Mimpi Bertemu Rasulullah saw dalam Tinjauan Sufistik
Oleh: Muhsin Muhammad
Mimpi dalam pelbagai karya Sufi memiliki tempat yang istimewa, bahkan sebagian karya ‘irfani dan sufistik membahas secara khusus “mimpi dan pelbagai bentuknya”. Di antara mimpi yang paling tinggi dan istimewa di kalangan sufi dan syekh tarekat adalah “mimpi bertemu Nabi saw”. Artikel ini hanya menyoroti masalah mimpi melihat Rasul saw yang dinukil dari pelbagai karya dan narasi Sufistik selama empat abad (abad IV sampai abad VIII) Hijriah.
Tasawuf islami—sebagaimana diuraikan dalam teks-tesk sufistik yang muktabar—berakar pada Alquran dan Sunnah. Seluruh kelompok sufi menisbahkan khirqah iradah[1], talqin, zikir dan pembicaraannya kepada Rasulullah saw.[2] Segala perilaku, pembicaraan dan keadaan Nabi saw begitu istimewa di kalangan sufi[3], sehingga mimpi bertemu dengan beliau termasuk masalah istimewa yang menjadi pusat perhatian mereka dan hal yang luar biasa serta berharga. Dan sudah barang tentu untuk mengalami mimpi ini diperlukan kriteria-kriteria khusus yang hanya bisa didapatkan oleh syekh-syekh dan guru-guru tarekat.
Latar belakang Mimpi
Dari pelbagai teks sufistik dapat dipahami bahwa akar dan asal muasal serta urgensi mimpi di kalangan sufi—yang mereka sebut dengan “ru’yah shadiqah” (mimpi benar) atau “ru’yah shalihah” (mimpi baik) dan “adghazu ahlam”(kembang tidur)—pada kisah Nabi Yusuf—alaihi salam—yang pengalaman mimpi dan penakwilannya diberitakan dalam Alquran, yaitu:
إِذْ قَالَ يُوسُفُ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ إِنِّي رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَأَيْتُهُمْ لِي سَاجِدِينَ
(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku! Sungguh, aku (bermimpi) melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku.” (QS.Yusuf: 4)
وَقَالَ الْمَلِكُ إِنِّي أَرَىٰ سَبْعَ بَقَرَاتٍ سِمَانٍ يَأْكُلُهُنَّ سَبْعٌ عِجَافٌ وَسَبْعَ سُنْبُلَاتٍ خُضْرٍ وَأُخَرَ يَابِسَاتٍ ۖ يَا أَيُّهَا الْمَلَأُ أَفْتُونِي فِي رُؤْيَايَ إِنْ كُنْتُمْ لِلرُّؤْيَا تَعْبُرُونَ
Dan raja berkata (kepada para pemuka kaumnya), “Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus; tujuh tangkai (gandum) yang hijau dan (tujuh tangkai) lainnya yang kering. Wahai orang yang terkemuka! Terangkanlah kepadaku tentang takwil mimpiku itu jika kamu dapat menakwilkan mimpi.”(QS.Yusuf: 43)
يُوسُفُ أَيُّهَا الصِّدِّيقُ أَفْتِنَا فِي سَبْعِ بَقَرَاتٍ سِمَانٍ يَأْكُلُهُنَّ سَبْعٌ عِجَافٌ وَسَبْعِ سُنْبُلَاتٍ خُضْرٍ وَأُخَرَ يَابِسَاتٍ لَعَلِّي أَرْجِعُ إِلَى النَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَعْلَمُونَ
”Yusuf, wahai orang yang sangat dipercaya! Terangkanlah kepada kami (takwil mimpi) tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk yang dimakan oleh tujuh (ekor sapi betina) yang kurus, tujuh tangkai (gandum) yang hijau dan (tujuh tangkai) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahui.”(QS.Yusuf: 46)
قَالَ تَزْرَعُونَ سَبْعَ سِنِينَ دَأَبًا فَمَا حَصَدْتُمْ فَذَرُوهُ فِي سُنْبُلِهِ إِلَّا قَلِيلًا مِمَّا تَأْكُلُونَ
Dia (Yusuf) berkata, “Agar kamu bercocok tanam tujuh tahun (berturut-turut) sebagaimana biasa; kemudian apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan di tangkainya kecuali sedikit untuk kamu makan. (QS.Yusuf: 47)
ثُمَّ يَأْتِي مِنْ بَعْدِ ذَٰلِكَ سَبْعٌ شِدَادٌ يَأْكُلْنَ مَا قَدَّمْتُمْ لَهُنَّ إِلَّا قَلِيلًا مِمَّا تُحْصِنُونَ
Kemudian setelah itu akan datang tujuh (tahun) yang sangat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari apa (bibit gandum) yang kamu simpan. (QS.Yusuf: 48)
ثُمَّ يَأْتِي مِنْ بَعْدِ ذَٰلِكَ عَامٌ فِيهِ يُغَاثُ النَّاسُ وَفِيهِ يَعْصِرُونَ
Setelah itu akan datang tahun, di mana manusia diberi hujan (dengan cukup) dan pada masa itu mereka memeras (anggur).” (QS.Yusuf: 48)
Setelah Alquran, Sunnah Nabi saw adalah pegangan dan pedoman yang muktabar kaum sufi untuk menjelaskan hakikat mimpi. Dan menurut para pembesar sufi, mimpi adalah salah satu bagian dari kenabian. Dalam hal ini Nabi saw bersabda:
الرؤيا الصالحة جزء من ستة وأربعين جزءاً من النبوة
Mimpi yang baik termasuk salah satu bagian dari bagian kenabian.[4]
Dalam redaksi yang lain, disebutkan:
رؤيا المؤمن جزء من ستة وأربعين جزءاً من النبوة””
Mimpi seorang mukmin termasuk salah satu bagian dari bagian kenabian.[5]
Siti Aisyah juga meriwayatkan perihal peristiwa mimpi yang dialami Nabi saw saat pertama kali menerima wahyu:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ أَنَّهَا قَالَتْ أَوَّلُ مَا بُدِئَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْوَحْيِ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ فِي النَّوْمِ فَكَانَ لَا يَرَى رُؤْيَا إِلَّا جَاءَتْ مِثْلَ فَلَقِ الصُّبْحِ
“Telah meriwayatkan kepada kami Yahya bin Bukair berkata, telah meriwayatkan kepada kami dari Al Laits dari ‘Uqail dari Ibnu Syihab dari ‘Urwah bin Az Zubair dari Aisyah -Ibu Kaum Mu’minin-, bahwasanya dia berkata: “Permulaaan wahyu yang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dimulai dari mimpi yang benar saat beliau dalam kondisi tidur, dan beliau tidak bermimpi kecuali mimpi tersebut datang seperti cahaya subuh.
Bersambung
Catatan Kaki:
1] Khirqah secara bahasa artinya segala sesuatu yang layak untuk dijadikan pakaian. Adapun secara istilah khirqah bermakna sesuatu (pakaian atau serban/imamah) yang dipakaikan oleh Syekh atau guru tarekat kepada murid atau orang yang mendalami tasawuf sebagai isyarat bahwa yang bersangkutan telah menjadi ‘arif dan dengan hal ini maka ia berhak untuk membimbing masyarakat menuju Allah Swt. Dan ada yang berpendapat bahwa pemakaian khirqah ini sebagai pertanda bahwa syekh telah memberi izin kepada murid untuk berguru kepadanya sehingga menjadi waliullah.
[2] Asrar Tauhid 1/26.
[3] Al Luma’ fi Tasawwuf, hal. 93-104.
[4] Sahih Bukhari, hadis Abu Sa’id, nomor 6989; Sahih Muslim, hadis Abu Hurairah, nomor 2263.
[5] Mirshad al ‘Ibad, hal. 289.