Urgensi Basirah dalam Keberagamaan
Allah Swt berfirman:
اَدْعُوا اِلَی اللَّهِ عَلی بَصِیرَةٍ اَنَا وَ مَنِ اتَّبَعَنِی
Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan basirah. (QS.Yusuf: 108).
Rasulullah saw bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ اِلّا وَ لِقَلْبِهِ عَینَانِ، هُما غَیبٌ ینْظُرُ بِهِما الغیبُ فَاِذَا اَرَادَاللَّهُ تَعالَی بِعَبْدٍ خَیراً فَتَحَ عَینَی قَلْبِهِ فَیری مَا هُوَ غَائبٌ مِنْ بَصَرِهِ
Tiadalah seorang hamba kecuali hatinya memiliki dua mata; kedua-duanya gaib yang dengannya ia melihat gaib. Dan ketika AllahSWT menginginkan kebaikan pada seorang hamba maka Allah membukakan kedua mata hatinya sehingga ia melihat sesuatu yang tidak tampak dari pandangan matanya.
Dalam sebuah permintaan doa disebutkan “wal bashirah fi dini” ( ya Allah, karuniakan aku basirah dalam agamaku).
Basirah dalam pandangan riwayat dan doa diposisikan sebagai mata bagi hati. Sebagaimana manusia melihat dengan mata lahiriah pelbagai hal/benda maka dengan basirah (mata batin) ia mampu memahami batin dan hakikat segala sesuatu dan segala persoalan. Basirah adalah manifestasi dari cahaya al-Haqq, sehingga dalam salah sebuah doanya, Nabi saw memohon kepada Allah Swt supaya dianugerahi cahaya al-Haqq ini dari pelbagai sisi dan organ tubuhnya:
اللّهمَّ اجْعَل لِی نُوراً فِی قَلبِی وَ نُوراً فِی سَمْعِی وَ نُوراً فِی بَصَرِی وَ نُوراً فِی لَحمِی وَ نُوراً فِی دَمِی وَ نُوراً فِی عِظامِی وَ نُورَاً مِنْ بَینَ یدَی وَ نُورَاً فِی خَلْفِی وَ نُورَاً عَنْ یمینی وَ نُورَاً عَنْ شِمالِی وَ نُورَاً مِنْ فَوقِی وَ نُورَاً مِنْ تَحْتِی. اَللَّهُمَّ زِدْنِی نُورَاً وَ اَعْطِنی نُورَاً وَاجْعَلِنی نُورَاً بِحَقِّ حَقِّک یا اَرْحَمَ الرَّاحِمِینَ
Ya Allah, jadikanlah cahaya pada hatiku, cahaya pada pendengaranku,cahaya pada penglihatanku,cahaya pada dagingku, cahaya pada darahku,cahaya pada tulangku,cahaya di arah depanku,cahaya di belakangku,cahaya di kananku,cahaya di kiriku,cahaya di atasku dan cahaya di bawahku. Ya Allah,tambahkanlah cahaya bagiku dan karuniailah aku cahaya dan jadikanaku sebagai cahaya demi hak-Mu yang agung wahai yang MahaPengasih di antara yang mengasihi.
Basirah itu begitu penting sehingga dalam doa tersebut seseorang dianjurkan untuk memintanya. Basirah dalam agama bermakna seseorang mampu melihat hak (kebenaran) sebagai hak dan batil sebagai kebatilan. Inilah yang dimohonkan dalam doa “ya Allah, perlihatkan kebenaran sebagai kebenaran dan karuniailah aku kemampuan untuk mengikutinya dan perlihatkan kebatilan sebagai kebatilan dan anugerahilah aku kemampuan untuk menjauhinya.”
Ketiadaan basirah seringkali menyebabkan seseorang salah dalam menilai saudara seagama dan seimannya dan dengan gampang mengecapnya “sesat” dan “kafir”. Dan ketumpulan basirah juga mengakibatkan seseorang menyesal di hari akhir karena bersahabat dengan teman yang merugikan atau mengikuti pemimpin yang menyesatkan.
Ketajaman basirah membuat kita mampu mengenali kebenaran dan ahlinya (orang-orang yang bersama kebenaran). Kebeningan basirah yang dicapai melalui dawam fikr dan dawam zikr akan menunjukkan pada kita siapa yang membawa dan mengiring bola kebenaran di tengah umat yang majemuk ini.
Basirah akan menjauhi orang yang cinta dunia, dan dunia di sini bukan emas dan perak, tahta dan wanita, tapi dunia dalam pandangan sufi adalah segala hal yang menjauhkan seseorang dari Allah adalah dunia. Ilmu yang tidak diamalkan pun bisa menjadi dunia yang menghalangi seseorang dari perjalanan menuju Allah. Jabatan publik yang digunakan untuk melayani masyarakat bukan dunia tapi akhirat.
Basirah tidak diraih dengan lesehan, goyang-goyang kaki, dan ha ha hi hi. Basirah tidak dimiliki oleh orang yang keras kepala, keras hati, dan suka kekerasan atau hanya menggunakan manthiqul quwwah (logika kekuatan). Basirah digapai dengan mujahadah nafs dan tazkiah nafs. Inilah jihad akbar yang dimaksudkan Nabi saw saat beliau menyambut para sahabatnya yang mulia—radhiyallah ‘anhum—dari sebuah peperangan sembari bersabda: kalian telah kembali dari perang kecil ( jihad asghar) menuju jihad akbar. Dan kemudian Nabi saw menjelaskan bahwa yang dimaksud jihad akbar adalah jihad melawan hawa nafsu.
Agama tanpa basirah akan membuat seseorang gampang menubruk sana dan sini. Islam minus basirah akan menciptakan seseorang yang langkahnya meragukan dan merugikan banyak orang. Islam nihil basirah akan mengorbitkan seseorang yang saleh secara individual tapi sengit ( baca: jahat) secara sosial. Sebagaimana kaum Khawarij Nahrawan karena ketiadaan basirah maka mereka berani memerangi Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, dan Ibn Muljam yang merupakan salah seorang dari mereka justru membunuh Sayidina Ali. Pasukan Umar bin Saad dengan slogan یا خَیلَ اللَّهِ اَرکبِی فَابْشِرِی بِالجَنَّة (wahai kuda Allah, naiklah dan bergembiralah akan surga) berperang melawan Sayidina Husain dan berhasil membunuhnya beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya serta menawan wanita-wanitanya. Ini contoh lain dari keberagamaan tanpa basirah, sehingga seseorang berani membunuh saudara seimannya yang notabene adalah ahlul bait Rasulullah saw.
Agama itu mendamaikan dan memanusiakan manusia. Agama itu adalah ekspresi cinta dan kasih sayang, bukan luapan benci dan permusuhan. Agama itu memuliakan manusia, bukan menghinakan. Dan Islam agama yang seperti ini, agama yang rahmatan lil alamin. Dan kebenaran dan keorisinilan agama ini mampu dibawa oleh orang-orang yang memiliki basirah dan kaum yang sabar.
Ya, basirah dalam agama itu ibarat rem bagi mobil yang mampu mencegahnya dari tabrakan dan tubrukan. Tanpa rem atau rem yang blong, maka semakin cepat laju mobil maka semakin berbahaya dan alih-alih sampai tujuan, mobil ini justru menabrak dan terhalang dari tujuannya. Inilah yang dinyatakan oleh Sayidina Jafar Shadiq: Orang yang beramal tanpa basirah seperti orang yang berjalan tanpa jalan ( tersesat). Dan semakin cepat ia berjalan maka semakin jauh ia dari tujuan.[1] Jadi, basirah adalah parameter dalam beragama dan menganalisa suatu fenomena. Dalam hal ini Sayidina Ali berkata:
فَاقِدُ البَصَرِ فَاسِدُ النَّظَرِ
Orang yang tidak memiliki basirah maka pandangannya salah (tidak bernilai).
Syekh Muhammad Ghazali
Pemerhati Sosial-Keagamaan
[1] Teks arabnya berbunyi:
العامِلُ عَلى غَيرِ بَصيرَةٍ كَالسّائرِ عَلى غَيرِ الطَّريقِ ، و لا يَزيدُهُ سُرعَةُ السَّيرِ مِنَ الطَّريقِ إلاّ بُعدا