Strong Woman, Zainab
Annisa Eka Nurfitria-Tidak ada satu pun individu yang bebas dari masalah. Setiap orang dalam hidupnya pasti dihadapkan pada masalah dan tekanan. Bahkan sejak kecil kita dituntut untuk menyelesaikan masalah mulai dari yang paling sederhana sampai yang complicated. Ada orang yang mudah mengeluh dan menyerah ketika menghadapi tekanan. Tapi ada pula yang begitu tegar, optimis, dan memandang tekanan hidup sebagai tantangan yang harus dihadapi. Individu tegar nan optimis itu dalam dunia psikologi disebut sebagai orang yang tahan banting (hardiness personality). Tipe kepribadian ini memiliki fungsi sebagai sumber perlawanan pada saat individu ditimpa kejadian yang menimbulkan stress. Stress di tangan orang-orang seperti ini dapat digunakan sebagai pembangkit semangat. Tipe kepribadian ini akan mengurangi pengaruh kejadian-kejadian yang mencekam yang terjadi dalam hidupnya dengan menggunakan strategi penyesuaian dan menjadikan sumber-sumber sosial yang ada di sekitarnya sebagai tameng serta motivasi dalam menghadapi ketegangan. Tentunya orang dengan kepribadian tahan banting (antifragile) ini saat menghadapi masalah ia mungkin saja tertekan, tapi ia dapat menyikapinya dengan positif dan tidak mudah melarikan diri dari kondisi-kondisi tak menyenangkan yang mencekiknya.
Setiap saat kita bergelut dengan hal yang sesuai dan tidak sesuai dengan keinginan dan harapan kita. Alquran telah menjelaskan tentang makna hidup sebenarnya dan Allah SWT akan menguji manusia melalui hal-hal sebagai berikut “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka berkata, sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali.” (Al-Baqarah [2]: 155-156) Sebagai hamba Allah SWT, semua manusia dalam kehidupan di dunia ini tidak akan luput dari berbagai macam cobaan, baik berupa kesusahan maupun kesenangan. Hal itu berlaku bagi setiap insan yang beriman maupun kafir. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (Al-Anbiya [21]:35)
Zainab Al-Kubro adalah seseorang yang memiliki kepribadian melampaui kepribadian di atas. Di matanya musibah demi musibah adalah sebuah keindahan. Ungkapannya saat menyaksikan pembantaian abang, saudara, keponakan dan sahabat-sahabatnya diungkapkan dalam satu kalimat “Maa roaitu illa Jamila” (Tidaklah ku lihat selain keindahan). Satu kalimat yang menggambarkan ketegaran seorang perempuan bernama Zainab. Ia menyadari bahwa pasca wafatnya abangnya, tugas lain menanti dirinya. Perempuan beserta anak-anak yang berada di caravan itu tentunya bersandar padanya. Bagaimana jadinya jika Zainab lemah disaat semua orang butuh penopang? Zainab membesarkan hatinya, meluaskan pundaknya, berusaha tegar meskipun hatinya tercabik-cabik.
Mencoba menapaki perjalanan beliau di sepanjang jalan Najaf-Karbala, kala itu nafas pun mulai terengah-engah, pijakan kaki pun kadang oleng. Yang kami tapaki dan rasakan sepanjang jalan itu hanyalah secuil dari banyaknya derita yang ia rasakan. SECUIL. Tak ada seujung kaku pun. Itu pun sembari diiringi keluhan-keluhan tak berarti seperti pegal kaki, panas dan lain sebagainya. Bersama teman-teman, hampir 5 kali kami mencoba menapak tilasi perjalanan agung Najaf-Karbala, tapi tak ada yang tanpa keluhan! Maka tak bisa kami bayangkan pula bagaimana Zainab, seorang perempuan harus berjalan berkilo-kilo meter jauhnya dengan tangan dan kaki terikat rantai besi. Berdarah-darah. Tanpa maukib untuk bernaung ketika lelah, lapar maupun panas. Sedang hatinya baru saja hancur, ia baru saja keluar dari medan pertempuran antara kebatilan dan kebenaran. Aroma bunga-bunga syuhada menempel di pakaiannya, di hadapannya karavan para yatim diarak keji bagai hewan sedang di belakangnya para algojo dengan wajah berkilat-kilat keji berlumuran darah abangnya. Dan pesan revolusi berada di pundaknya. Bisakah anda membayangkan rasa itu hanya dengan menapak tilasinya? Sungguh sulit membayangkannya.
Diarak dari Karbala menuju Kufah pasca dibantai abangnya, Zainab tak lemah begitu saja. Ia keluar dari medan pembantaian itu dengan membawa pesan para syuhada. Baginya para syuhada telah menunaikan tugasnya dengan berkorban darah, maka kini tibalah tugas berpesan itu dipikul Zainab. Srikandi itu berpidato dengan suara lantang di istana Yazid dan bahkan berkata pada si bengis itu, “…Wahai Yazid sesungguhnya noda kenistaan yang kau lakukan tidak akan bisa dihapus selamanya…”. Kata-kata yang begitu menusuk relung hati Yazid yang keras, tapi Zainab tak gentar. Kepiawaannya merangkai kata dalam orasi dan pidato, mengingatkan Yazid pada Ali bin Abi Thalib, ayah perempuan kuat itu. Meski sebagai perempuan hati Zainab sama rapuhnya kala melihat pembantaian di depan matanya, tapi di depan para algojo tamak pemuja kedudukan dan harta, airmatanya disembunyikan, hanya untaian-untaian kalimat bijak dalam membongkar kebusukan serta sandiwara licik keluarga Muawiyyah yang keluar dari bibir Zainab.
Setiap perjuangan selalu berwajah dua, yang pertama adalah darah dan yang kedua adalah pesan. Mereka yang telah memilih matinya dalam syahadah tentu tak memiliki mulut lagi untuk menyampaikan misi. Tongkat estafet perjuangan itu pun dilanjutkan oleh si penyampai pesan. Dan Zainab dengan mental kuat telah menunaikan tugas itu dengan gagah berani. Tanpa lidah penyambung, pesan para syuhada Karbala hanya akan menjadi angin lalu dongeng sebelum tidur.
Mereka yang memilih syahadah adalah jantung sejarah, sedang si lidah penyambung adalah pompa yang berjuang sekuat tenaga memompa darah itu agar bisa mengalir ke semua sendi kehidupan. Darah itulah yang nantinya menghidupkan hati manusia-manusia “bangkai” yang hampir kering diombang-ambing kerasnya fana kehidupan.
Belajar dari kehidupan Zainab yang tak mudah, perempuan sudah sepatutnya memiliki mental tahan banting. Karena segala bentuk pelecehan dan kekejian di masyarakat sudah barang tentu harus dilawan bersama. Keadilan harus dibangun oleh laki-laki dan perempuan. Keshalehan masyarakat pun harus diusahakan oleh keduanya. Keduanya harus bersatu padu, tak mengecilkan peran satu sama lain di tengah masyarakat. Kisah abang-adik, Husain-Zainab adalah contoh bagaimana hak dan kewajiban dipikul bersama-sama dalam kerjasama yang supportif. Equal Rights Equal Responsibilities. Justice!
Itulah pentingnya memberikan kesempatan bagi semua orang untuk ikut berperan di tengah masyarakat, tanpa membeda-bedakan gender, suku, agama dan lainnya. (aen)
Referensi:
Para Pemimpin Mustadhafin, Ali Syariati