Bukan Rakus Politik
Nabi Muhammad Saw Tidak Rakus Kekuasaan
Rakus kekuasaan, rakus kepemimpinan adalah problem, apalagi rakus atas kepemimpinan bagi orang lain tanpa memiliki alasan kuat dan logis. Problem berlapis-lapis dan tentu akan sulit dicarikan jalan pemecahannya.
Semakin hangatnya suasana perpolitikan dalam negeri menjadi mendesak kebutuhan bekal untuk ikut terjun ke dunia ini, ya walau hanya dengan memberikan sebuah suara sebenarnya kita juga turut andil dalam perpolitikan.
Siapa malu bertanya maka akan sesat dijalan, peribahasa yang sudah lekat dalam kehidupan kita. Sebelum mengirimkan suara ini alangkah baiknya kita berbicara standar minimal yang harus dimiliki seorang pemimpin.
Memilih dan Sekedar Berpartisipasi
Disini harus dibedakan antara memilih dan sekedar berpartisipasi. Orang yang memilih seseorang menjadi pemimpin baginya harus tahu konsekuensi dari apa yang sedang dilakukannya. Harus memiliki alasan mengapa dia memilih pemimpin tersebut dan bukan pemimpin yang lain. Memiliki pengetahuan tentang siapa orang yang dipilih apakah prilaku dan kepribadiannya mencerminkan sebagai seorang pemimpin atau tidak. Dari track record perjalanan kepemimpinannya baik di skala rumah tangga, lingkungan tempat tinggal, lingkungan tempat kerja sebelumnya, lingkungan bisnis yang dia pimpin sebelumnya, cara dia menjaga relasi baik dengan saudara, dengan tetangga, dengan teman-teman, dengan relasi kerja, dengan relasi bisnis. Itu semua perlu diteliti. Apakah perlu dilakukan sedetil mungkin, kalau hal itu memungkinkan mengapa tidak? Semakin detil pengenalan kita pada calon pemimpin yang akan kita pilih akan semakin mudah mempertanggungjawabkannya.
Memilih tidak boleh taqlid buta
Taklid adalah mengikuti tindakan dan pendapat orang lain yang kita percaya dalam melakukan sesuatu. Memilih pemimpin jelas harus sesuai keinginan hati, memilih dengan dasar pengenalan yang cukup, ketika ada orang yang kita percaya dan memiliki informasi yang lebih kuat terkait orang-orang yang akan dipilih maka tidak ada salahnya bertaklid kepadanya. Tapi jika hanya mengikuti pendapat atau tindakan seseorang tanpa ada alasan masuk akal, tanpa memiliki kepercayaan yang cukup untuk menjadikan seseorang sebagai panutan, berarti kita telah taqlid buta taqlid dengan tanpa disertai dalil. Dalam hal ini pilihan kita akan sulit dipertanggungjawabkan, kita bisa mempertanggungjawabkan selama kita memiliki alasan yang cukup dan kuat.
Para sahabat Nabi yang setia tetap mengikuti langkah Ali bin Abi Thalib as, mereka juga tidak berontak tetap setia berada dibarisan Ali bin Abi Thalib as. Mereka taqlid dan mengikuti imam mereka sepenuh hati.
Seperti kita tahu bahwa Ali bin Abi Thalib as, sebagai orang yang sebenarnya dipilih langsung Allah SWT melalui nabinya untuk menjadi pemimpin selepas Nabi Saw meninggal. Hadis mutawatir menjelaskan perihal ini sehingga tidak mungkin dibantah lagi. Namun kenyataan berbicara lain, belum lama Nabi meninggal, bahkan Nabi Saw belum dimakamkan orang-orang sudah berebut kepemimpinan, berebut untuk mencalonkan wakil dari kabilahnya untuk menjadi khalifah. Dilakukan seolah-olah Nabi Saw tidak pernah memilih seorang pemimpin sepeninggal beliau.
Dalam kondisi ini Ali bin Abi Thalib as memilih untuk bekerjasama dengan pemerintah yang sudah dibentuk. Bahkan beliau juga turut berperan membantu proses penulisan Al Qur’an menjadi satu mushaf, salah satu program yang digalakkan pemerintah waktu itu. Walau kepemimpinan adalah hak beliau tapi beliau dengan segala pertimbangan yang ada tidak melakukan pemberontakan. Beliau termasuk salah satu pemimpin yang tidak rakus kekuasaan. Memimpin bukan karena meminta tapi karena masyarakat membutuhkannya.
Memilih Dari Yang Tidak Terlalu Buruk Dari Yang Buruk Atau Sangat Buruk
Bisa jadi kita menemukan adanya kondisi dimana kita tidak bisa memilih salah satu karena menurut kita tidak layak, atau kita memiliki alasan bahwa keduanya itu tidak bagus. Dalam hal ini kadang kita juga diperbolehkan untuk memilih yang tidak terlalu buruk dari yang buruk atau dari yang sangat buruk. Dalam hal ini kita pun dituntut untuk meneliti dan mempelajari kandidat yang ada. Selain itu kita tidak akan tahu mana yang buruk dan mana yang lebih buruk.
Standar dalam memilih seorang pemimpin
Ada beberapa hal yang bisa kita jadikan sebagai parameter dalam memilih seorang pemimpin. Dia bukan tipe individualis, dia tahu kepemimpinan adalah amanah dan tanggungjawab besar bukan tujuan apalagi ambisius, dia bukan pecinta kekuasaan apalagi rakus kekuasaan, dia bisa merangkul semua pihak, pintar menjaga relasi dan komunikasi.
Bagaimana dengan calon pemimpin yang non muslim tapi memenuhi syarat dan pemimpin muslim tapi tidak memenuhi syarat. insyaAllah akan kita bahas pada tulisan yang lain.
Tidak melupakan sejarah
Kita perlu melihat kebelakang, melihat bagaimana Islam memperlakukan pemimpin, bagaimana proses kepemimpinan dimiliki oleh para Nabi, khususnya yang dijalani oleh Nabi Ibrahim. Kita tahu bahwa Nabi Ibrahim sebelum menjadi seorang Imam beliau terlebih dulu diuji Allah SWT. Setelah beliau menyelesaikan ujian ini baru beliau diangkat menjadi seorang Imam.
Pemimpin yang layak dan berkualitas adalah mereka yang sudah kuat melewati berbagai ujian. Kejadian Kisah Nabi Ibrahim mengajari bahwa yang berkualitas yang memimpin.