Pentingnya Kesadaran
Pentingnya Kesadaran
Insaniyah sebagai hakikat manusia bermula dari titik keluar dari garis kelalaian ke tahap kesadaran. Ialah kesadaran memiliki sebuah perjalanan. Lalu di hadapan manusia terdapat berbagai macam jalan. Jalan mana yang benar di antaranya harus ia tentukan untuk ia tempuh.
Ia takkan sampai pada hakikat itu selama masih berkutat di dalam ruang kelalaian, bahkan langkahnya semakin jauh dalam kemunduran sampai batas lebih rendah dari binatang. Keadaan lalai ini berakibat:
1-Melalaikan akhirat; يَعْلَمُونَ ظاهِراً مِنَ الْحَياةِ الدُّنْيا وَ هُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غافِلُونَ; “Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia ini; sedang mereka lalai tentang (kehidupan) akhirat.” (QS: ar-Rum 7).
2-Kebodohan, ragu-ragu dan buta tentang akhirat; بَلِ ادَّارَكَ عِلْمُهُمْ فِي الْآخِرَةِ بَلْ هُمْ في شَكٍّ مِنْها بَلْ هُمْ مِنْها عَمُونَ; “Sebenarnya pengetahuan mereka (musyrikin) tentang akhirat tidak sampai (ke sana), malahan mereka ragu-ragu tentang akhirat itu, lebih-lebih lagi mereka buta berkenaan dengannya. (QS: an-Nam 66).
Dalam konteks kesadaran sebagai awal langkah hakikat tersebut, tugas Nabi saw yang disifati oleh Alquran dengan mudzakkir (yang menyadarkan), sebagaimana para nabi as sebelumnya ialah mengeluarkan umat manusia dari kelalaian itu. Mengembalikan mereka kepada insaniyah dan menjelaskan kepada mereka hakikat-hakikat yang ada agar mereka berpaling kepadanya.
Rasulullah saw mengingatkan mereka adanya Allah dan hari perhitungan amal serta keharusan melaksanakan perintah-perintah-Nya. Hakikat ini meski kukuh secara real dan fitrah, tak disadari oleh orang-orang yang hanyut dalam kesenangan-kesenangan. Mengapa? Karena mereka telah dikuasai faktor-faktor ghariziyah (kecenderungan hewani) sehingga lalai darinya.
Dapat dikatakan bahwa munafiqin tergolong kaum tersebut. Mereka melihat diri mereka berada dalam situasi perdebatan antara dua kelompok yang saling berseteru, yaitu kaum yang beriman dan kaum yang kafir. Masing-masing kelompok mengklaim pendapat, keyakinan dan ajarannya adalah benar. Masa bodoh bagi mereka pembicaraan dua kelompok itu, tak peduli benar atau tidak perkataan dan jalan serta tujuan keduanya. Ketertarikan munafik hanya pada hal yang memberi harapan dan menguntungkan kepentingannya. Oleh karena itu, mereka kadang berpaling kepada kelompok yang satu dan kadang pula kepada kelompok yang lain.
Lantaran tak punya motifasi untuk mengetahui jalan yang benar dan membedakan mana yang hak dan yang batil, orang munafik tidak memiliki pendirian dalam menetapkan jalan bagi dirinya sendiri. Sebagaimana disifati Alquran: مُذَبْذَبينَ بَيْنَ ذلِكَ لا إِلى هؤُلاءِ وَلا إِلى هؤُلاءِ; “Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir): tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir).. (QS: an-Nisa 143)
Lemahnya Iman
Allamah Misbah Yazdi mengatakan: Kemunafikan itu berkelas-kelas. Kelas yang rendah bahwa terdapat di sebagian orang yang beriman, ketika terlontar perkara-perkara yang diperselisihkan, mereka tak begitu peduli dengan mana yang haq dan yang batil. Yang terpenting bagi mereka ialah kehidupan material mereka terjamin Banyak orang tidak memiliki motifasi yang kuat terhadap kebenaran. Terkadang ada usaha untuk mengetahui kebenaran, tetapi pengkajian mereka tidak sampai pada tahap yang lebih cermat.
Dapat disimpulkan dari atas bahwa hendaklah kita melakukan dua hal:
Pertama, menghidupkan spirit pengkajian kebenaran dalam diri dan keluar dari kelalaian.
Kedua, berusaha membesarkan spirit itu di jalan menuju kesempurnaan.
Dengan demikian pengetahuan mana yang benar dan apa yang harus diperbuat, harus dicapai. Juga atas dasar parameter rasional atau tekstual yang manakah seseorang memilih jalan tertentu baginya? Menjadi tak beda dengan binatang jika tolok ukur apa yang dia usahakan adalah kepentingan material dan kesenangan yang cepat berlalu.
Atau tak jauh dari kebinatangan itu, karena adanya iman yang lemah seperti pada sebagian orang munafik. Mereka bukan tidak memiliki iman sama sekali, melainkan iman mereka itu lemah. Mereka menjadi orang-orang yang beriman mana kala dalam kelapangan, lalu berbalik kufur ketika diwajibkan jihad atau infak, karena tidak sejalan dengan hasrat mereka. Jadi, kemunafikan itu bertingkat-tingkat, mulai dari level yang berat sampai level yang ringan. Karena itu, kita musti memohon perlindungan kepada Allah dari semua kemunafikan.
Kenyataan tersebut diangkat dari firman Allah:
وَما يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللهِ إِلاَّ وَ هُمْ مُشْرِكُونَ; “Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS: Yusuf 104).
Kenyataan lainnya yang berlawanan ialah bahwa di antara umat manusia terdapat pribadi-pribadi suci yang memenuhi seruan fitrah. Yaitu para rasul dan nabi serta imam suci yang dengan penyadaran mengeluarkan umat manusia dari kelalaian, dan dengan seruan tauhid serta menuju kebenaran.
Referensi:
Al-Akhlaq fi al-Quran (1)/Allamah Syaikh Misbah Yazdi