Mengapa Aswaja Menggunakan Qiyas dan Syiah Menolaknya? -Bagian Kedua-
Minoritas ulama syiah mengamalkan qiyas
Sebagaimana dalam makalah sebelumnya dikatakan bahwa mayoritas ulama syiah menolak penggunakan qiyas dalam hukum syariat, namun minoritas dari mereka seperti Muhamad bin Ahmad bin Junaid al-Iskafi yang dikenal sebagai Ibnu Junaid menulis beberapa buku seperti kasyfut tamwiih wal ilbaas ala aghmaaris syiah fii amril qiyaas, idzhaar maa satarohu ahlul inad min ar-riwayah anil itroh fii amril ijtihaad[1] buku-buku itu berisi pembelaan dari Ibnu Junaid yang memperbolehkan penggunaan qiyas dalam hukum syariat, bahkan Sayid Ali Sistani pernah menukil perkataan dari Sayid Murtadho, bahwa sayid Murtadho pernah mengatakan sebagian dari perawi syiah terkemuka seperti Fadhl bin Syadzan dan Yunus bin Abdurahman pernah mengamalkan qiyas, begitu juga Syekh Shoduq pernah mengatakan bahwa Zuroroh bin A’yun dan Abdullah bin Bukair pernah beramal dengan qiyas.[2]
Namun masih diperdebatkan apakah ulama seperti Ibnu Junaid dan beberapa perawi hadist yang disebutkan diatas menggunakan qiyas atau bukan.
Sayid Muhammad Husain Fadhlullah mengatakan bahwa bisa jadi Ibnu Junaid sebenarnya tidak menggunakan qiyas namun menggunakan beberapa kaidah yang dianggapnya sebagai qiyas seperti kaidah Ihrooz al-Milaak atau Dzonn Mutlak yang dijadikan dasar bagi argumentasinya.[3]
Alasan penolakan terhadap metodologi qiyas
Beberapa ulama mengajukan minimal tiga alasan mengapa syiah melarang qiyas, namun dalam makalah ini akan dimuat satu alasan saja yaitu:
- Pelarangan dari Rasulullah saw dan Aimmah Ahlulbait as
Diantara hadist yang melarang penggunaan qiyas dalam hukum syariat ialah
- قال رسول الله – صلى الله عليه وآله وسلم ” ستفترق أمتي على بضع وسبعين فرقة ، أعظمهافتنة على امتي قوم يقيسون الأمور برأيهم فيحرمون الحلال ويحللون الحرام “[4]
Rasulullah saw bersabda: “Umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh lebih golongan, dan fitnah terbesar bagi umatku adalah kaum yang membanding-bandingkan sesuatu (qiyas) dengan pendapat mereka, dan dengan itu mereka mengharamkan yang halal dan dan menghalalkan yang haram”.
- عن عثمان بن عيسى قال: سألت أبا الحسن موسى عن القياس فقال: ” ما لكم والقياس، إن الله لا يُسأل كيف أحل وكيف حرم
”
Dari Utsman bin Isa, ia berkata,”Aku bertanya kepada Abal Hasan Musa as tentang qiyas, lalu beliau as berkata,”Apa urusanmu dengan qiyas, karena Allah tidak ditanya kenapa Dia menghalalkan dan kenapa Dia mengharamkan”.[5]
- عن أبي عبد الله : ” إن أصحاب القياس طلبوا العلم بالقياس فلم يزدادوا من الله إلا بعدا. إن دين الله لا يصاب بالقياس “
Dari Abu Abdillah as, beliau berkata,”para pengguna qiyas ingin mendapatkan ilmu dengan cara mengamalkan qiyas, namun mereka tidak akan bertambah (ilmu) dari Allah bahkan bertambah jauh dariNya, Agama Allah tidak dapat didapatkan dengan qiyas.
penutup
Sebagai penutup saya akan nukilkan kisah diskusi yang terjadi antara Imam Jafar as-shodiq as dengan Imam Abu Hanifah salah seorang fuqoha Ahlussunnah wal jamaah
Suatu ketika datanglah Abu Hanifah ke rumah Imam Jafar Shadiq as. Abu Hanifah meminta izin untuk bertemu, tetapi Imam Jafar belum mengizinkannya. Kebetulan datang rombongan orang Kufah meminta izin untuk bertemu dan Abu Hanifah masuk dengan mereka.
Setelah selesai pertemuan dengan orang-orang Kufah, Imam Jafar Shodiq as berkata,”Wahai Numan (nama Imam Abu Hanifah), telah sampai padaku bahwa Anda menggunakan qiyas, betulkah?”
Abu Hanifah: “Benar.”
Imam Jafar: “Celaka Anda, Numan. Makhluk yang pertama melakukan qiyas ialah Iblis, ketika Allah menyuruh sujud kepada Adam. Lalu ia menolak dan berkata: Engkau ciptakan aku dari api dan Engkau ciptakan ia dari tanah. Hai Numan, mana yang lebih besar (dosanya), membunuh atau berzina?”
Abu Hanifah: “Membunuh.”
Imam Jafar: “Tetapi mengapa Allah menetapkan dua saksi untuk pembunuhan, dan empat orang untuk zina. Adakah engkau menggunakan qiyas di situ?”
Abu Hanifah: “Tidak.”
Imam Jafar: “Mana Yang lebih besar (najisnya) kencing atau air mani?”
Abu Hanifah: “Kencing.”
Imam Jafar: “Mengapa, untuk kencing diperintahkan wudhu, tetapi untuk mani diharuskan mandi, adakah engkau menggunakan qiyas di situ?”
Abu Hanifah: “Tidak.”
Imam Jafar: “Mana yang lebih besar, shalat atau shaum?”
Abu Hanifah: “Shalat.”
Imam Jafar: “Tetapi mengapa wanita Haidh harus mengqodho shaumnya, tetapi tidak mengqodho shalatnya, adakah engkau menggunakan qiyas disitu?”
Abu Hanifah : “Tidak.”
Imam Jafar : “Mana yang lebih lemah, wanita atau pria?”
Abu Hanifah : “Wanita.”
Imam Jafar : “Mengapa Allah berikan warisan dua bagian bagi pria dan satu bagian bagi wanita. Adakah engkau juga gunakan qiyas di situ?”
Abu Hanifah : “Tidak.”
Diceritakan kemudian Abu Hanifah berguru kepada Imam Jafar Shadiq as. Dari Abu Hanifah terkenal ucapan, “law la sanatan, lahalaka Nu’man (Jika tidak ada dua tahun bersama Imam Jafar celakalah Numan).[6]
Setidaknya dari keterangan Imam Jafar Shodiq as diatas kita dapat mengambil satu kesimpulan bahwa hukum syariat tidak selalu sama dengan hukum rasional oleh karena itulah penggunaan hukum rasional seperti qiyas perlu pengesahan dari lisan suci Nabi saw atau para Aimmah as, namun justru kita mendapatkan pelarangan dari mereka untuk menggunakan metode qiyas dalam menentukan hukum syariat.
Wallahu a’lam
[1] Al-fawaid ar-Rijaliyyah 3/207
[2] Ar-Rofid fii ‘ilmil ushuul 11
[3] Ayatullah al-Udzma Fadhlullah waa harokatul aql al-Ijtihadi ladaa al-Fuqohaa as-Syiah al-Imamiyyah
[4] Al-Mustadrok ala as-Shohihain, no hadist.6359
[5] Al-Kafii 1/47
[6] Riwayat diskusi Imam Shadiq as dengan Abu Hanifah bisa ditemukan dalam kitab Ath-Thabaqat Al-Kubra karya Asy-Sya’rani, jilid 1 halaman 28. Dalam kitab tersebut dengan jelas disebutkan silsilah para perawi riwayatnya yang sangat bersih dan terpercaya (tsiqah). Riwayat ini lebih dikenal dan terbukti sebagai riwayat yang shahih. Juga lebih bersesuaian dengan kata-kata terkenal Abu Hanifah yang terdapat pada kitab A’lam Al-Hidayah, jilid 8 halaman 23 (seandainya tidak ada dua tahun berguru kepada Imam Shadiq, tentulah Nu’man akan celaka, law laa sanataan lahakan-Nu’man). Terdapat juga pada kitab Al-Imam Jafar Ash-Shadiq karya Abdul Halim Jundi, yang diterbitkan Majlisul ‘Ala Mesir. Bisa juga membaca komentar Ibnu Hajar dalam As Sawaiq Al-Muhriqah, diterbitkan Maktabah al-Qahirah, Kairo 1385 H.