Telaah Singkat Man Laa Yahdhuruh Al-Faqih Syeikh Shaduq (Bag. 2)
Man Laa Yahdhuruh Al-Faqih
1- Man Laa Yahdhuruh Al-Faqih Menurut Ulama
2- Kelebihan Kitab Man Laa Yahdhuruh Al-Faqih
3- Kekurangan Kitab Man Laa Yahdluruh Al-Faqih
Di antara sebagian kekurangan yang dapat disebutkan adalah sebagai berikut:
a) Meskipun Syeikh Shaduq mengklaim kesahihan hadis-hadis kitabnya (sebagaimana yang tampak jelas dari ungkapan beliau), akan tetapi hadis-hadis tersebut belum tentu dianggap sahih, valid dan menjadi hujjiah bagi yang lainnya.
b) Menurut ucapan Syeikh Shaduq sendiri bahwa beliau mengikuti pandangan gurunya dalam menerima dan menolak hadis. Artinya Syeikh Shaduq sendiri tidak melakukan kajian mengenai para perawi.
c) Seluruh sandaran Syeikh Shaduq adalah kitab-kitab hadis masyhur, terpercaya dan referensial dari para penulis terkenal dan tsiqah. Namun kemasyhuran kitab tidak mengindikasikan bahwa seluruh hadisnya muktabar.
Selain itu, keterpercayaan referensi-referensi kitab Man Laa Yahdluruh Al-Faqih bersifat global. Artinya, mungkin saja keterpercayaan kitab dikarenakan sanad mayoritas hadisnya, bukan seluruh hadisnya atau disebabkan kedudukan penulisnya. Oleh karena itu, keterpercayaan dan popularitas kitab tidak mengindikasikan kemuktabaran satu persatu riwayatnya.
d) Masyikhahnya tidak lengkap. Dalam Masyikah, Syeikh Shaduq menyebutkan total perantaranya berjumlah 379 orang, namun beliau lupa memaparkan 120 orang perantara yang disebutkan pada permulaan sanad kitab.
e) Adanya para perawi dhaif atau majhul al-hal di antara rijal masyikhah Lebih dari 50 orang perawi didhaifkan oleh ulama rijal atau kondisinya majhul al-hal. Dengan demikian, selain mursalat yang diragukan validitasnya, sebagian besar riwayat musnad juga berada dalam kelompok riwayat-riwayat dhaif.[1]
f) Sebagian fatwa Syeikh Shaduq dalam kitab ini adalah fatwa syadz (berseberangan dengan masyhur), nader, dan belum pernah ada di kalangan fuqaha Syiah. Fatwa-fatwa seperti yang disebutkan mencapai 12 kasus, di antaranya: Diperbolehkan wudhu dengan air bunga, diperbolehkan shalat dengan pakaian yang bercampur khamar, larangan mengucapkan syahadat ketiga dalam azan, wajibnya mandi Jumat, kewajiban qunut dalam shalat, dan…
g) Antara hasyiah dengan riwayat banyak berbaur. Sebut saja misalnya dalam hadis ke-719, jilid 1 terdapat sebuah riwayat yang menyebutkan kata “لا یجوز”, sementara dalam jilid 4, hadis no. 5.594 dan dalam kitab At-Tahdzib jilid 9, hadis ke-58 tidak terdapat kata tersebut.[2]
Dalam hal ini, sebagian peneliti mengatakan bahwa kata tersebut merupaakan bagian dari ucapan kitab, bukan bagian dari riwayat. Kebiasaan Syeikh Shaduq adalah banyak membaurkan ungkapannya dengan riwayat.[3]
h) Berdasarkan data yang disebutkan sebelumnya bahwa hampir 1/3 riwayat Syeikh Shaduq dalam kitab ini (2.055) adalah mursal. Yang dimaksud dengan hadis-hadis mursal Syeikh Shaduq adalah hadis-hadis yang tidak dapat ditemukan musnadnya saat merujuk ke masyikhah atau seluruh sanad mereka dihapus (hadis mursal dalam kitab ini mayoritas demikian) atau bila sebagian sanadnya dihapus, nama perawi pada permualan sanad tidak disebutkan dalam masyikhah.
Singkatnya, meskipun Syeikh Shaduq menyebutkan nama perawi atau penulis kitab yang dinukil, namun Syeikh Shaduq tidak menyebutkan jalur hingga perawi atau penulis kitab dalam masyikhahnya.
Menurut Majlisi Pertama dalam kitab Lawami’, pada permulaan sanad kitab disebutkan lebih dari 120 nama –dengan jumah hampir mencapai 300 hadis- yang tidak disebutkan jalurnya oleh Syeikh Shaduq dalam masyikhahnya.
4- Validitas Riwayat-riwayat Mursal Kitab Man Laa Yahdluruh Al-Faqih
a) Hujjah secara mutlak
Alasan paling penting orang-orang yang mengakui hujjiahnya adalah ungkapan Syeikh Shaduq dalam mukadimah kitab. Syeikh Shaduq meyakini bahwa seluruh riwayat –baik mursal atau musnad- adalah shahih.
b) Tidak dapat dijadikan hujjah
Sebagian ulama seperti Ayatullah Khui meyakini, meskipun ungkapan Syeikh Shaduq dalam mukadimah kitab menegaskan seluruh riwayatnya shahih, namun keshahihannya adalah ijtihad pribadi Syeikh Shaduq. Oleh karena itu, belum tentu hadis-hadis tersebut shahih dan hujjah menurut orang lain.
Kesaksian ini bukan hanya tidak membuktikan keshahihan dan hujjiah hadis-hadis mursal, bahkan tidak pula menetapkan hujjiah dan keshahihan hadis-hadis musnad bagi orang ain. Maka seorang mujtahid harus meneliti satu persatu sanadnya.
c) Rincian pendapat
Sebagian berkeyakinan, setiap kali Syeikh Shaduq menuki riwayat mursal dengan ungkapan pasti seperti “(قال الصادق (ع” (Imam Shadiq a.s. berkata), ungkapan ini mengindikasikan keyakinan beliau terhadap keshahihan riwayatnya. Maka riwayat mursal seperti ini shahih.
Adapun bila Syeikh Shaduq menggunakan ungkapan-ungkapan yang tidak pasti seperti “روی عن الصادق (ع)” (diriwayatkan dari Imam Shadiq a.s.) atau “و في رواية” (dalam sebuah riwayat), hal tidak dapat dihukumi keshahihannya.
d) Pandangan Majlisi mengenai hadis-hadis mursal dalam kitab Man Laa Yahdluruh Al-Faqih
Mayoritas riwayat mursal kitab ini telah disebutkan dengan sanadnya dalam kitab-kitab hadis lain seperti Al-Kafi dan karya-karya beliau lainnya. Hal ini bisa dengan mudah ditemukan. Menutur reportasi Muhammad Taqi Majlisi, dalam kitab Man Laa Yahdluruh Al-Faqih terdapat 500 hadis mursal yang mayoritasnya diberikan sanad.[4]
Muhammad Taqi Majlisi dalam syarah berbahasa Persia dari kitab Man Laa Yahdluruh Al-Faqih menulis, “(Syeikh Shaduq) meriwayatkan banyak hadis mursal dan tidak menyebutkan sanadnya atau membawakan hadis tersebut sebagai fatwa, namun aku memperoleh sanadnya yang sebagian besar berasal dari kitab-kitab Shaduq dan sebagian lainnya dari Kulaini. Hanya sedikit sekali yang tidak aku temukan dan itu pun tidak lebih dari 10 riwayat. Syeikh Shaduq menadari ha itu, maka beliau tidak menyebutkan sanadnya (berulang kali).”[5]
(Bersambung)
[1] Allamah Hilli, Khulashah Al-Aqwal, halaman 276.
[2] Ghifari, Talkhis Miqyas Al-Hidayah, halaman 247.
[3] Syusytari, jilid 5, halaman 339.
[4] Majlisi, Muhammad Taqi, Raudhah Al-Muttaqin, jilid 14, halaman 350.
[5] Lawami’ Shahibqarani, jilid 1, halaman 190.