Benarkah Indonesia Akan Menjadi Pusat Peradaban Islam Dunia?
Annisa Eka Nurfitria-Kebangkitan “ekstremisme Islam” di Prancis, kemunculan kembali Taliban di Afghanistan, dan baru-baru ini pergeseran ke arah politik Islamis —upaya politik untuk menegakkan interpretasi ortodoksi Islam pada masyarakat—di Turki telah menghidupkan kembali perdebatan tentang hubungan Islam dengan demokrasi dan kebebasan. Presiden Prancis Emmanuel Macron ingin membangun “sebuah Islam di Prancis yang kompatibel dengan Pencerahan.” Taliban, di saat bersamaan, telah memperjelas bahwa tidak ada dasar bagi sistem demokrasi dalam Islam, dengan hukum syariah yang mutlak; di Afghanistan, hanya akan ada “hukum Syariah dan hanya itu.” Baik desakan Macron untuk menciptakan “Islam yang tercerahkan” maupun ketegasan Taliban dalam menerapkan syariah tidak menawarkan solusi yang bisa diterapkan. Berbanding terbalik dengan pendekatan tunggal di Indonesia, negara mayoritas Muslim terbesar dan demokrasi —paling tidak—di dunia, memberi kita contoh bagaimana Islam, memang kompatibel dengan pemerintahan perwakilan dan kebebasan dan mampu berdamai dengan budaya lokal.
Jumlah penduduk Indonesia adalah 255 juta, 87,2% di antaranya beragama Islam. Negara ini menjadi pusat perhatian setelah transisi yang sukses menuju demokrasi dalam menghadapi politik Islam di seluruh dunia Muslim. Menurut Freedom House, Indonesia sedang menikmati “pluralisme yang signifikan dalam politik dan media dan mengalami banyak transfer kekuasaan yang damai antar partai” setelah jatuhnya rezim otoriter pada tahun 1998. Keberhasilan transisi Indonesia mengarah pada pertanyaan, Bagaimana Indonesia bisa berdamai dengan Islam?
Peran dua organisasi masyarakat Muslim, Muhammadiyah (perkiraan 1912), dengan lebih dari 25 juta anggota, dan Nahdlatul Ulama (perkiraan 1926), dengan lebih dari 90 juta anggota, dianggap sangat penting dalam mendamaikan Islam dengan demokrasi. Kedua organisasi ini dikenal sebagai asosiasi sipil “meningkatkan kualitas demokrasi dan pluralisme”. Para pemimpin dan anggota organisasi-organisasi ini tetap berkomitmen pada demokrasi konstitusional dan pluralisme sipil, yang telah mengarah pada apa yang disebut Robert Hefner sebagai Civil Islam.
Hefner berpendapat bahwa Civil Islam didasarkan pada tiga prinsip besar: pertama, bahwa demokrasi tidak memerlukan pemisahan total antara lembaga agama dan otoritas negara; kedua, bahwa Civil Islam memberikan keterbukaan kolaborasi antara negara dan masyarakat, dan secara bersamaan menghambat gerakan Islamis maupun sekularis; dan ketiga, bahwa nilai inti dari Civil Islam adalah gagasan bahwa demokrasi pada dasarnya bukan Barat atau liberal, melainkan “instrumen modern dan trans-peradaban” untuk menegosiasikan “perbedaan sosial di dunia dengan komunitas dan kepentingan yang beragam.” Pendekatan pemahaman Islam seperti itu memposisikan agama sebagai jalan menuju kesempurnaan spiritual, bukan sebagai ideologi supremasi atau kendaraan penaklukan dunia.
Pertanyaan lain yang diajukan oleh gagasan Islam pluralistik adalah bagaimana gagasan Civil Islam diciptakan dan dibina dalam masyarakat Indonesia? Literatur yang tersedia menunjukkan bahwa para pemimpin Nahdlatul Ulama (NU) mulai memproduksi “ilmu inti” yang berfokus pada etika Islam dan demokrasi pluralis. Reformasi yang berakar pada gerakan mahasiswa ini berkembang dan meningkat pada 1990-an selama transformasi sosial-politik besar-besaran di Indonesia. Mayoritas pemikir dan politisi Muslim Indonesia dari tahun 1990-an dan seterusnya mempromosikan interpretasi Islam yang dimaksudkan untuk menggabungkan nilai-nilai dan praktik intinya dengan norma-norma modern dan demokratis seperti kewarganegaraan yang tidak dibedakan secara agama.
Pada tahun 2004, Abdurrahman Wahid, mantan presiden dan ketua NU, mendirikan The Wahid Institute, untuk mempromosikan Civil Islam. Demikian pula, Yahya Cholil Staquf, Ketua Dewan Pengurus Nahdlatul Ulama, mendirikan Bayt ar-Rahmah li ad-Da’wa al-Islamiyah Rahmatan li al-‘Alamin (Rumah Kasih Sayang untuk Dakwah Islam sebagai Berkah Bagi Semesta Alam) pada tahun 2014 dan Institute for Humanitarian Islam and Center for Shared Civilization Values pada tahun 2021 untuk menyebarkan gagasan bahwa Islam adalah untuk semua orang. Pendeknya, Civil Islam Indonesia menentang penafsiran Islam ortodoks tentang khilafah global, hukum penistaan agama, dan penggunaan istilah kafir bagi non-Muslim dalam konteks kehidupan bernegara, karena baik Muslim maupun non-Muslim memiliki hak yang sama. di bawah konstitusi Indonesia. Ini lebih lanjut menganjurkan ide-ide seperti lebih banyak pendidikan bagi perempuan dan penggabungan ilmu pengetahuan, sejarah, dan disiplin sekuler lainnya ke dalam sekolah-sekolah Islam.
Implikasi yang langgeng dari reformasi tersebut dapat diukur dengan fakta bahwa pada tahun 1955 partai-partai keagamaan dengan tujuan mendirikan negara Islam memenangkan lebih dari 40% dari total suara di Indonesia. Namun, dalam pemilu yang diadakan sejak 1999, partai-partai agama dengan agenda menerapkan syariah hanya bisa merebut 20% suara atau kurang. Pilkada 2019 menunjukkan keberlanjutan tren ini.
Terlepas dari progresifitas Civil Islam Indonesia, negara ini memiliki ketentuan penistaan yang kontroversial—Pasal 156a KUHP yang diwarisi Belanda, yang mengkriminalisasi ekspresi “permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap” suatu kelompok agama dan “interpretasi menyimpang” dari ajaran agama. Indonesia juga baru-baru ini menyaksikan kebangkitan politik Islam. Pada 2016, aksi unjuk rasa “Membela Islam” melawan mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dihadiri lebih dari satu juta orang. Unjuk rasa ini diselenggarakan bersama oleh beberapa kelompok, antara lain Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Namun, pada tahun 2009, Abdurrahman Wahid mendesak negaranya untuk mencabut Pasal 156a, dengan mengatakan “Tuhan tidak membutuhkan pembelaan.” Dengan kata lain, terlepas dari tantangan yang ditimbulkan oleh organisasi Islam lokal dan transnasional, Civil Islam di Indonesia tetap berpegang pada prinsip inklusivitas, kebebasan, dan toleransi.
Beberapa cendekiawan Muslim telah mengajukan alasan untuk “teori demokrasi bagi masyarakat Muslim”, dan keberhasilan demokratisasi di Indonesia semakin memperkuat proyek mereka. Namun, masih ada beberapa pertanyaan tentang kelangsungan hidup dan implikasi jangka panjang dari Civil Islam Indonesia dalam budaya asing.
Pertama, dari sudut pandang teori demokrasi, interpretasi inklusif Indonesia terhadap Islam muncul secara organik dari masyarakat. Tidak pernah ada satu orang kuat dengan pemahaman tunggal tentang Islam yang mempengaruhi perubahan. Sebaliknya, Civil Islam Indonesia selalu tentang intelektual publik, komunitas, dan partisipasi rakyat dalam pemerintahan. Dengan kata lain, organisasi sipil Muslim terbesar di Indonesia bukanlah senjata institusional seperti banyak kelompok Islam lainnya di seluruh dunia Muslim, karena tidak mencoba memaksakan interpretasi agama ortodoks pada masyarakat.
Kedua, kehadiran atau partisipasi organisasi-organisasi sipil dalam masyarakat mana pun tidak serta merta mengarah pada demokratisasi. Organisasi-organisasi semacam itu—dan orang-orang yang menjalankannya—harus didasarkan pada prinsip-prinsip kesetaraan dan kebebasan. Misalnya, prinsip dasar Al-Quran tentang kebebasan bahwa “tidak ada paksaan dalam agama” (2:256) telah menjadi inti dari evolusi demokrasi Indonesia.
Civil Islam dapat menjadi model bagi dunia Muslim bukan sebagai doktrin politik tetapi sebagai kerangka alternatif untuk interpretasi Islam yang inklusif. Sebagai kekuatan moral dan spiritual, ia tidak mencela modal budaya masyarakat lokal; sebaliknya, ia memberikan rekonsiliasi budaya lokal dengan realitas global. Rekonsiliasi ini penting; seperti yang ditunjukkan oleh kasus Afghanistan dan Turki, setiap upaya Islamis untuk melucuti budaya lokal mengarah pada krisis identitas yang serius dan demokrasi menderita dalam jangka panjang.
Akhirnya, seperti di Indonesia, proyek memperkenalkan Civil Islam ke dunia Muslim yang lebih besar harus dilakukan oleh masyarakat sipil lokal dan intelektual publik untuk evolusi dan pengembangan wacana pemahaman agama yang pluralistik. Untuk itu harus ada interaksi yang berkesinambungan dan ekstensif antara masyarakat Indonesia dengan mereka yang ingin mengimpor paradigma Civil Islam. Harus ada konferensi, magang dan lokakarya, seminar, dan program studi mahasiswa di luar negeri untuk mempromosikan pertukaran ide secara bebas. Kaum muda Muslim meninggalkan Islam karena ortodoksi agama yang berlaku di negara-negara seperti Turki. Sebagai seorang Muslim, saya percaya Civil Islam Indonesia dapat membantu meyakinkan kaum muda Muslim tentang kompatibilitas kebebasan dan agama mereka, yang hanya akan memperkuat Islam di seluruh dunia.