Membakar Orang Hidup-hidup, Wajarkah?
Pembakaran manusia hidup-hidup yang terjadi di Bekasi pada awal Agustus lalu, adalah satu dari sekian kasus sepanjang sejarah. Nabi Ibrahim a.s. dibakar oleh penguasa saat itu, namun ia diselamatkan Allah Yang Mahakuasa dengan mendinginkan api yang esensinya panas dan membakar. Masyitah pelayan Firaun digoreng di kuali di atas tungku api, lantaran menyatakan keimanannya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mengingkari ketuhanan Firaun. Barangkali termasuk dalam aksi tersebut, meskipun tidak secara langsung terhadap korban, melainkan melalui pembakaran rumah misalnya, yang dialami Fatimah Zahra dan keluarganya, atau terhadap kemah yang di dalamnya adalah keluarga al-Husain cucu Nabi saw di Karbala.
Di zaman kini pun dunia tak luput dari aksi pembakaran manusia hidup-hidup, seperti yang dilakukan oleh gerakan teroris ISIS terhadap sebagian orang yang mereka tangkap. Seperti juga yang terjadi di tanah air ini yang masyarakatnya terkenal dengan keramahan dan kesantunannya, terhadap seseorang yang salah tangkap setelah dituduh mencuri ampli mushalla, dihukum oleh massa sampai batas membakarnya hidup-hidup.
Janganlah Menghukum dengan Api Kecuali Allah
Adalah kaidah atau dalil dari hadis yang dinisbatkan kepada Nabi saw atas fatwa fuqaha terkait hukuman eksekusi bagi orang murtad. Bukhari dalam Sahihnya mengeluarkan hadis terkait dengan sanad sampai pada Ikrimah, yang menyampaikan ucapan Ibnu Abbas ketika mendengar Ali membakar satu kaum”. Ia mengatakan: Kalau saya, saya tidak akan membakar mereka. Karena Nabi saw bersabda, لا تعذبوا بعذاب الله; “Janganlah menyiksa dengan siksaan Allah!” Saya akan membunuh mereka sebagaimana sabda Nabi saw: “Siapa yang telah menukar agamanya, maka bunuhlah dia!”. (Sahih Bukhari, juz 4, hal 21/juz 8, hal 50; Musnad Ahmad , juz 1, hal 283; dan lainnya)
Hadis lainnya dengan sanad sampai kepada Abu Hurairah, yang menyampaikan perubahan perintah Rasulullah saw dari: Bila kalian dapati fulan dan fulan, bakarlah keduanya dengan api!, ke perintah: Bila kalian mendapati dua orang itu, maka bunuhlah keduanya! Dengan alasan: ان النار لا يعذب بها الا الله; “Sesungguhnya api, tidak menyiksa dengannya kecuali Allah.” (HR Bukhari di tempat yang sama di atas, dan Musnad Ahmad, juz 2, hal 307)
Secara umum, dalil hukum syar’i berupa khabar dikaji tentang sanad dan signifikansinya. Mengenai sanad, hadis pertama di atas di antara para perawinya sampai pada Ikrimah, siapa dia?
Ialah budak Ibnu Abbas, yang dikatakan oleh Said bin Musayab kepada budaknya bernama Burd: Hai Burd, jangan berdusta kepadaku seperti Ikrimah berdusta kepada Ibnu Abbas. Ibnu Umar pun mengatakan kepada Nafi: Jangan berdusta kepadaku seperti Ikrimah berdusta kepada Ibnu Abbas. Atha`, Said bin Jubair dan Ibnu Sirin juga mendustakan dia. Malik tidak memandang dia sebagai orang terpecaya, dan keterangan lainnya tentang dirinya yang pendusta. Selain itu, dia dikatakan dari kelompok khawarij.. (Mizan al-Itidal, juz 3, hal 94; Siyar Alam an-Nubala, juz 5, hal 23)
Mengenai signifikansinya, Ali bin Abi Thalib kw yang disebut oleh Ikrimah, pertama, benarkah Imam Ali melakukan perbuatan keji itu?
Kedua, mana mungkin beliau sebagai sahabat yang paling dekat dengan Rasulullah saw dan sebagai pintu kota ilmu terlewatkan olehnya atau tidak mengetahui hadis Nabi saw tersebut? Dan seakan Ibnu Abbas yang sejarahnya belajar ilmu kepada Imam Ali, lebih pintar darinya!? Dengan segala keutamaan Ali bin Abi Thalib kw dan kedekatannya dengan Rasulullah saw lebih dari semua sahabat, tidaklah mungkin demikian.
Ya, pembakaran itu pernah dilakukan oleh khalifah pertama terhadap as-Salmi dan lainnya, dan oleh Khalid bin Walid terhadap sekelompok yang menolak bayar zakat. (Abdullah bin Saba`/al-Askari, juz 2, hal 195-197). Sedangkan Imam Ali tidak pernah sama sekali menghukum dengan pembakaran. (Qadha` Amiril mu`minin/Tusturi, hal 206-237)
Ketidak Wajaran Ganda
Pasca peristiwa pembakaran oleh massa tersebut, penangkapan pelaku oleh pihak berwenang mendapat respon dari seorang tokoh ormas dengan ungkapan kekecewaannya, yang dikutip oleh tribungroup.com berikut ini:
Di sisi agama itu memang tidak benar, tapi di sisi lain juga agama tidak memperbolehkan kita untuk mencuri, jadi wajar saja jika mereka melakukan pembakaran, jangankan manusia, binatang saja halal untuk kita bakar jika mencuri… apalagi ini sudah jelas mencuri perlengkapan masjid, sungguh dosa yang tak bisa dimaafkan.
Setidaknya tiga proposisi yang dapat diangkat dari perkataannya tersebut:
1-Agama mengharamkan membakar manusia dan perbuatan mencuri.
2-Pembakaran adalah wajar (dibenarkan) jika mencuri.
3-Kias; jangankan manusia, binatang saja halal dibakar hidup-hidup.
Sebagai catatan atas semua itu, pertama: semua orang tahu bahwa membakar manusia dan mencuri adalah perbuatan terlarang. Tetapi apakah hukuman mencuri adalah eksekusi dengan membakar? Faktanya, peristiwa tragis tersebut bukanlah sebuah eksekusi yang diputuskan melalui proses pengadilan, melainkan adalah sebuah persekusi dan penghakiman massal. Kemudian dinyatakan sebagai hal yang wajar.
Kedua, mengenai kiasnya itu merupakan pendekatan yang terbalik seakan binatang lebih mulia dari manusia. Nabi saw dalam menekankan keadilan di dalam hukum, bahwa siapapun yang bersalah akan dihukum. Seandainya putriku Fatimah mencuri niscaya aku potong tangannya. Dengan kata lain, semestinya kalau mengkias misalnya demikian, “Jangankan orang bawahan, saya sebagai atasan halal untuk kita bakar jika mencuri.”
Dengan semua penjelasan di atas, jika diperhatikan tersimpulkan bahwa anggapan wajar terhadap masalah besar seperti ini merupakan keanehan ganda.