Benarkah Nabi Musa as Seorang Nabi Penakut?
وَأَلْقِ عَصَاكَ فَلَمَّا رَآهَا تَهْتَزُّ كَأَنَّهَا جَانٌّ وَلَّى مُدْبِرًا وَلَمْ يُعَقِّبْ يَا مُوسَى لَا تَخَفْ إِنِّي لَا يَخَافُ لَدَيَّ الْمُرْسَلُونَ
Dan lemparkanlah tongkatmu”. Maka tatkala (tongkat itu menjadi ular dan) Musa melihatnya bergerak-gerak seperti seekor ular yang gesit, larilah ia berbalik ke belakang tanpa menoleh. “Hai Musa, janganlah kamu takut. Sesungguhnya orang yang dijadikan rasul, tidak takut di hadapan-Ku.(QS. al-Naml [27]:10).
Apa yang ditakuti Nabi Musa as? Jika ia takut akan besarnya ular yang gesit tersebut, wajarkah itu? Tidakkah dia seorang Nabi? Apakah Nabi memiliki sifat-sifat manusia biasa seperti rasa takut dan yang lain?.
Melihat dhahir dari ayat tersebut hal yang ditakutkan oleh Musa as adalah perubahan tongkatnya menjadi seekor ular yang bergerak dengan gesitnya. Lari tersebut bukan karena hal lain tapi muncul dari rasa takut, sebagaimana Allah berfirman:
يَا مُوسَى لَا تَخَفْ إِنِّي لَا يَخَافُ لَدَيَّ الْمُرْسَلُونَ
“Hai Musa, janganlah kamu takut. Sesungguhnya orang yang dijadikan rasul, tidak takut di hadapan-Ku.
Ketakutan yang dialami oleh Nabi Musa as adalah bentuk ketakutan yang sesuai dengan tabiat manusia ketika dikagetkan dengan sesuatu yang membahayakan terlebih lagi jika tidak memiliki cara tepat untuk melawannya.
Ketakutan yang dialami Nabi Musa as, sama sekali tidaklah mengurangi kemuliaan dan kedudukannya, karena hal demikian bukanlah sebuah gambaran dari jiwa pengecut. Sesungguhnya kepanikan yang dialami oleh orang yang pengecut tidak akan hilang dengan hilangnya unsur yang mengagetkan itu, sebagaimana orang pengecut itu mengalami kepanikan pada kondisi-kondisi yang sama sekali sebenarnya tidak berdasar.
Orang pengecut akan melarikan diri dari bahaya-bahaya meski sebenarnya ia mampu untuk melawannya atau pada kondisi di mana akal dan tugasnya tidak mengharuskannya untuk melarikan diri.
Sementara upaya lari yang terjadi pada Nabi Musa bukan sebuah tindakan pengecut. Akan tetapi itu itu sebuah reaksi alami manusia ketika ia dikagetkan oleh sesuatu yang tidak disangka-sangka. Bukti hal ini adalah sesungguhnya Musa hanya dengan ditenangkan oleh Allah swt dan diseru untuk menghadap kepada-Nya, beliau langsung bergegas dan melaksanakan tugas dengan mengambil tongkat yang telah berubah menjadi seekor ular. Tentunya, hal yang demikian tidak akan muncul dari orang yang pengecut.
Lalu pertanyaan selanjutnya tidakkah mereka selalu berada dalam pengawasan Allah? Lalu mengapa masih demikian? Tidakkah Allah swt telah berfirman:
إِنِّي لَا يَخَافُ لَدَيَّ الْمُرْسَلُونَ
Sesungguhnya orang yang dijadikan rasul, tidak takut di hadapan-Ku.
Secara lahiriah sesungguhnya ayat tersebut tidak dalam rangka menafikan segala bentuk ketakutan secara mutlak dari para rasul, dan itu dikarenakan adanya sebuah petunjuk yaitu pembatasan penafian di dalam ayat tersebut dengan firman-Nya “Ladayya” yang artinya saat diahadpan-Ku.
Ada dua kemungkinan makna dari pembatasan penafian tersebut:
Pertama: sesungguhnya ketakutan yang dinafikan dari para nabi adalah ketakutan dari azab / bencana dari Allah Swt; mereka tidak pernah takut dari bencana yang Allah turunkan, karena mereka jauh dari segala kejelekan yang mendatangkan bencana.
Sementara dikarenakan Musa as benar-benar mengetahui bahwa apa yang dia saksikan dari berubahnya sebuah tongkat menjadi ular tidak lain merupakan ciptaan dan pekerjaan Allah Swt. Dia pula yang memerintahkan dirinya untuk melempar tongkat tersebut. Dan sebelum itu Dia telah memerintahkannya agar melepas kedua alas kakinya saat berada di lembah yang disucikan dan memberitahunya bahwa Dia adalah Allah Tuhan semesta alam, maka tidaklah Musa menjadi takut dikarenakan berubahnya tongkat tersebut menjadi seekor ular dan seakan-akan ia takut akan keburukan yang Allah ciptakan untuknya.
Berdasarkan pada kemungkinan di atas maka makna ayat tersebut adalah sesungguhnya para Rasul tidaklah takut kalau Allah akan mencelakakan mereka atau menyiksa mereka. Ayat di atas pada saat menceritakan tentang kenyataan para rasul juga mengandung adanya jaminan keamanan bagi Musa as, juga dikarenakan nantinya dia akan menjadi bagian dari para rasul tersebut, maka dengan demikian haruslah ia menjadi tenang dan sama sekali tidak takut dari segala bentuk celaka yang Allah menjerumuskannya di dalamnya, dan juga dikarenakan tabiat semacam itu atau keadaan berupa ketenangan tersebut bukanlah bersifat dzati bagi para nabi dan rasul, melainkan tabiat tersebut didapat melalui pembelajaran dari Allah serta ilham-Nya, oleh karenanya ajakan bicara ilahi tersebut dalam rangka memberikan ketenangan di dalam rasa takut yang dialami oleh Musa as akan tipu daya dan siksa Allah, sehingga ia berhak dengan hal tersebut untuk menduduki posisi dan kedudukan yang dimiliki para nabi dan rasul yaitu adanya ketenangan bahwa Allah swt tidak akan mencelakakan dirinya.
Sesungguhnya yang menguatkan bahwa ayat di atas hendak bertujuan untuk memberikan ketenangan bagi Musa ditambah lagi keterangan akan adanya sebuah kenyataan yang ada pada para nabi yang telah termuat di dalam surat al-Naml tersebut adalah firman Allah:
… يَا مُوسَى أَقْبِلْ وَلَا تَخَفْ إِنَّكَ مِنَ الْآمِنِينَ
Hai Musa datanglah kepada-Ku dan janganlah kamu takut. sesungguhnya kamu Termasuk orang-orang yang aman. (QS.al-Qashash [28]:31)
Kedua : Sesungguhnya ketakutan yang ditiadakan dari para nabi adalah pada saat mereka di hadapan Allah dan sedang menerima wahyu dari-Nya. Pada saat itu mereka sama sekali tidak takut, dan dikarenakan Musa as saat itu sedang ada di hadapan Allah pada saat Dia mengajaknya bicara dan menyampaikan wahyu kepadanya maka atas dasar itu maka hendaknya dia tidak lari karena ketakutan ketika dia menyaksikan berubahnya tongkat menjadi sebuah ular yang bergerak seakan-akan itu sebuah ular yang gesit.
Hanya saja yang menjadi sebab larinya adalah sesungguhnya ketenangan penuh yang dimiliki para rasul ketika Allah mengajak mereka berdialog secara langsung tidaklah bersifat dzati, melainkan itu merupakan sesuatu yang didapat melalui pembelajaran dari Allah serta adanya ilham dari-Nya. Maka dari itu, dialog ilahi tersebut dating dalam rangka menganugerahkan kepadanya tabiat tersebut.
Alhasil, baik kita melihat pada makna yang pertama dari ayat di atas atau melihat pada makna yang kedua maka sesungguhnya di dalam ayat tersebut tidak ada petunjuk di dalam penafian rasa takut yang mutlak dari para nabi as.
Iya, ketakutan yang tidak boleh secara mutlak bagi para nabi adalah ketakutan yang berupa kegelisahan hati yang timbul akibat menganggap besar bahaya-bahaya yang bersifat duniawi sehingga menyebabkan tidak adanya keberanian untuk melawan dan menghadapi sesuatu yang ditakutkan menurut kebanyakan orang.
Allah Swt berfirman:
…الَّذِينَ يُبَلِّغُونَ رِسَالَاتِ اللَّهِ وَيَخْشَوْنَهُ وَلَا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ…
(yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang(pun) selain kepada Allah…(QS.al-Ahzab [33]:39.)
Sementara ketakutan yang memiliki arti waspada dan memegang faktor-faktor untuk menjaga diri dari keterjerumusan di dalam bahaya-bahaya maka yang demikian itu bukanlah dianggap sebuah kekurangan sehingga para nabi harus tersucikan darinya,
Iya, waspada yang tidak berdasar tidak tersifati dengannya para nabi karena kondisi semacam itu bukanlah sebuah ketakutan melainkan itu adalah sebuah ketakutan (pengecut) dan itu adalah hal yang dianggap jelek.
Disebutkan di dalam beberapa riwayat dari Rasulullah Saw dan Ahlulbayt as yang menerangkan akan baiknya waspada yaitu rasa takut yang diperbolehkan muncul dari para nabi.
Salah satu dari riwayat tersebut terdapat dalam kitab al-Tauhid karya Syekh Shaduq yang sanadnya dari Asbagh Ibn Nubatah. Dia mengatakan: Sesungguhnya Amirul Mukminin as berpindah dari sebuah dinding yang miring ke dinding yang lain, maka beliau ditanya: wahai Amirul Mukminin apakah kamu hendak lari dari qadha’ Allah? Beliau menjawab: aku lari dari qadha’ Allah menuju pada qadar (takdir) Allah swt.