Dr. O. Sulaiman; Film Muhammad Rasulullah dan Ketahanan Bangsa
MM-Film bukanlah estetika untuk estetika. Film adalah produk budaya dan pendidikan bagi masyarakat. Insan perfileman adalah aset kemanusiaan yang bersifat universal.
Dukungan pemerintah suatu negara terhadap perkembangan film adalah bagian dari tugas negara, sebagai ketahanan nilai budaya dan pandangan hidup bangsa. Demikian kesimpulan dari Dr. O, Sulaiman dalam Diskusi Film Ramadhan Spesial 2022, “Muhammad Rasulullah”, 16/4/2022 via zoom. Diselenggarakan oleh IKMAL dan IKMAL TV INDONESIA.
Dr. Sulaiman secara khusus telah menerjemahkan film-film Iran, diantaranya, Serial Nabi Yusuf, Kerajaan Sulaiman, Ashabul Kahfi, dan When The Moon was Full. Dr. Sulaiman juga seorang dosen pengajar filologi dan seniman. Tulisan berikut merupakan hasil transkip bebas yang diambil dari presentasi Dr. Sulaiman dan pertanyaan dari para peserta diskusi.
Apa komentar anda tentang film-film Iran ?
Saya membatasi posisi saya sebagai penerjemah, motivasi estetika dan nilai keberadaan sebuah film dalam bingkai budaya. Tentu didasarkan pada latar belakang saya dibidang agama dan sastra Persia. Saya selama 12 tahun belajar disana, berinteraksi langsung terutama pada kegiatan seni dan tentunya aktifitas film. Film-film Iran harus kita baca dalam bingkai budaya dan peradaban.
Bisa dijelaskan ?
Kita masih ingat Samuel Huntungton pada era 90-an berpendapat tentang budaya. Dia memiliki tesis bahwa persaingan peperangan fisik telah beralih pada peperangana budaya dan peradaban. Film sebagai bagian dari seni dan budaya menjadi penting dalam kerangka perang nilai, pandangan hidup dan budaya. Film Nabi Muhammad juga bisa dibaca dari sana. Gambaran potret nabi yang buruk dibarat sebagaimana dalam kartun harus dijawab dengan karya seni. Film harus dijawab dengan film.
Bagaimana dengan Indonesia ?
Indonesia juga bisa dilihat dalam kontek yang sama. Bagaimana kehadiran teknologi bermata dua, begitu memudahkan hidup sekaligus menjadi media penyebar apapun yang tidak sesuai dengan budaya dan nilai bangsa Indonesia.
Artinya pengelolaan film di Indonesia juga seharusnya seperti apa?
Film adalah produk budaya yang sangat efektif sebagai sarana, transfer nilai dan pemahaman. Produk film harus dilawan dengan film, tidak bisa narasi statis seperti buku untuk menjawab narasi film. Nilai dan pandangan hidup kitab isa di tuangkan dalam film.
Apa kendala perkembangan film di Indonesia ?
Para sineas Indonesia sepertinya dalam bayang bayang kegagalan ekonomi ketika film di lempar ke pasar. Modal yang terbatas tetapi harus masuk pasar industri perfileman yang harus berhadapan dengan film-film Holywood.
Bagaimana strategi untuk menghadapinya?
Saya kira kreatifitas para sinies seperti yang di tunjukkan oleh mas Riri Riza. Juga tentu saja dukungan politik dari negara. Anak-anak kita butuh film anak dan remaja, tetapi kalau kita menyuruh mereka menonton, mereka balik bertanya, kita harus nonton film yang mana.
Ada pengalaman yang bisa di ceritakan ?
Sekitar 10 tahun yang lalu saya pernah diminta untuk menjadi pembicara dalam sebuah diskusi film di Fakultas Ekonomi UI, di sela-sela penayangan film Islami, ada dua film yang di tayangkan, film Nabi Sulaiman dan Nabi Yusuf dimana saya sebagai penerjemah film tersebut. Salah satu peserta mengeluh tentang banyaknya sinetron-sinetron yang tayang di TV swasta yang tidak sesuai nilai yang dianut orang tua dan bangsa Indonesia. Nah saya kira kuncinya ada di regulasi, dan sekali lagi dukungan politik dari pemerintah terhadap perkembangan film di Indonesia.
Apa yang harus dilakukan pemerintah Indonesia ?
Pemerintan Indonesai harus menjadikan film sebagai ketahanan bangsa dan diimplementasikan kedalam langkah-langkah konkrit. Salah satu contohnya membuat perkampungan fim. Saya melihat di Iran banyak pembangunan perkampungan film, sehingga bisa shooting apa saja merujuk pada zaman manapun.
Apa yang anda lihat dari Film Muhammad Rasulullah ?
Merujuk pada pembangunan perkampungan film, pembangunan set lokasi film Nabi Muhammad Rasulullah, ada perlakuan khusus dan dukungan dari pemerintah Iran sehingga memicu produktifitas film yang berkualitas.
Apa kendala membuat kualitas film dan kebebasan membuat Film?
Pemerintah Iran saya kira memiliki otoritas untuk memfilter masuknya budaya barat melalui film, tapi tidak sampai membuat kehilangan kesempatan untuk menikmati film-film bagus buatan dalam negri.
Apa motivasi anda menerjemahkan film-film Iran ?
Salah satu motivasi saya dan teman-teman ketika menerjemahkan adalah bagian dari kontribusi saya terhadap masyarakat Indonesia untuk memudahkan akses menikmati film-film yang bagus buat spiritualis rakyat Indonesia. Selain itu menjadi bagian dari pengabdian dan ibadah saya sebagai seorang muslim kepada Allah. Itulah motivasi estetis saya yang tentunya menjadi kombinasi dengan latar belakang saya di bidang sastra Persia dan agama Islam.
Bagaiamana anda melihat film Muhammad Rasulullah dengan pemahaman tarik nabi yang berbeda beda?
Saya ingin menyampaikan, diawal awal film, muncul semacam disclaimer dari sutradara yang mengatakan bahwa film ini saya buat berdasarkan kepada apa yang saya pahami terkait dengan sejarah Rasulullah. Semacam sejarah nabi Muhammad prespektif Majid Majidi yang tentunya melibatkan agamawan, ahli sejarah nabi dan antroplog.
Tentu ada sedikit kontroversi di kalangan tertentu kenapa adegan, misalnya terkait pembelahan dada nabi tidak ditampilkan, nah ini terkait dengan sejumlah riwayat. Tetapi yang dimaksud saya kira bukan pembedahan dada secara fisik.
Termasuk adegan pemanggilan ikan oleh nabi dari laut, itu berdasarkan riwayat yang banyak sekali di Iran, yang tentu saja di Indonesia jarang kita temukan. Tetapi saya kira tidak sampai menganggu keselurahan cerita.
Apa pesan penutup dari anda?
Perlu saya sampaikan bahwa apapun yang berasal dari Iran, jika bisa memberi inspirasi bagi kemajuan dan kebaikan bangsa Indonesia, terutama di bidang film, harusnya menjadi aset bersama. Kolaborasi dan kerjasama membuata film, membangun kebersamaan antara sineas Indonesia dengan Iran semestinya dilakukan, sehingga manfaatnya terasa.