Almarhum Ustadz Abu Ammar Guru Pecinta Ilmu
Tidak terasa wafatnya Syaikh Abu Ammar, ustadz yang mulia pecinta ilmu, telah memasuki haulnya yang pertama. Almarhum seorang guru yang tak sekedar mengajar, tetapi mendidik murid-muridnya yang dari berbagai kalangan, dengan serius, baik yang dari jarak jauh di tanah air maupun yang dari jarak dekat yang tinggal di kota Qom, Iran. Selain terlihat semangatnya yang tinggi dalam menimba ilmu, Almarhum aktif sekali memberikan jawaban atas soal-soal mereka di dunia maya. Saya sendiri bila mengikuti tulisan beliau dengan bahasanya yang khas dan sederhana, banyak hal baru dalam keilmuan yang saya peroleh dan sangat bermanfaat dari penjelasan beliau.
Beberapa hari yang lalu saya mendapat undangan haul hari wafat beliau via whatsapp, dan secara kebetulan setelah itu saya bertemu dengan seorang yang di mata saya adalah pakar filsafat, dan saya pandang dia sebagai guru saya dari hati, meski saya menyebutnya kawan di lisan saya. Seorang yang ilmu dan wawasannya lebih dari sekedar titel doktornya ini, di tengah perbincangan kami, dia mengatakan sesuatu kepada saya terkait kelebihan yang dimiliki Almarhum Ustadz Abu Ammar.
Pada saat akan mengatakan itu, saya langsung bongkar-bongkar data yang ada di benak, mencari, kira-kira apa yang akan dia katakan, tapi saya kalah cepat, dia keburu mengatakan bahwa yang dia kagumi dari sosok guru seperti Ustadz Abu Ammar adalah cinta ilmu. Lalu menoleh ke putra saya yang duduk di samping saya, dan mengatakan kepadanya (seingat saya): “Kamu masih sangat muda, jangan mikir soal pengen nikah dulu! Ilmu dulu yang harus kamu cari. Soal wanita, nanti kamu bakal jadi rebutan mereka!”. Saya tertawa mendengarnya seraya bershalawat.
Cinta ilmu, yang saya pikir pertama bahwa cinta itu tak kenal siapa, kapan dan dimana. Demikian yang mungkin dicapai Almarhum. Selain kedermawanannya yang tak diragukan dalam materi, murah hati dan mudah memberi, beliau murahkan ilmu yang dimilikinya bagi siapapun tanpa harus diforumkan atau perlu dibuat paket kelas dengan biaya mahal. Kesediaannya dalam menjawab kapanpun (dalam arti meski waktu sudah larut malam atau di waktu yang biasanya orang-orang sedang istirahat) bila ditanya dari mereka tentang berbagai masalah, tak mudah disanggupi oleh banyak ustadz.
Saya sampai pada kesimpulan bahwa Almarhum telah menempatkan dirinya sebagai pelayan ilmu. Karena itu, kiranya tak salah jika saya katakan, mengenang Almarhum Ustadz Abu Ammar adalah mengenang ilmu, mengenang cinta dan selera beliau pada ilmu.
Mengenal Alquran
Satu sebagai contoh dari semua tulisan beliau, yang saya dapati dan kutip dari akun facebooknya yang bernama “Sinar Agama”, ialah penjelasan beliau tentang mengenal Alquran. Tanpa bermaksud menjiplak, penulis sekedar ingin menuangkannya di bawah ini, dengan sedikit mengembangkannya dari apa yang bisa saya pahami dari sebuah tulisan beliau.
Seperti halnya sebuah buku atau kitab yang memuat pengetahuan dan informasi, namun Alquran adalah kitab yang diturunkan oleh Allah swt untuk membimbing manusia ke jalan yang benar. Yakni, sesuai alamiah ciptaan dan sistem dari-Nya.
Karena merupakan ilmu, Alquran menjelaskan segala hal, terutama tentang manusia dan alam yang berkaitan dengan dirinya; tentang tujuan penciptaannya seperti menjadi manusia yang sempurna (insan kamil), surga dan lain sebagainya. Ia menginformasikan hakikat sesuatu terkait asal, posisi, potensi dan cara pemanfaatan serta tujuannya. “Walhasil”, kata Ustadz. “Alquran adalah manual alam semesta ini, baik yang berurusan dengan manusia atau makhluk yang lainnya.”
Yang dapat penulis pahami dari penjelasan beliau, ada sarana lain bagi manusia untuk memperoleh pengetahuan tentang hakikat sesuatu, hakikat manusia dan lainnya. Ialah wahyu yang turun dari Allah kepada utusan-Nya, Rasulullah saw, lalu beliau bacakan dan jelaskan kepada umatnya. Ilmu dan informasi yang didapat darinya, tidak akan didapat melalui sarana-sarana yang manusia punya seperti indera, akal dan insting atau perasaannya.
Ustadz juga menyinggung tentang ilmu yang didapat melalui pembersihan jiwa, meditasi dan sebagainya. Yang menarik dari penjelasan beliau ialah mengenai pembersihan jiwa tingkat biasa yang bisa menghasilkan kasyaf (yang menyingkap rahasia) dan ilmu ladun, dan tingkat tertinggi yang menyertai tafakur yang dicapai Rasulullah saw. Artinya bahwa:
Pertama, pembersihan jiwa yang dilakukan oleh manusia biasa, bagaimanapun tidak akan bisa mencapai pembersihan jiwanya seorang ma’shum (manusia suci), yang dengan demikian ruh Nabi saw menjadi bagai kertas putih yang layak untuk dijadikan lembaran-lembaran yang di atasnya Allah tuangkan sebagian ilmu-Nya yang perlu diketahui manusia. Ilmu ini yang diistilahkan dengan “wahyu syariat” yang berarti adalah Alquran, dibedakan dari ilmu dengan tingkat pembersihan beliau saw, yang diistilahkan dengan “wahyu ilmu” (bukan syariat).
Kedua, pembersihan jiwanya Nabi saw adalah dalam bimbingan Tuhan secara langsung, sebagaimana sabda beliau saw: “Tuhan telah mendidikku..”, berbeda dengan umatnya yang Allah bimbing -tidak secara langsung tetapi- melalui utusan-Nya, dan ia diangkat oleh-Nya menjadi pembimbing mereka. Selain itu, pembersihan jiwa dalam penerapan, nilai dan kualitasnya tergantung pada tingkatan ma’rifat seseorang. Karena itu, tazkiyah nafs bertingkat-tingkat.