Imam Jawad: Fatwa dan Kesyahidan
Imam kesembilan bagi Syiah Imamiyah adalah Muhammad Jawad bin Ali bin Musa. Saat berusia delapan tahun, ia menggantikan imamah ayahnya, Imam Ali Ridha, yang meninggal dalam kesyahidan. Pada periode imamahnya, dua khalifah Abbasiyah yang semasa dengannya; Ma`mun (193-218) dan Mutashim (218-227 H) yang membawa paksa Imam dari Madinah ke Bagdad. Hal ini seperti yang telah dilakukan Ma`mun terhadap ayah beliau.
Dalam usianya di bawah umur itu, mana mungkin ia bisa mengemban tugas kepemimpinan umat dan menjadi imam bagi muslimin? Jawabannya merujuk kepada kemahakuasaan Allah. Atas suatu maslahat, Allah Yang Maha bijaksana mempersingkat periode imamahnya dalam beberapa tahun. Hal ini merupakan pengecualian di sepanjang sejarah masyarakat, dan bukan perkara yang mustahil. Terlebih nama Imam Muhammad Jawad disebutkan dalam wasiat Rasulullah saw tentang imamah sepeninggal beliau, yang diterangkan dalam riwayat-riwayat Ahlulbaitnya.
Diriwayatkan, Imam Ridha ditanya oleh seorang sahabatnya: Sesudah Anda kepada siapakah kami harus merujuk? Beliau menjawab, Putraku Abu Jafar (Muhammad Jawad). Ketika itu ia masih kanak-kanak. (Ushul al-Kafi, juz 1, hal 322 & 384; dan referensi lainnya)
Dalam riwayat lainnya, beliau berkata kepada Muammar bin Khallad: Aku tempatkan Abu Jafar (Muhammad Jawad) di posisiku dan sebagai penggantiku.. (al-Irsyad, hal 318, dan referensi lainnya).
Pembuktian Fisiognomis dan Kesaksian Paman Imam Ridha
Mengenai seorang imam pengganti yang ditunjuk dan dikenalkan kepada yang lain sebagai umatnya, Imam Ridha ketika itu berumur empatpuluh delapan tahun, menghadapi satu kelompok yang dikenal dengan Waqifiyah. Mereka -karena faktor materi- mengingkari imamahnya sesudah ayahnya, Imam Musa Kazhim. Seorang pemuka dari mereka, bernama Ibnu Qiyama telah mengatakan mandul di dalam surat yang dia tulis kepada beliau: Mana mungkin Anda seorang imam, sementara Anda tidak mempunyai seorang putra?
Beliau membalasnya, Darimana kau mengetahui hal itu? Demi Allah, beberapa hari yang lalu, Allah swt telah mengkaruniaku seorang putra!
Setelah putra beliau lahir, mereka pun -karena menyimpan rasa dengki- melempar tuduhan bahwa Muhammad Jawad bukan putra Ali bin Musa!! Di dalam tuduhan yang keji ini, hanya satu alasan yang mereka dapati, yaitu warna kulit sawo matang Imam Jawad. Kata mereka, Tak ada imam yang kulitnya berwarna gelap!
Imam Ridha berkata kepada mereka, Undanglah para fisiognom (pakar ilmu firasat wajah), tanpa aku ikut campur dan jangan beritahu maksud kalian ini!
Pada suatu hari sesuai kesepakatan, para paman dan bibi al-Jawad duduk berkumpul di kebun. Imam Ali Ridha dengan pakaian biasa dan kopiah di kepala sedang sibuk mencangkul, yang sekiranya orang melihatnya akan mengira seorang tukang kebun. Al-Jawad yang hadir ketika itu, orang-orang ingin tahu dari para pakar wajah tersebut: Yang mana ayahnya di tengah kumpulan itu?
Mereka menjawab, Ayah anak ini tidak ada di kumpulan ini. Kalau yang ini pamannya, ini juga pamannya dan ini bibinya. Kalaupun ayahnya ada di sini juga, pastinya orang yang memanggul cangkul di tengah kebun itu!” Saat Imam Ridha datang, mereka berkata, Ayah anak ini, dia inilah orangnya!.
Seketika itu Ali bin Jafar, paman Imam Ridha beranjak dari tempatnya mendekati Imam Jawad dan menciumnya, seraya berkata: Aku bersaksi, engkau atas pilihan Allah adalah imamku! Menyaksikan hal demikian, para penentang imamah itu dalam upaya meredupkan cahaya ilahi, menjadi lemah dan kalah.
Kesyahidan Imam Jawad
Pada tahun 220, Mutashim membawa Imam dari Madinah ke Bagdad, agar dia dapat mengawasinya dari dekat. Pada suatu hari, Ibnu Abi Duad yang menjabat qadhi Bagdad datang menghadap Mutasham. Ia menyampaikan:
Demi kebaikan, saya mengingkat Anda bahwa yang terjadi beberapa hari lalu tidaklah baik bagi pemerintahan Anda! Sebab, dalam kehadiran semua ulama dan para elit pemerintahan, Anda telah mengutamakan fatwa Abu Jafar (Imam Jawad) yang dipandang oleh separuh muslimin sebagai khalifah dan Anda sebagai perampas haknya, atas fatwa mereka semua. Berita tentang ini sudah tersebar di tengah rakyat, dan menjadi bukti nyata atas kebenaran dia bagi para pecintanya.
Si faqih di pertemuan sebelumnya merasa telah dipermalukan oleh Imam Jawad di hadapan ulama yang hadir, karena fatwa beliau menyalahkan fatwanya dan fatwa mereka terkait hukuman bagi si pencuri. Menurut si qadhi, batas potong tangan adalah dari pergelangan, dan menurut yang lainnya dari sikut. Sedangkan menurut Imam, yang benar adalah dari jari-jari. Karena dua telapak tangan merupakan anggota sujud dan itu adalah hak Allah. Ibnu Duad sampai berharap mati saja daripada menanggung beban malu yang dirasakannya sangat berat.
Mutasham yang sudah menyimpan kebencian terhadap Imam Jawad, semakin termotivasi oleh saran si qadhi tersebut untuk bertindak mencelakai Imam. Tak lama dia melaksanakan rencana jahatnya itu melalui seorang menterinya, dengan meracuni beliau.
Sampailah di penghujung kehidupan duniawi, Imam Muhammad Jawad dalam usia 25 tahun menjemput kesyahidan. Salam bagimu duhai Sang Pemimpin Dermawan..
Referensi:
Sire-e Pisywayan/Mahdi Pisywai