Asal Muasal dan Sumber ‘Irfân (Bagian Pertama dari Dua Tulisan)
Salah satu masalah yang banyak menguras pikiran dan menjadi pusat perhatian dan banyak penelitian terkait dengannya dan di bidang analisa identitas ‘irfân Islam sangat berpengaruh adalah meneliti dan mencari asal-muasal ‘irfân Islam. William C. Chittick menyatakan bahwa banyak orang—baik Muslim maupun non-Muslim memandang‘irfân sebagai sesuatu yang asing bagi Islam.[1] Karena itu, perlu dijawab, apakah ‘irfân Islam itu sebuah hakikat yang tidak orisinil dan tidak otentik dan sifatnya impor yang didatangkan dari budaya-budaya asing lalu kemudian ia tumbuh dan populer di tengah muslimin? Apakah ia merupakan produk internal dari budaya Islam dan besumber dari unsur-unsur makrifatnya; makrifat praktis Islam yang beragam? Apakah Alqurân yang merupakan sumber pertama dan utama syariat Islam mengemukakan masalah dan tema ‘irfân?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu ditegaskan bahwa pelbagai pandangan tentang asal muasal dan sumber ‘irfân dapat diklasifikasi dalam dua kelompok. Kelompok pertama menyatakan bahwa sumber ‘irfân Islam dan asal muasal kemunculannya berasal dari luar Islam. Pandangan ini mengatakan bahwa kaum muslim mengenal masalah ‘irfân itu dari luar bidang agama mereka. Sedangkan kelompok kedua meyakini bahwa ‘irfân Islam bersumber dari dalam ajaran Islam.
Sebelum menyebutkan penjelasan dan argumentasi kelompok kedua, penulis akan menyebutkan terlebih dahulu beberapa pandangan penting terkait dengan asal muasal ‘irfân Islam menurut klasifikasi kelompok pertama.
- Kristen
Sebagian meyakini bahwa ‘irfân Islam itu berasal dari ‘irfân Masihi (Kristen), dan pada hakikatnya ‘irfân Masihi yang muncul dalam pertapaan para pengikut Isa dan pada rahib-rahib Masihi, lalu hal itu muncul di tengah kaum muslim dengan nama tasawuf yang baru.[2]
Alasan paling penting yang digunakan oleh kelompok ini adalah adanya pemahaman-pemahaman yang sama, seperti zuhud, tawakal, zikir, diam, dan cinta Ilahi dalam ‘irfân Islami dan Kristen. Bahkan menggunakan pakaian wol yang kasar yang kemudian kaum ‘urâfâ muslim terkenal dengannya, itu juga populer di kalangan rahib. Di samping itu, terdapat pertemuan-pertemuan dan hubungan-hubungan antara rahib-rahib Kristen dan orang-orang zahid kaum muslim.
Penyebaran Islam di Suriah, Irak, dan Mesir, dan hubungan kaum muslim dengan kaum Masehi dan para rahib di Kairo, Kufah, Damaskus, Najran, dan kepopuleran Kristen di antara kabilah-kabilah Arab sebelum Islam menyebabkan sebagian orientalis—berlandaskan kemiripan ‘irfân dan tasawuf dengan ajaran-ajaran Kristen —menyimpulkan bahwa ‘irfân itu diambil dari Masehi.[3]
Golius yang berasal dari Inggris mencoba menganalogikan bab kelima Injil Matta dengan pernyataan-pernyataan Muhasibi, penulis pertama tasawuf Islam.[4]
Sementara itu, Nicholson, menganggap kecenderungan terhadap zuhud dan ajaran-ajaran sufistik itu meniru perilaku para rahib Masehi.[5] Dari sisi sejarah, Sauma’ah dan Khaniqâh yang merupakan tempat ibadah kaum sufi itu meniru para rahib Masehi, bahkan Khâniqah pertama kaum sufi yang ada di Ramlah, Syam itu dibangun oleh salah satu dari penguasa Masehi.[6] Dan masalah-masalah lain ‘irfân, seperti kalimat-kalimat yang tersembunyi, mukasyâfah-mukâsyafah spiritual, gugurnya taklîf, dan tujuh derajat, sampai kepada maqâm ittihâd, semua itu juga tiruan.
Adanya beberapa kesamaan terkait dengan sebagian perilaku dan gaya hidup kaum sufi dengan rahib Nasrani tidak serta merta menunjukkan bahwa tasawuf Islam berasal dari Kristen. Demikian juga adanya hubungan dan jalinan komunikasi yang terbangun antara para zahid Islam dan rahib Nasrani pun tidak mesti mengindikasikan masuknya budaya mistik Kristen dalam Islam. Meskipun keterpengaruhan dari Masehi khususnya di kawasan Iskandariah dan Antakiah itu tidak dapat diingkari, tetapi ini bukan berarti bahwa akar dan sumber ‘irfân itu berasal dari Masehi. Yang jelas, akar ‘irfân itu justru terdapat dalam sumber-sumber orisinil Islam seperti Alqurân dan Sunah.
Di samping itu, aliran tasawuf itu tidak sama persis dengan kehidupan rahbâniah kaum Masehi. Sebab, sebagian besar zâhid menikah dan mereka memiliki istri dan anak. Dan menurut Alqurân itu sendiri, kebiaraan yang dijalankan oleh kaum Masehi itu sebuah bid’ah dan tidak ada hubungannya dengan al Masih, seperti ditegaskan dalam Alqurân,“Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah (kebiaraan) padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya.”[7]
Bersambung….
[1]William C. Chittick, Tasawuf di Mata Kaum Sufi, (Mizan, 2002) hal. 20.
[2]Ali Amini Nejad, Osynoi Bo Majmu’eh ‘Irfân Islamiy (terbitan Muassasah Omuzesy wa Pozuhesy Imam Khomaini, Qom 1432 H), hal. 76.
[3] Dr. Sayid Ishaq Husaini Kohasari, Mabâni Tafsĭr ‘Irfâni, (terbitan Intisyarat Zair tahun 2010), hal. 77.
[4] Dr. Sayid Ishaq Husaini Kohasari, Mabâni Tafsĭr ‘Irfâni, hal. 77.
[5] Dr. Sayid Ishaq Husaini Kohasari, Mabâni Tafsĭr ‘Irfâni, hal. 78.
[6] Dr. Sayid Ishaq Husaini Kohasari, Mabâni Tafsĭr ‘Irfâni, hal. 78.
[7] QS 57: 27. Teks ayat tersebut sebagai berikut :
وَ رَهْبانِيَّةً ابْتَدَعُوها ما كَتَبْناها عَلَيْهِمْ