Awas, Anda Jangan Gagal Memahami Nabi SAW!
(sumber image:http://www.manaratweb.com)
Selain ma’rifatullah (pemahaman tentang tauhid), ma’rifatunnabi (pemahaman tentang Nabi saw) adalah pengetahuan yang tidak gampang diraih. Alasan sederhana yang dapat disampaikan di balik kegagalan banyak orang memahami tentang Nabi saw adalah sebagaimana Zat Allah Yang Mahasempurna tidak mampu dijelaskan kecuali oleh yang sempurna maka Nabi saw yang merupakan insan kamil (manusia sempurna) pun tidak bisa dijamah (baca: diuraikan) kecuali oleh orang yang sempurna. Ada ungkapan “la ya’rifu al-wali illa al-wali” (tidak ada yang mengetahui wali kecuali wali juga). Bila ungkapan ini benar maka benar pula perkataan ““la ya’rifu an-nabi illa an-nabi” (tidak mengetahui nabi kecuali ia nabi pula). Tentu pengetahuan yang dimaksud di sini adalah pengetahuan pada level tertinggi dan yang semestinya, sebab setiap orang sudah barang tentu akan mampu memahami Nabi saw sesuai dengan kapasitas masing-masing, namun puncak pengetahuan tentang kenabian hanya dipahami oleh al-kummal (insan-insan kamil).
Allah SWT mudah untuk dipahami dan dikenali. Allah memerintahkan manusia untuk beribadah kepada-Nya dan ibadah ini harus dilakukan dengan makrifat. Kalau pengenalan Allah itu sulit dan mustahil maka Allah tidak akan pernah memerintahkan manusia beribadah karena ibadah harus dibangun dengan ma’rifatullah. Dengan demikian, ma’rifatullah itu mudah, hanya saja memiliki banyak jenjang/tingkatan sesuai dengan kadar keilmuaan dan ketakwaan seseorang. Di sini perlu digarisbawahi bahwa puncak ma’rifatullah tidak dimiliki banyak orang, sehingga hanya para malaikat, anbiya (para nabi) dan auliya (kekasih-kekasih Allah) yang mampu menunaikan haqqu tanzih (penyucian dan takzim) kepada maqam rububiyyah (kedudukan ketuhanan), sedangkan umumnya manusia dalam pengenalan dan ibadahnya masih terkontaminasi dengan syirik khofiyy (syirik tersembunyi).
Rasulullah saw mudah untuk dipahami dan dikenali. Allah memerintahkan manusia untuk meneladani Rasul-Nya. Kalau pemahaman dan pengenalan Rasulullah itu sulit dan mustahil maka Allah tidak akan pernah memerintahkan manusia untuk mengikuti dan meneladaninya. Dengan demikian, ma’rifatunnabi itu mudah, hanya saja memiliki banyak jenjang/tingkatan sesuai dengan kadar keilmuaan dan ketakwaan seseorang. Di sini perlu digarisbawahi bahwa puncak ma’rifatun nabi tidak dimiliki banyak orang, sehingga hanya anbiya (para nabi) dan auliya (kekasih-kekasih Allah) yang mampu memahami Nabi saw haqqul ma’rifah (pengetahuan yang semestinya), sedangkan umumnya manusia begitu dangkal pemahamannya tentang Nabi saw dan tidak jarang dari mereka hanya melihat beliau dari aspek basyariah (kekulitan/kemanusian) dan gagal menemukan aspek Ilahiah-samawiyah (sisi ketuhanan dan kelangitan) pada diri beliau.
Al-Qur’an mengingatkan supaya kaum Muslimin memberi perhatian khusus terhadap perintah Nabi saw dan tidak menganggap enteng/remeh setiap urusan/ajakan dari beliau seperti yang disebutkan dalam ayat di bawah ini:
لا تَجْعَلُوا دُعاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضاً
Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian yang lain. (QS. An-Nur, ayat 63).
Terkait dengan ayat tersebut, ada dua penafsiran: pertama, wahai kaum Muslimin, jangan kalian pandang perintah/urusan Nabi saw sebagaimana urusan/perintah yang biasa terjadi di antara sesama kalian. Kalian harus mengganggap penting dan serius setiap perintah dan ajakan Nabi saw karena perintah Nabi saw sama dengan perintah Allah dan tidak dibenarkan kalian menyepelekannya. Penafsiran kedua, yang dimaksud ayat tersebut adalah saat kalian memanggil Nabi saw,maka panggilah beliau dengan penuh adab dan sopan yang sesuai dengan maqam dan kedudukannya, dan jangan pernah memanggil-manggil beliau seperti kalian memanggil salah seorang di antara kalian. Sebab, ada sebagian yang tidak mengenal adab Islami lalu datang kepada beliau dengan memanggil: Hai Muhammad..hai Muhammad! Panggilan semacam ini tidak sesuai dengan kedudukan beliau sebagai pemimpin besar Islam. Jadi, pangillah beliau dengan panggilan yang terhormat seperti ya Rasulullah, ya Nabiyallah dengan suara santun.
Turunnya ayat tersebut—apapun penafsirannya (baik tafsiran yang pertama maupun kedua)—menunjukkan bahwa ada kaum Muslimin yang belum memahami hakikat maqam Nabi saw sehingga mereka memperlakukan beliau seperti manusia biasa dan bahkan terkadang bersikap kurang sopan terhadap Rasul saw. Sikap memandang Nabi saw sebagai manusia biasa ini mungkin karena mereka terbiasa melihat beliau tumbuh dan berkembang di tengah mereka, berjalan di pasar, menikah, makan-minum dan tidur umumnya manusia biasa. Mereka tidak pernah bisa memahami koneksi langit yang dibangun oleh Nabi saw dan maqam spiritual beliau.
Meskipun Nabi saw diperintahkan untuk menegaskan bahwa dirinya adalah manusia namun dijelaskan juga bahwa beliau menerima wahyu sebagaimana ayat:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku. (QS. Al Kahfi, ayat 110).
Maqam menerima wahyu atau kenabian ini yang sering dilupakan banyak orang sehingga kadang-kadang beliau diperlakukan sebagaimana manusia biasa. Maqam ini adalah salah satu maqam tertinggi Rasul saw sehingga pengalaman saat menerima wahyu ini tak bisa dijelaskan karena tidak akan pernah bisa dipahami kecuali oleh yang bersangkutan yang dalam hal ini adalah Rasulullah saw sendiri. Oleh karena ini, ungkapan yang digunakan oleh Al-Qur’an dalam hal ini ialah:
فَأَوْحَىٰ إِلَىٰ عَبْدِهِ مَا أَوْحَىٰ
Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. (QS. An Najm: 10).
Redaksi “ma auha” mengisyaratkan misteri dan rahasia yang tak bisa dikuak oleh umumnya manusia. Di sini menunjukkan keagungan maqam spiritual Nabi saw dan bahwa beliau memiliki waktu dan maqam khusus bersama Allah yang tidak pernah didapatkan oleh nabi dan wali sebelum beliau. Dan hanya beliau yang mencapai al-muntaha (puncak kedekatan/keharmonisan dengan Allah SWT).