pada ayat selanjutnya yakni ayat kelima, diuraikan tentang tauhid ibadah dan tauhid perbuatan. Pembahasan ketulusan niat, niat yang benar masuk dalam pembahasan ayat seputar tauhid ibadah dan tauhid perbuatan. Tauhid ibadah dan tauhid perbuatan adalah mengaktualisasikan kecintaan hanya kepadaNya, apa yang dicintai hal itu yang akan kita serap dan kita tiru, ingin menjadi yang dicintai, menyerupai yang dicintai, mencintai Allah swt, berarti ingin memiliki semua sifatNya, dengan batas-batas tertentu pastinya.
Alasan mengapa manusia ada yang tidak tulus kepada Allah swt dalam niat, ini bisa kita lihat dalam surat Fatihatul kitab, ayat yang berbunyi,
وإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
“dan hanya kepadamu kami memohon dan mengemis pertolongan”
Ya, manusia memiliki dualisme niat karena masih berharap kepada selain Allah swt, dia ingin dilihat manusia, dihargai manusia, dihormati dan dipuja manusia, diakui eksistensinya oleh orang lain. Dan obatnya adalah ayat 5 dari surat fatihah yang kami sebutkan diatas, yakni kita harus sadar bahwa hanya Allah swt yang bisa menolong kita, bahwa ketika kita diperhatikan Allah swt kita tidak butuh kepada selainNya, bahwa berharap kepada selainNya adalah sia-sia, bahwa berharap kepada selainNya pasti akan kecewa, dan seterusnya. Ketika manusia sudah tidak berharap pertolongan dalam bentuk apapun dari selain Allah swt, disaat itu langkah menuju tulusnya niat akan jauh lebih mudah, atau bahkan dia sudah sampai pada titik itu, titik dimana dalam setiap amal perbuatan sudah tulus dalam meniatkan diri, hanya kepada Allah memohon bantu dan pertolongan.
Ini adalah isyarat tentang bagaimana agar kita bisa memiliki niat yang tulus, niat yang benar. Jadi muqadimahnya adalah kita harus tuntas dalam tauhid kita kepada Allah, tuntas dalam mengenali Allah sekadar kebutuhan kita, tuntas dalam memahami dan meyakini hari kiamat serta alam akhirat, tuntas dalam mengenali diri kita, siapa mengenal dirinya maka dia mengenal Tuhannya.
Bekal untuk sampai kepada ketulusan niat adalah Arrahmanirahim maliki yaumiddin, kondisi dimana kita sudah merasakan dan meyakini aktualisasi (لا مؤ ثر فى الوجود الا الله) tidak ada yang menjadi penyebab kecuali Allah swt, Allah swt sebagai sebab dari semua sebab yang tidak butuh kepada sebab yang lain, merasakan dan meyakini bahwa kita ini ada karena Allah swt itu ada, kita itu ada karena Allah swt perhatian kepada kita, kebergantungan kita kepada Allah itu sangat besar, bagaikan imajinasi terhadap yang mengimajinasikan, kita adalah imajinasi dan jika Allah tidak mengimajinasikan maka kita tidak akan muncul, jika Allah tidak berimajinasi maka kita tidak akan mucul menjadi ada sebagai eksistensi yang eksis dialam semesta ini. Sebuah kebutuhan mutlak dari ciptaan kepada penciptanya, bukan hanya dari sisi penciptaan tapi juga dari sisi keberlanjutan untuk menjadi makhluk yang eksis di alam semesta dan di alam akhirat nanitnya.
Jadi dapat kita simpulkan disini bahwa selain bekal ketaatan yang didukung semangat menjauhkan diri dari maksiat, amalan shaleh yang dilakukan dengan tulus sebenarnya adalah bentuk aplikasi dari orang taat kepada Allah swt dan juga rasul serta ulil amrinya, dimana sarat utama dari sebuah amal adalah niat yang tulus.