Peran Iran di Timur Tengah
Annisa Eka Nurfitria-Iran atau yang dahulu dikenal dengan sebutan Persia merupakan negara yang berada di Timur Tengah, kawasan konflik sejak berabad-abad lalu. Iran saat ini memiliki luas 1.648.195 km persegi, berbatasan langsung dengan negara Armenia, Azarbaijan, Turki, Irak, dan Afganistan ( Assagaf, 2009 : 3). Memiliki peradaban hebat, bayang kejayaan masalalunya masih terekam jelas hingga hari ini. Mewarisi intelektualitas ilmuwan sekaliber Ibnu Sina, Al- Khawarizmi dan Al-Farabi, menjadikan bangsa Iran cakap dalam berbagai disiplin keilmuan. Karena Iran menyadari perkembangan keilmuan yang begitu pesat akan mengantarkan negara mereka menjadi negara berdaulat (Heriyanto, 2013 : 32).
Warisan peradaban yang dimiliki Persia kuno berperan penting dalam membangun karakter Iran hari ini. Terlepas dari pujian pada peradabannya, Iran dengan kontroversinya menarik untuk dibahas, mengingat Iran adalah negara dengan sistem unik yang diklaim sebagai pemerintahan Ilahiyah Velayat-e Faqih (Guardianship of The Islamic Jurist). Velayat-e Faqih adalah model pemerintahan yang mengadopsi imamah. Imamah merupakan prinsip mazhab Syiah, mazhab resmi Iran. UU Republik Islam Iran pasal dua menjelaskan, imamah adalah elemen penting keberlanjutan revolusi Islam dimana hal ini memerlukan ijtihad berkesinambungan fakih yang memiliki syarat sesuai Al-Quran maupun Hadis Ahlulbait ( Manucehri, 2019 : 42). Sedang imamah adalah rukun pembeda Sunni dan Syiah, yang sedikit banyak mempengaruhi pola hubungan Iran dengan negara Timur Tengah, terutama Arab Saudi yang bermazhab Wahabi. Dalam sejarah Islam, kedua aliran ini memiliki sejarah adu argumen panjang. Dan kini pemimpin kedua negara tak segan-segan saling mengkritik di muka umum, termasuk Mohammad bin Salman yang pernah menyamakan Ali Khamenei dengan Hitler (Hubbard, 2018).
Meski tak mengakui terang-terangan, kedua negara ini berambisi sama dalam mengekspor ideologi dan semangat keberislaman mereka ke negara lain. Ambisi untuk memperkuat pengaruh berujung pada lahirnya konflik yang tak jarang menelan korban jiwa. Terbaru adalah kasus diputusnya hubungan diplomatik Iran dan Arab Saudi yang merupakan efek dari dieksekusi matinya ulama Syiah oleh pemerintah Saudi dengan tuduhan terlibat aksi penentangan terhadap negara. Setelah peristiwa tersebut, Saudi menarik diplomatnya dari Teheran yang disusul dengan diusirnya diplomat Iran dari negara mereka dan berujung pada pelarangan haji bagi warga negara Iran oleh negara mereka sendiri (Vahdat, 2016). Pemerintahan Iran yang didominasi kaum konservatif membuat Iran tak disukai oleh Barat dan beberapa negara Islam di kawasan. Pasca revolusi, dibawah kepemimpinan presiden yang berkarakter beda, politik luar negeri Iran tampak sulit diprediksi. Ada masa di mana negeri itu dipimpin seorang moderat macam Khatami yang mengutamakan peredaan konflik ketimbang permusuhan ( Abd. Rahman, 2003 : 184). Ada juga yang konservatif macam Ahmadinejad.
Negara-negara Teluk akhirnya melihat Iran sebagai ancaman. Revolusi Islam Iran telah mengancam kedudukan petinggi-petinggi Arab, mereka khawatir Iran akan menghancurkan legitimasi kekuasaan mereka (Fisher, 2016). Jika Revolusi Prancis berhasil memindahkan kuasa negara berdasar kesejahteraan, maka Revolusi Islam Iran adalah gabungan revolusi ekonomi dan politik yang menentang konsep peradaban dan manusia yang selama ini hanya diwakili Barat (Garaudy, 2008 : 187-188). Terhitung sejak revolusi Islam Iran meletus, Arab Saudi dan Iran saling melancarkan proxy war. Irak, negara pertama yang menjadi medan pertempuran keduanya. Saddam Husein yang berambisi menginvansi Iran dibela mati-matian oleh Saudi, mereka berusaha mematikan revolusi ini dengan menyebarkan isu sektarian Sunni- Syiah (Fisher, 2016). Beberapa tahun belakangan, Iran mendanai milisi Houthi untuk melengserkan Presiden yang diakui PBB, Abd-Rabbu Mansour Hadi yang didukung AS serta Saudi di Yaman dan telah memakan banyak korban (Taylor, 2019).
Demi mengimbangi pengaruh Saudi di negara-negara Arab, Iran memperkuat jaringannya di Lebanon. Hizbullah menjadi poros perlawanan Timur Tengah yang didukung oleh Iran. Simpatisan Hizbullah adalah orang-orang Syiah yang berkiblat pada Khomeini ( Ahmad, 2006: 27). Sedang Hasan Nasrullah, pemimpin mereka adalah Syiah dari Jabal Amil. Dukungan Iran pada Hizbullah tidak lepas dari konsistensi mereka melawan Israel yang disokong oleh Amerika. Barat menegaskan Hizbullah lahir tahun 1983 sesaat setelah munculnya bom bunuh diri di barak militer dan Kedubes AS di Beirut, meski Amerika tidak pernah mempublikasikan pelakunya, tapi mereka bersikeras bahwa Hizbullah adalah dalang di balik itu dan disokong Iran ( Anshari, 2008 : 124). Hal ini dibantah Hizbullah.
Di Suriah, Iran berperan dalam mempertahankan pemerintahan Bashar Assad. Keberpihakan Iran pada Suriah diendus sebagai loyalitas sesama Syiah. Tapi hal ini dibantah, Assad yang Alawy bukanlah rezim Syiah, justru ia lebih pantas disebut rezim otoritarian populis, sesuai gayanya yang otoriter dalam menjaga kestabilan negara dari rongrongan Israel ( Sulaeman, 2013 : 20). Iran konsisten mengirim Korps Penjaga Revolusi Islam (IRGC) dari Teheran untuk membantu Assad memberangus pemberontak (Yahel, 2021). Mereka ditugaskan menjaga tempat-tempat strategis seperti makam Zainab Al-Kubra, yang dianggap mulia, saudari Husain bin Ali yang terbunuh di Karbala. Sebagai Syiah, mereka senantiasa terinspirasi Husain bin Ali yang terbunuh di Karbala, kematiannya diperingati setiap tahun dan diklaim sebagai bara bangkitnya revolusi (Olsen, 2019). Simbol-simbol mazhab Syiahlah yang menginspirasi Iran menjelma menjadi negara yang ingin tampil heroik melawan imperialisme.
Menganalisis Iran dan dinamikanya adalah hal kompleks. Dengan ekonomi yang terseok- seok embargo, Iran tampil dengan semangat bertahan hidup bangsanya yang tak bisa diembargo. (aen)
Referensi :
- Rahman, Musthafa. 2003. Iran Pasca Revolusi; Fenomena Pertarungan Kubu Reformis dan Konservatif. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
- Ahmad, Sayyid Rif’at. 2007. Hizbullah Denyut Perlawanan dan Rahasia Kekuatan. Depok : Pustaka
- Anshari, Ali M. 2008. Supremasi Iran; Poros Setan atau Superpower Baru ? Jakarta : Zahra Publishing
- Assagaf, Muhammad Hasyim. 2009. Lintasan Sejarah Iran dari Dinasti Achaemenia ke Republik Revolusi Islam. Jakarta : The Cultural Section of Embassy of The Islamic Republic of
- Garaudy, Roger. 2008. The Roots of the Islamic Revolution in Iran Economical, Political, Social and Cultural Views. Jakarta : Penerbit
- Heriyanto, Husein. 2013. Revolusi Saintifik Iran. Jakarta : UI
- Manucehri, 2019. Sistem Politik Republik Islam Iran. Yogyakarta : Rausyanfikr Institute.
- Sulaeman, Dina Yulianti. 2013. Prahara di Suriah. Depok : Pustaka
- Fisher, 2016. How the Iranian-Saudi Proxy Struggle Tore Apart the Middle East. Diakses pada tanggal 22 Juni 2021 dari, https://www.nytimes.com/2016/11/20/world/middleeast/iran-saudi-proxy-war.html
- Hubard, Ben. 2018. Saudi Crown Prince Likens Iran’s Supreme Leader to Hitler. Diakses pada tanggal 23 Juni 2021 dari, https://www.nytimes.com/2018/03/15/world/middleeast/mohammed-bin-salman-iran-html
- Olsen, Nathan. 2019. Revolutionary Religion : Shia Islam and the Iranian Revolution. Diakses pada tanggal 23 Juni 2021 dari, https://www.e-info/2019/09/03/revolutionary-religion-shia-islam-and-the-iranian-revolution/
- Taylor, Adam. 2019. Why Iran is getting the blame for an attack on Saudi Arabia claimed by Yemen’s Houthis. Diakses pada tanggal 24 Juni 2021 dari, https://www.washingtonpost.com/world/2019/09/16/why-iran-is-getting-blame-an- attack-saudi-arabia-claimed-by-yemens-houthis/
- Vahdat, Amir. 2016. Hajj 2016: Iran will not send pilgrims to Saudi Arabia due to ‘incompetence’ that caused fatal stampede last Diakses pada tanggal 22 Juni 2021 dari, https://www.independent.co.uk/news/world/middle-east/hajj-2016-iran-will-not- send-pilgrims-saudi-arabia-due-incompetence-caused-fatal-stampede-last-year- a7027011.html
- Yahel, Ido. 2021. Iran in Syiria: From Expansion to Entrenchment. Dakses pada tanggal 23 Juni 2021 dari, https://dayan.org/content/iran-syria-expansion-entrenchment