Apakah Sama Haji dan Ziarah?
Kasus politisasi ibadah haji oleh pemimpin dan ulama Arab Saudi ternyata berbuntut panjang. Seiring dengan pelarangan warga Iran untuk berhaji tahun ini, media-media pro Arab Saudi menyebarkan isu tentang adanya fatwa dari ulama Iran untuk mengganti ibadah haji dengan berwukuf di Karbala, Irak. Tentu saja ini tidak benar. Yang dilakukan oleh kaum Syiah di Karbala adalah berziarah ke makam Imam Husein, cucunda Baginda Nabi SAW.
Berziarah tentu saja berbeda dengan berhaji. Judul artikel ini juga lebih merupakan sebuah pertanyaan retoris, yaitu pertanyaan yang diketahui dengan jelas jawabannya oleh si penanya maupun oleh yang ditanya. Model pertanyaan retoris ini sebenarnya meniru gaya komunikasi yang terdapat di dalam Alquran, firman Allah:
“Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang hanya dapat menerima pelajaran.”(1)
“Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat? Maka mengapa kamu tidak mau berpikir?”(2)
“Atau samakah gelap gulita dan terang benderang..”(3)
Untuk ketiga pertanyaan retoris Qurani di atas, jawabannya adalah: tentu saja beda. Lalu, apakah sama haji dan ziarah? Tentu saja berbeda.
Sisi-sisi Perbedaan Haji dan Ziarah
Pada kesempatan ini, penulis akan mengutarakan tiga hal yang membedakan keduanya. Pertama dari sisi relasi di antara dua kata, perbedaan hukum praktis, dan perbedaan motivasi tindakan.
Pertama, Relasi Diferensi
Haji dan ziarah adalah dua kata yang membentuk relasi tabâyun (diferensi). Dalam ilmu logika, dua kata yang memiliki relasi diferensial memiliki perbedaan secara esensial. Salah satu cara untuk memastikan bahwa dua kata itu terbedakan secara diferensial, lihatlah bagaimana kedua kata itu tidak bisa begitu saja “saling mencuri” ekstensi satu sama lain. Kata “haji” sebagai konsep universal, ekstensi-ekstensinya antara lain haji tamatu’, ifrad dan qiran, atau haji yang wajib dan yang sunnah, atau haji badal. Sedangkan kata “ziarah” di dalamnya terdapat ziarah pusara suci Rasulullah SAW di Madinah, ziarah makam orangtua atau guru, makam wali songo, dan, ziarah ke makam Imam Husein di Karbala.
Perhatikalnlah bagaimana konsep haji tidak mungkin “mencuri” ekstensi milik ziarah (aneh, kalau ada yang mengatakan “haji ke pusara Rasulullah”). Ekstensi ziarah juga tidak mungkin “mencuri” oleh konsep haji (misalnya, “ziarah badal”). Dengan demikian, berziarah ‘ke Karbala’ tak mungkin menjadi ekstensi dari haji, dan berhaji ke Mekah bukanlah ekstensi ziarah.
Kedua, Perbedaan Hukum Praktis
Haji dan ziarah sama-sama merupakan hukum praktis agama. Kedua amalan ini dilakukan melalui anggota-anggota badan seperti dengan kaki, tangan, lisan dan sebagainya. Bedanya, kalau haji bersifat wajib bagi mukallaf yang telah memenuhi persyaratan dan belum melakukannya, atau sunnah bagi orang yang pernah melaksanakan haji.
Sementara itu, hukum berziarah itu sunnah. Tentu saja bagi yang memiliki faham Wahabi, hukum ziarah itu bisa haram. Tapi, yang pasti, tak ada satupun faham dalam Islam yang menyatakan bahwa ziarah itu hukumnya wajib.
Ketiga, Sisi Terkait Motivasi Tindakan
Pergi haji atau ziarah adalah dua hal yang diperintahkan. Bedanya, yang pertama oleh perintah eksternal (wahyu). Sedangkan yang kedua oleh perintah internal (ikatan emosional; cinta), kendati ditekankan oleh perintah eksternal. Seperti hadis Nabi SAW: “Siapa yang telah mendatangi Mekah sebagai haji, tetapi tidak menziarahiku ke Madinah, niscaya aku menjauhi dia kelak pada hari kiamat. Siapa yang mendatangiku sebagai peziarah, maka wajiblah syafaatku untuknya, dan siapa yang wajib syafaatku untuknya, wajiblah surga untuknya.”(4)
Dalam hadis lain, Nabi bersabda kepada Husein: “Putraku, siapa yang menziarahi aku, (saat aku) hidup atau mati, atau menziarahi ayahmu (Imam Ali), atau menziarahi kakakmu (Imam Hasan), atau menziarahimu, maka ia berhak atasku untuk aku menziarahinya pada hari kiamat kelak, dan akan aku membebaskan dia dari dosa-dosanya.”(5)
Ziarah, Karena Cinta
Dengan kata lain, bahwa haji adalah proposisi atau hukum yang berkaitan dengan tindakan-tindakan lahiriyah, sebagaimana macam perbedaan yang kedua di atas. Demikian halnya dengan ziarah yang tergolong hukum praktis. Namun selain itu, ziarah juga terkait dengan tindakan batiniah (hati), yaitu mencintai. Hal mencintai adalah tindakan batiniah, yang terkadang harus ada di dalam hati setiap yang beriman. Sebagaimana firman Allah:
“Katakanlah, “Aku tidak meminta kepadamu suatu upah pun atas seruanku ini kecuali kecintaan kepada al-qurba (keluargaku).”(6)
Mengenai kata al-qurbâ di dalam ayat ini, banyak riwayat yang menerangkan. Satu di antaranya adalah riwayat dari Ibnu Abbas yang menceritakan banyak orang yang bertanya: “Wahai Rasulullah, siapakah kerabatmu, mereka yang wajib bagi kami mencintai mereka?”
Beliau menjawab, “Ali, Fatimah dan kedua putranya.”(7).
Kalimat proposisinya ialah bahwa “mencintai al-qurba adalah wajib”, yang mengandung hukum “cintailah mereka!”. Kewajiban ini berkaitan dengan tindakan hati, lalu diekspresikan dalam bentuk perbuatan, di antaranya berupa ziarah.
Lalu, apa salahnya berziarah ke makam Imam Husein di hari ketika mereka dilarang untuk berhaji karena alasan politis?
Ilyas
Catatan kaki:
1-QS: az-Zumar 9; قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذينَ يَعْلَمُونَ وَ الَّذينَ لا يَعْلَمُونَ إِنَّما يَتَذَكَّرُ أُولُوا الْأَلْبابِ
2-QS: al-An’am 50; قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الْأَعْمى وَ الْبَصيرُ أَفَلا تَتَفَكَّرُونَ
3-QS: ar-Ra’d 16; أَمْ هَلْ تَسْتَوِي الظُّلُماتُ وَ النُّورُ
4-Wasail asy-Syiah, bab 4, al-Mazar, hadis 1, juz 10, hal 263; يا بني من زارني حيا أو ميتا أو زار أباك أو زار أخاك أو زارك كان حقا علي أن أزوره يوم القيامة وأخلصه من ذنوبه
5-Wasail asy-Syiah, bab 2, al-Mazar, hadis 14, juz 10, hal 256; من أتى مكة حاجا ولم يزرني إلى المدينة جفوته يوم القيامة، ومن أتاني زائرا وجبت له شفاعتي، ومن وجبت له شفاعتي وجبت له الجنة .
6-QS: asy-Syura 23; قُلْ لا أَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْراً إِلاَّ الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبى
7-Dzakhair al-‘Uqba, hal 25; Majma’ az-Zawaid, 7/103; 9/168; ash-Shawaiq al-Muhriqah, hal 258; Nur al-Abshar, hal 122.