Perkembangan Peradaban Islam Chapter. 1 “Benarkah Islam Pernah Jaya di Bidang IPTEK?”
Annisa Eka Nurfitria-Santer terdengar di telinga kita Islam pernah berada di puncak kejayaannya sebagai pusat Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), konon banyak ilmuan-ilmuan lahir dari Islam. Cerita kejayaan Islam itu juga diceritakan oleh Helmy Yahya dan Gita Wiryawan di akun Youtube nya. Menarasikan satu persatu ilmuan Islam diantaranya Al-Khawarizmi The Father of Algebra atau Bapak Algoritma. Dari penyampaianya tampak raut wajah kekaguman begitu mendalam kepada tokoh-tokoh Islam zaman itu, tetapi apakah benar Islam pernah mencapai puncak kejayaan IPTEK? Tulisan ini mencoba menyajikan beberapa fakta sejarah yang mungkin selama ini luput dari perhatian kita.
Jauh sebelum wilayah Persia diinvasi dan mengalamai islamisasi oleh kekhilafahan Islam, Persia sudah memiliki peradaban yang sangat maju di bawah kekuasaan Kekaisaran Sasaniyah (224-651 M). Wilayah kekuasannya mencakup seluruh Iran dan Irak saat ini, dan membentang dari Mediterania timur (termasuk Anatolia dan Mesir) ke beberapa bagian Pakistan serta beberapa dari bagian Arab selatan sampai ke Kaukasus dan Asia Tengah.
Periode Kekaisaran Sasaniyah dianggap sebagai titik tertinggi di bidang IPTEK dalam sejarah Iran. Tidak hanya itu, wilayah Persia juga maju di bidang arsitektur bangunan megah. Jauh sebelum Al Qur’an diturunkan di Arab, Persia telah memiliki lembaga pendidikan dan kebudayaan – Universitas Gundishapur – pusat IPTEK internasional, menawarkan pendidikan dan pelatihan di bidang kedokteran, filsafat, teologi dan sains. Pengaruh kemajuan IPTEK-nya meluas sampai Eropa Barat, Afrika, Tiongkok, dan India. Sampai budaya Persia menjadi dasar bagi sebagian besar budaya Islam, mempengaruhi seni, arsitektur, musik, sastra, dan filsafat di seluruh dunia Muslim. Menurut The Cambridge History of Iran, Universitas Gundishapur adalah pusat medis terpenting dunia kuno selama abad ke-6 dan ke-7.
Kekuasaan Kekaisaran Sasaniyah berakhir ketika pada tahun 633 hingga 645 M Kekhalifahan Islam menginvasi wilayah Persia yang kemudian menjadi tanda bahwa saat itu mustahil sebuah pemerintahan menginvasi sebuah wilayah yang miskin sumber daya dan terbelakang. Tak khayal tujuan invasi menguasai peradaban Persia dan menyebarluaskan agama Islam.
Kebangkitan Kekhalifahan Islam di Arab bertepatan dengan melemahnya kondisi politik, sosial, ekonomi, dan militer yang belum pernah terjadi sebelumnya di Persia. Peradaban super power di zamannya, tentu banyak menguras sumber daya demi mempertahankan kekuasaannya dari gangguan luar, Kekaisaran Sasaniyah menghabisakan sumber daya manusia dan material selama beberapa dekade berperang melawan Kekaisaran Bizantium. Diperparah kondisi politik dalam negeri memanas mengakibatkan perang saudara buntut eksekusi Raja Khosrow II pada 628 M.
Serangan pasukan Arab yang dipimpin Khalid Al Walid pertama kali dilakukan di wilayah Kekaisaran Sasaniyah yang berdekatan dengan wilayah Arab yaitu Mesopotamia (kira-kira sekitar wilayah Irak saat ini) yang merupakan pusat politik dan ekonomi Kekaisaran Sasaniyah. Kondisi dalam negeri melemah, Kekaisaran Sasaniyah kalah. Keberhasilan Khalifah Islam menaklukan Mesopotamia juga tidak terlepas dari peran Al-Muthanna ibn Haritha yang memiliki strategi perang memanfaatkan mobilitas kavaleri, ia dapat dengan mudah menyerang kota mana pun di dekat gurun dan tiba-tiba menghilang ke dalam pasir, mirip-mirip strategi ninja. Serangan mendadak, menjarah harta, lalu menghilang. Kelihaian al-Muthanna ini membuat Khalifah Abu Bakar berpikir untuk memperluasan Kekaisaran Rashidun.
Memastikan kemenangan pasukan Muslim, menurut catatan sejarah, Khalid Al Walid berhasil mengumpulkan 18.000 pasukan grilya menuju Selatan Sasaniyah. Setibanya di wilayah Selatan Sasaniyah, Khalid Al Walid mengirim pesan kepada pemerintah Kekaisaran Sasaniyah, “In the Name of God, the Most Compassionate and Merciful. Khalid ibn Walid sends this message to the satraps of Persia. Peace will be upon him who follows the guidance. All praise and thanks be to God who disperses your power and thwarted your deceitful plots. On the one hand, he who performs our prayers facing the direction of our Qiblah to face the sacred Mosque in Mekkah and eats our slaughtered animals is a Muslim. He has the same rights and duties that we have. On the other hand, if you do not want to embrace Islam, then as soon as you receive this message, send over the jizya and I give you my word that I will respect and honor this covenant. But if you do not agree to either choice, then, by God, I will send to you people who crave death as much as you crave life.”⁽¹⁾ Khalid tidak menerima tanggapan apa pun dan melanjutkan rencana taktisnya.
Singkat cerita, pasukan Arab memenangkan petempuran, Kekaisaran Sasaniyah berakhir dan wilayah Persia termasuk karya arsitektur, gedung, perpustakaan, universitas, juga segala produk budaya Persia pindah di bawah kekuasaan Kekaisaran Rashidun yang dipimpin Abu Bakar. Proses islamisasi Persia pun dimulai, meskipun awalnya ditolak, secara bertahap Islam perlahan mulai diterima, masyarakat Persia tetap mempertahankan tradisi pra-Islam, termasuk bahasa dan budaya mereka yang diadaptasi dengan ajaran Islam, meskipun meraka mengalami pemaksaan berbahasa Arab. Keduanya mengalami proses alkulturasi membentuk identitas Islam Persia.
Fakta sejarah di atas memberikan gambaran pada kita bahwa zaman keemasan yang selalu dibanggakan oleh umat Islam saat ini ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan. Pemerintahan Islam di masa itu hanya kecipratan citra kemajuan peradaban IPTEK, faktanya Kekaisaran Rashidun berhasil menginvasi wilayah Persia yang notabenenya maju di bidang IPTEK. Fakta sejarah ini juga menjawab kenapa zaman keemasan Islam – yang selalu dibangga-banggakan itu – memiliki serjana-serjana yang tersebar dari wilayah Persia? bukan dari Mekkah atau Madina tempat awal Islam diturunkan.
Sumber :
https://en.wikipedia.org/wiki/Sasanian_Empire
https://en.wikipedia.org/wiki/Muslim_conquest_of_Persia
⁽¹⁾ Khalid. Men Around the Messenger. Al Manar. p. 234.