Assasinations Won’t Stop Iran Nuclear’s Program
Anisah Eka Nurfitria-Judul serupa yang ditulis di kanal berita online haaretz.com, harian milik Israel. Seorang analis bernama, Zvi Bar’el melalui tulisan tersebut menyatakan bahwa teror terhadap saintis Iran takkan membuat Iran bergeming dari program nuklirnya[1]. Terbaru adalah yang terjadi pada Hasan Sayyad Khodei, yang wafat di Tehran. Dalam tulisan tersebut dinyatakan bahwa beliau adalah wakil yang bertanggung jawab atas pengembangan teknologi dan peralatan perang di Pasukan Quds. Di antara tugasnya adalah transfer teknologi untuk meningkatkan akurasi roket Hizbullah, di samping transfer senjata dan bahan perang ke kelompok Hizbullah dan Palestina yang beroperasi di Lebanon. Situs web Ghadah Iran menambahkan bahwa Khodaei terlibat dalam pengembangan drone Iran , ia diduga berencana membunuh konsul Israel di Istanbul[2].
Peperangan dan ilmuwan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan dalam sejarah panjang pertikaian umat manusia. Ilmuwan sains khususnya adalah orang-orang di belakang layar sebuah pentas peperangan antar negara, mereka menciptakan senjata dan berbagai teknologi mutkhir lainnya yang digunakan para prajurit dalam melawan musuh. Sebut saja Albert Einstein, siapa yang tak mengenalnya ? Ilmuwan nyentrik yang terkenal hingga saat ini. Ia adalah seorang Jerman berdarah Yahudi, darah yang paling dibenci pemimpin Jerman saat itu, Hitler. Karena kondisi Jerman sudah tidak lagi menjadi tempat yang kondusif bagi orang-orang Yahudi, akhirnya Einstein memutuskan untuk lari dari sana. Ia memutuskan untuk pindah ke Amerika Serikat[3]. Hitler sendiri justru menjadikan Einstein sebagai buruan dan menghargai kepalanya senilai 80 juta rupiah, harga yang cukup fantastis kala itu. Tapi ada hal yang terlewat oleh Hitler, keputusannya memburu Einstein malah menjadi boomerang bagi posisi Jerman di Perang Dunia 2. Einstein pergi ke Amerika bersama rumus E=MC2 yang di kemudian hari dikenal sebagai rumus yang bisa menciptakan bom atom. Meski Einstein tidak terlibat langsung dalam proses pembuatan senjata pembunuh massal, namun dari teorinya itulah bom atom Hiroshima dan Nagasaki tercipta. Pasca tragedi itu Jepang mundur, dan menyebabkan terdesaknya posisi Jerman juga Italia. Juga rasa takut yang muncul jika sewaktu-waktu Amerika, Inggris dan Perancis menjatuhkan bom atomnya kembali di dataran negeri mereka.
Ilmuwan sains di mana pun ia berada adalah aset bangsa. Ide-ide mereka yang brilian jika tidak dimanfaatkan dengan baik justru akan menjadi boomerang yang sangat mematikan. Mereka bisa saja dimanfaatkan oleh negara demi kepentingan-kepentingan yang justru akan menyengsarakan orang. Berapa banyak ilmuwan tewas, berapa banyak juga ilmuwan yang dibungkam paksa karena dianggap membocorkan rahasia negara, seperti yang terjadi pada Vallery Legasov, saintis terkemuka Uni Soviet. Lantas bagaimana dengan ilmuwan-ilmuwan sains di Iran?
Iran adalah negara dengan sistem pemerintahan Islam. Dan merupakan negara yang cukup terpandang di dunia internasional karena keberaniannya dalam melawan hegemoni negara adidaya macam Amerika. Iran sendiri pada tahun 1957, yang saat itu masih dipimpin Shah Pahlevi meluncurkan program nuklir dengan Amerika dan melanjutkan pengembangannya pada tahun 1970. Kemudian program ini sempat terhenti di tahun 1979, saat rezim Pahlevi digulingkan Revolusi Islam. Revolusi Islam inilah yang membuat negara-negara barat ketar-ketir. Melakukan berbagai cara agar Iran menghentikan proyek nuklir mereka, padahal nuklir sendiri di Iran digunakan sebagai energi pembangkit tenaga listrik. Mereka menuduh Iran memproduksi senjata pembunuh massal dengan nuklirnya, namun di saat yang sama justru negara-negara yang tergabung sebagai anggota Dewan Keamanan PBB seperti Amerika, Inggris dan Perancis juga Rusia dan China juga memiliki senjata nuklir. Iran dan program nuklirnya menimbulkan polemik, akibat programnya tersebut Iran disanksi habis-habisan. Sanksi itu benar-benar melumpuhkan perekonomian Iran. Dan para ilmuwannya pun diteror. Terbaru seorang ilmuwan nuklir Iran bernama Mohsen Fakhrizadeh dibunuh pada hari Jum’at tanggal 27 November 2020. Ia menjadi martir setelah diberondong senapan mesin di sebuah jalan di Absard dekat kota Tehran. Sebelum beliau, dalam kurun waktu 10 tahun, empat orang ilmuwan nuklir Iran juga menjadi sasaran teror dan tewas mengenaskan dalam serangan brutal orang-orang yang mencoba menghalangi Iran dalam program nuklirnya.
- Syahid Masoud Alimohammadi
Adalah seorang profesor fisika di Universitas Tehran yang meregang nyawa tanggal 12 Januari 2010 karena teror bom yang diletakkan di sepeda motor dekat pintu rumahnya. Beliau lahir di Tehran pada tanggal 26 Agustus 1959, istrinya bernama Manshore Karami. Beliau dikarunia dua orang anak, seorang putra yang bernama Iman dan putri yang bernama Ilham. Beliau mendapakan ijazah S1nya di jurusan fisika pada tahun 1986 dari Universitas Shiraz dan kembali mendapatkan gelar masternya di tahun 1989 dari Universitas San’ati Sharif. Di Universitas San’ati Sharif jugalah pada tahun 1993 ia mendapatkan gelar master pada jurusan partikel dasar dan menjadi doktor fisika pertama yang belajar di dalam negeri sekaligus menjadi lulusan doktor fisika pertama di kampusnya. Beliau banyak menulis karya-karya ilmiah dan riset serta jurnal-jurnal yang dipublikasikan ke dunia internasional. Beliau juga pernah memenangkan penghargaan Internasional Khawarizmi Award berkat risetnya.
Syahid Masoud Alimohammadi dalam kacamata istrinya adalah sosok yang penyayang terhadap keluarga. Ia mengatakan bahwa ketika Syahid Alimohammadi melamar, ada tiga pria lain yang pekerjaannya lebih mapan datang juga untuk melamarnya, tapi Manshore lebih memilih beliau yang meskipun saat itu masih berstatus sebagai mahasiswa. Manshore juga bersaksi bahwa Syahid adalah seorang yang ulet dan bertanggung jawab, ia seorang yang berjiwa revolusioner dan banyak menghabiskan waktunya untuk belajar. Manshore ketika ditanya apa bentuk cinta yang ditunjukkan oleh Syahid kepadanya, ia berkata bahwa cinta Syahid ditampakkan dengan perbuatan-perbuatan sederhannya. Ketika musim panas tiba, mereka menghabiskan waktunya dengan berjalan-jalan kecil di dekat rumah untuk makan es krim. Di musim dingin, keluarganya selalu bercanda riang di halaman rumah mereka sambil saling melempar salju. Syahid Alimohammadi adalah seorang ayah yang penyayang dan sangat dekat dengan putrinya, Ilham. Ketika pulang kerja, hal pertama yang dilakukan sesampainya di rumah adalah menengok putrinya dan bercanda dengannya. Syahid Alimohamadi sebenarnya sudah memahami bahwa statusnya sebagai seorang ilmuwan nuklir justru mengundang ancaman dan bahaya bagi dirinya dan keluarganya. Manshore berkali-kali pula mengatakan pada Syahid bahwa ketika keluar dari rumah selalu saja ada yang mengawasi, terutama di gang menuju ke rumahnya. Ada seorang lelaki muda yang menatap rumahnya dengan tatapan jahat. Namun saat Manshore mengatakan pada suaminya, Syahid hanya berkata dengan lembut agar Manshore menghilangkan prasangkanya. Hingga akhirnya peristiwa itu pun terjadi, pria muda itulah mata-mata teroris yang menghilangkan nyawa suaminya, ia jugalah yang meletakkan sepeda motor jebakan yang berisi bom di depan rumahnya.
Ketika ditanya apa harapan Syahid Alimohammadi yang belum terwujud, Manshore menjawab bahwa impian Syahid adalah melihat putra-putrinya menikah dan memiliki cucu. Sayangnya hingga hari kesyahidannya, impian Syahid belum terwujud.
Dan ironisnya, pembunuhan dan teror terhadap ilmuwan Iran tenggelam begitu saja, dunia berusaha melupakannya dan menganggapnya sebagai hal yang biasa saja. Padahal pembunuhan ilmuwan adalah kejahatan kemanusiaan yang mencederai dunia keilmuan yang sudah seharusnya dikutuk dunia Internasional. Bersambung…
[1] https://www.haaretz.com/middle-east-news/iran/2022-05-24/ty-article/.premium/assassinations-wont-stop-irans-nuclear-program/00000180-f6bf-d18b-a787-f7ff512c0000
[2] ibid
[3] https://historyofyesterday.com/why-albert-einstein-moved-out-of-germany-b3fdc056a5d