Pernikahan Beda Agama dalam Pandangan 5 Mazhab Fiqh
Fardiana Fikria Qurany-Nikah beda agama, yakni muslim/muslimah menikah dengan perempuan/lelaki non-muslim, bukan isu baru juga bukan fenomena terakhir. Hanya saja, belakangan ini kita lebih kerap lagi melihat fenomena ini dan, tak pelak, menuai kontroversi di tingkat nasional. Bukan saja tidak diperbolehkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), pernikahan beda agama juga sebelumnya sudah diatur cukup komprehensif dalam fiqh lima mazhab. Dalam tulisan ini, kita akan meninjau pandangan dan argumentasi lima imam mazhab fiqih dalam merespon pernikahan beda agama.
Tujuan Menikah dan Hukum Agama
Berangkat dari tujuan menikah yang disebutkan dalam surat al-Rum ayat 21 dab surah al-Nahl ayat 72 yaitu:
وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”‘[1]
وَاللّٰهُ جَعَلَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا وَّجَعَلَ لَكُمْ مِّنْ اَزْوَاجِكُمْ بَنِيْنَ وَحَفَدَةً وَّرَزَقَكُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِۗ اَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُوْنَ وَبِنِعْمَتِ اللّٰهِ هُمْ يَكْفُرُوْنَۙ
“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau istri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rezeki dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?”[2]
Dari ayat di atas, tujuan pernikahan agar terwujudnya ketenangan dan membangun satu relasi berdasarkan cinta dan kasih sayang, hingga melimpahlah rezeki yang berkah lagi baik.
Islam memberikan jalan fitrah manusia melalui syariat Islam. Syariat Islam berupa ayat dan riwayat yang dijadikan pijakan dalam membuat hukum (fiqh). Agar fitrah manusia bisa terus berjalan dalam jalan kebenaran, maka Islam memberikan aturan agar manusia dapat mencapai tujuannya.
Nikah Beda Agama, antara Boleh dan tidak Boleh
Fiqh lima mazhab yang kita ketahui adalah fiqh mazhab Ja’fari, Ma:liki, Hanafi, Syafi’i dan Hanbali. Pendapat mereka bisa kita rujuk secara langsung dalam buku Fiqh Perbandingan Lima Mazhab: Syafi’i, Hanbali, Maliki, Hanafi, Ja’fari.[3] Di dalam buku tersebut dibahas isu-isu atau masalah fiqh dengan memaparkan pandangan lima (5) imam.mazhab besar fiqh. Termasuk di antara pembahasannya adalah, mengenai pernikahan beda agama.
Dalam buku Fiqh Perbandingan Lima Mazhab, persoalan perbedaan agama masuk pada sub-sub bab yang membahas mengenai penghalang sababiyah. Di antara sepuliuh (10) penghalang sababiyah, salah satunya adalah perbedaan agama. Ada dua poin berkenaan dengan hal tersebut:
- Boleh-tidak bolehnya menikah beda agama
- Sah-tidak sahnya menikah beda agama.
Pada poin pertama, para ahli fikih menyepakati terlebih dahulu apakah pernikahan beda agama itu benar secara fiqh? Dengan kata lain, apakah nikah beda agama dibolehkan dalam Islam?
Seluruh ahli fikih sepakat, tidak dibolehkan bagi muslim atau muslimah menikah dengan orang kafir yang tidak memiliki kitab samawi. Pandangan ini didasari dalil naqli yaitu, surah al-Baqarah ayat 221[4].
Mazhab Hanafi, Maliki, Hanbali dan Syafi’i membolehkan seorang muslim menikah dengan orang kafir yang memiliki kitab samawi seperti Yahudi dan Nasrani, namun sebaliknya mereka tidak membolehkan muslimah menikah dengan laki-laki non muslim, sekalipun ahli kitab.[5] Mazhab Ja’fari juga sependapat dengan empat mazhab lain dalam hal tidak boleh perempuan muslim menikah dengan laki-laki non muslim.
Di kalangan mazhab Ja’fari terjadi perbedaan pendapat terkait jenis pernikahan beda agama yang dilakukan laki-laki muslim dengan perempuan ahlul kitab. Pertama, sebagian ahli fikih berpendapat bahwa pernikahan beda agama, meskipun perempuannya ahlul kitab dan lelakinya muslim tetap tidak diperbolehkan. Pendapat pertama ini diwakili oleh Syaikh Mufid, Sayyid al-Murtadha dan Ibnu Barraj. Argumentasi kelompok ini didasarkan pada surah al-Mumtahanah ayat 10[6] dan surah al-Baqarah ayat 221[7]. Pelarangan ini didasarkan pada penafsiran terhadap kata syirk dengan kufr.
Pandangan Kedua mengatakan bahwa laki-laki muslim boleh menikahi perempuan ahlul kitab baik da’im maupun munqathi’[8]. Kelompok kedua yang diwakili oleh Ali bin Babawaih dan Syaikh al-Shaduq mendasari argumentasinya pada surah al-Maidah ayat 5[9]. Terakhir adalah pandangan Ketiga, mengatakan bahwa seorang muslim boleh menikah dengan wanita ahlul kitab hanya secara munqati’, tidak boleh secara da’im. Argunentasi kelompok ketiga ini berdasarkan pada penafsiran dalil yang melarang untuk nikah da’im dan dalil yang membolehkan untuk nikah munqathi.[10]
Pada poin kedua, terkait dengan sah-tidaknya pernikahan beda agama dengan mempelai pria muslim dan perempuan ahlul kitab, seluruh mazhab fikih kecuali mazhab Maliki sepakat bahwa pernikahan non muslim sah selama csranya sesuai dengan keyakinan dan ajaran mereka. Tidak ada perbedaan apakah mereka Ahlul kitab atau bukan. Argumentasinya didasari pada riwayat: “Setiap kaum memiliki tatacara pernikahan mereka sendiri.”, “Orang yang meyakini agama suatu kaum, maka dia terikat oleh hukum-hukum mereka.”, “Hukumilah mereka sebagaimana mereka menghukumi diri mereka sendiri.”.[11]
Dari pandangan lima mazhab fikih di atas, kita bisa menyimpulkan secara gsris besar bahwa di Islam diperbolehkan nikah beda agama dengan catatan yang ahlul kitabnya adalah perempuan, bukan laki-laki. Meskipun di kalangan mazhab Ja’fari ada yang melarang secaea total.
Kebijakan Majelis Ulama Indoneisa (MUI)
Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan kumpulan cendekiawan dan ulama muslim dari berbagai mazhan dan organisasi Islam di Indonesia. Dalam musyawarah nasional, MUI membuat fatwa terkait dengan pernikahan beda agama. Fatwa MUI nomor 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 yang menetapkan (1) Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. (2) Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu’tamad, adalah haram dan tidak sah.[12]
Dengan demikian, untuk konteks perkawinan beda agama di Indonesia tidak diperbolehkan dan tidak sah baik dilakukan oleh laki-laki muslim sekalipun. Namun, meski sudah terdapat fatwa MUI, tetapi tidak ada konsekuensi hukuman yang berlaku bagi pasangan yang melakukan nikah beda agama di Indonesia sejauh ini.
[1] Qs. Al-Rum: 21
[2] Qs. Al-Nahl: 72.
[3] Muhammad Ibrahim Jannati, Fiqh Perbandingan Lima Mazhab: Syafi’i, Hanbali, Maliki, Hanafi, Ja’fari, tiga jilid, Terj. Ibnu Alwi Bafaqih, dkk. Jakarta: Penerbit Cahaya, 2007).
[4] “Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah:221).
[5] Muhammad Ibrahim Jannati, Fiqh Perbandingan Lima Mazhab: Syafi’i, Hanbali, Maliki, Hanafi, Ja’fari, jilid 3, Terj. Ibnu Alwi Bafaqih, dkk. Jakarta: Penerbit Cahaya, 2007), hal. 354.
[6] وَلَا تُمْسِكُوْا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِartinya: “Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka.” (Q.S. Al-Mumtahanah:10).”
[7] وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ ۗ artinya: “Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman.” (Q.S. Al-Baqarah:221).
[8] Nikah munqati’ disebut juga dengan nikah mut’ah yaitu, pernikahan seorang wanita berakal dan bwrikhtiyar dengan seorang pria muslum dengan mahar tertentu selama masa tertentu dan pihak pria menerima kesepakatan ini. (lihat. Muhammad Ibrahim Jannati, Fiqh Perbandingan Lima Mazhab: Syafi’i, Hanbali, Maliki, Hanafi, Ja’fari, jilid 3, Terj. Ibnu Alwi Bafaqih, dkk. Jakarta: Penerbit Cahaya, 2007), hal. 461.
[9] ….مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَartinya “perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu.” (Q.S. Al-Maidah: 5).
[10] Muhammad Ibrahim Jannati, Fiqh Perbandingan Lima Mazhab: Syafi’i, Hanbali, Maliki, Hanafi, Ja’fari, jilid 3, Terj. Ibnu Alwi Bafaqih, dkk. Jakarta: Penerbit Cahaya, 2007), hal. 355.
[11] Muhammad Ibrahim Jannati, Fiqh Perbandingan Lima Mazhab: Syafi’i, Hanbali, Maliki, Hanafi, Ja’fari, jilid 3, Terj. Ibnu Alwi Bafaqih, dkk. Jakarta: Penerbit Cahaya, 2007), hal. 356.
[12] https://mui.or.id › files › fatwa PDF PERKAWINAN BEDA AGAMA – Majelis Ulama Indonesia. Diakses pada 21 Maret 2022, pukul 11.55 WIB.