Wahhabi : Sebuah Metamorfosis Gagal Dari Ahlu Hadis ( bag- 2)
Ahmad bin Hanbal – Ibnu Taimiyyah – Wahhabi
Masa jaya Ahlul Hadis sudah surut dan tenggelam. Popularitasnya digantikan oleh aliran teologi Asy’ariyah hingga beberapa abad. Sejak tahun 912 M. pengaruh Asy’ariyah menyebar ke semua pelosok dunia Islam; Afrika Utara, Asia Tengah, Asia Tenggara dan lainnya. Para penganut teologi ini menyatakan diri mereka sebagai Ahlu Sunnah wal Jama’ah yang sah. Mereka mem-patenkan Ahlu Sunnah wal Jamaah sebagai kelompok yang mengikuti teologi Asy’ari-Maturidi dan salah satu dari empat mazhab Fikih; Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Dan hak paten ini ditegaskan kembali dalam muktamar Ahlus Sunnah wal Jama’ah di Grozny, Chehnya beberapa minggu lalu.
Ibnu Taimiyah; Reinkarnasi Ahmad bin Hanbal
Popularitas Asy’ariyah mendapatkan tantangan dengan munculnya Ibnu Taimiyah ( 1263-1328 M). Ibnu Taimiyah dilahirkan di Harrân Suria tanggal 10 Rabi’ul Awwal tahun 661 H (1263 M) dan meninggal tanggal 20 Dzul Qa’dah tahun 729 H (1328 M). Setelah menyatakan dirinya sebagai mujtahid, dia menolak taklid kepada mazhab-mazhab Fikih, dan mewajibkan setiap orang Muslim untuk kembali kepada Qur’an dan Hadis secara langsung dalam semua urusan agama; akidah dan fikih.
Meskipun Ibnu Taimiyah menyatakan dirinya sebagai mujtahid dan menolak taklid dalam masalah fikih, namun dia dalam memahami teks-teks agama mengikuti metode Ibnu Hanbal. Karena itu, dia dianggap sebagai reinkarnasi metodologi Ahmad bin Hanbal, dan menjadi tokoh pembaharu aliran Ahlul Hadis. Aliran ini mulai bergeliat kembali dan bangkit menghadapi dominasi pemikiran teologi Asy’ariyah.
Berikut ini beberapa prinsip dari pandangan-pandangannya;
- Keharusan untuk selalu kembali kepada al-Qur’an dan Hadis, dan dalam memahami keduanya harus sesuai dengan pemahaman-pemahaman generasi awal umat Islam (al-Salaf al-Shalih). Ibnu Taimiyah meyakini bahwa Salaf adalah generasi yang paling memahami maksud-maksud dari keduanya, dan mereka merupakan representatif dari keduanya.Prinsip ini nampaknya dipengaruhi oleh polemik Ibnu Taimiyah dengan berbagai praktek umat Islam yang dianggap menyimpang dari keduanya, seperti praktek-praket kaum Sufi yang marak pada masanya. Dia menuduh mereka sebagai pelaku-pelaku bid’ah ( Ahlul Bid’ah).
- Menolak pendekatakan rasional (aqli) dalam memahami teks-teks agama. Ibnu Taimiyah seorang yang sangat patuh dengan pemaham skriptual (lahiriah), dan menolak keras pemahaman yang berdasarkan ta’wil. Dia mengkritik pendekatan akal dalam masalah Ketuhanan, metafisika, wahyu, kenabian, dan eskatologi. Dalam masalah ini, menurutya, kemampuan akal terbatas,
- Pijakan yang digunakan oleh Ibnu Taimiyah dalam memahami teks-teks Islam adalah al-Qur’an, Sunnah Nabi, perkataan dan perbuatan para sahabat Nabi, dan pendapat para Tabi’in.
Sampai batas ini, Ibnu Taimiyah sejalan dengan Ahmad bin Hanbal. Karena itu, dia dianggap sebagai pembaharu ( Mujaddid) Ahlul Hadis. Bahkan dia pun mengaku sebagai pengikut Ahlu Sunnah wal Jamaah ‘ala manhaj al Salaf al Shalih ( Ahlu Sunnah wal Jama’ah menurut Pemahaman Salaf) Dalam kitabnya, Majmû’ al fatâwâ , dia berkata,
“ Mereka (Ahlu Sunnah wal Jama’ah ) adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan al-Qur’an dan al-Sunnah serta apa yang menjadi kesepakatan para sahabat ; Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik”, dan “Barang siapa yang berkata dengan al-Qur’an, al-Sunnah dan ijma’ al-salaf, maka dia adalah Ahlu Sunnah”.[1]
Pemikiran Ibnu Taimiyah Menuai Kritikan Para Ulama Ahlu Sunnah
Meski Ibnu Taimiyah mengaku dirinya sebagai pengikut Ahlu Sunnah wal Jama’ah, namun pada kenyataannya banyak dari tokoh-tokoh besar Ahlu Sunnah wal Jama’ah, baik yang sezaman dengannya maupun yang tidak, yang menghujat bahkan mengkafirkannya karena beberapa pemikirannya tentang tajsîm (anthropomorphism) ,dan sebagai reaksi dari pandangannya yang men-sesatkan dan mengkafirkan praktek-praktek tasawwuf dan golongan Asy’ari.
Al Hafidz Ibnu Hajar al ‘Asqallâni menyebutkan dalam kitabnya, al Durar al Kâminah, bahwa beberapa ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah yang sezaman dengan Ibnu Taimiyah seperti Taqiyuddin al Subki al Syafi’i, al Zahrawi al Maliki, al Dzahabi dan lainnya dari ulama mazhab Hanafi dan Hanbali menghukumi kekafiran Ibnu Taimiyah dan mengaharamkan untuk mengikuti alirannya. Menurut mereka, sikap Ibnu Taimiyah seperti Khawarij dan dia meyakini tajsîm.
Solahuddin al Shafadi, murid Ibnu Taimiyah dalam kitabnya, A’yân al ‘Ashr wa A’wân al Nashr, menceritakan bahwa pada bulan Rabuil Awwal tahun 698 H. sejumlah ulama dari mazhab Syafi’i berdialog dengannya ( Ibnu Taimiyah). Mereka mengkritisi pandangan-pandangannya tentang sifat-sifat Allah, dan meminta kepadanya agar membatalkan pandangan-pandangannya dalam kitabnya, Fatwa-fatwa al Hamawiyah.[2]
Oleh karena Pandangan-pandangannya dalam masalah teologi, fikih dan tasawwuf dianggap oleh mayoritas ulama telah menyimpang, maka seringkali Ibnu Taimiyah diajak dialog oleh mereka, bahkan dipanggil dalam sebuah sidang yang dihadiri oleh para ulama dan hakim. Mereka meminta berkali-kali kepadanya agar bertaubat dari pandangan-pandangannya. Namun setiap kali berjanji untuk taubat, dia mengangkari janjinya, maka dia dipenjara atas permintaan empat ahli hukum agama dari empat mazhab; Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Taqiyuddin al Subki, seorang ulama yang sezaman dengannya, berkata, “ Dia dipenjara berdasarkan ijma’ para ulama dan ulil amri “.[3]
Harapan yang Kandas
Sejak Ibnu Taimiyah diminta untuk taubat dan dipenjara hingga wafat, harapannya untuk menghidupkan kembali metode Ahlul Hadis ( Manhaj al Salaf) kandas. Kegagalannya selain karena upayanya untuk menghidupkan metode Ahlul Hadis yang bertentangan dengan pandangan mayoritas yang mengikuti teologi Asy’ariyah, juga dikarenakan pandangan-pandangannya dalam masalah fikih, seperti pengharaman taklid, dan kecamannya terhadap kalangan tasawwuf, seperti ziarah kubur dan tawassul dengan Nabi saw. dan para wali. (bersambung) { Husein Alkaff}
[2] Ibn Hajar al-Atsqallani Ad-Durar al-Kaminah, 1/46
[3] Al Subki, Fatâwâ al Subki 210/2.