Diskursus Teologis Seputar Kewajiban ‘Membela Agama’
Oleh: Abdullah Beik
Tak ada yang menyangkal bahwa aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan ummat Islam Indonesia baru-baru ini memang sangat fenomenal. Dari sisi tingkat partisipasi, banyak yang meyakini bahwa aksi ummat Islam tanggal 4 November lalu itu hanya bisa dikalahkan oleh aksi mahasiswa tahun 1998 yang akhirnya menumbangkan salah satu rezim terkuat di dunia.
Di sela-sela hiruk-pikuk masalah politik yang menyertainya, ada satu masalah teologis yang mencuat dari aksi ummat Islam itu. Isu teologis tersebut terkait dengan pemicu aksi demo, yaitu adanya dugaan penistaan agama yang kemudian memantik gelombang aksi pembelaan ummat Islam terhadap Al-Quran, agama, dan Tuhan.
Pertanyaan teologis yang muncul adalah: apakah agama dan Tuhan memang perlu dibela? Menarik untuk diketahui bahwa diskursus teologis semacam ini sudah berusia sangat tua, setua pertanyaan klasik: apakah Tuhan perlu disembah? Sejak awal-awal kemunculan aliran-aliran teologis seperti Asy’ariyah, Mu’tazilah, dan Syiah, isu-isu sudah diperdebatkan, dan perdebatan itu berlanjut hingga hari ini.
Apa Makna ‘Perlu’?
Kata “perlu” dalam proposisi “Agama dan Tuhan perlu dibela” memiliki makna membutuhkan manfaat dan kesempurnaan. Kita lihat contoh yang sederhana, yaitu membangun rumah. Kalau ada yang bertanya: “Apakah perlu membangun rumah?”, orang tersebut artinya sedang mempertanyakan manfaat apa yang bisa didapatkan dari keberadaan rumah yang dibangun itu. Di sini, kita bisa mengatakan bahwa dengan membangun rumah, kita akan terlindung dari angin kencang, panas matahari, hujan, dan sebagainya.
Atas dasar pemahaman akan makna “perlu” itulah, muncullah pemahaman yang menyatakan bahwa agama dan Allah SWT tak memerlukan pembelaan. Mengapa? Karena Allah adalah Zat yang Mahasempurna. Tak ada cacat pada Zat Allah sehingga Dia tidak perlu pada apapun, termasuk ibadah atau pembelaan kita. Sedemikian sempurnya Allah SWT, sampai-sampai kaum Asy’ariy meyakini bahwa apa yang dilakukan oleh Allah sama sekali tidak dilatarbelakangi oleh sebab apapun. Terkenal ungkapan Kalam, Asy’ariy: fi’lullaah laa yu’allal (tak ada sebab atas perbuatan Allah).
Golongan ini berpendapat bahwa dari niat untuk membela agama dan Tuhan itu justru tersirat pemahaman bahwa agama dan Tuhan itu mengandung kelemahan. Padahal, Tuhan dan agama itu sudah sempurna. Di sisi lain, kita adalah manusia biasa yang serba berkekurangan. Maka, mungkinkah sesuatu yang serba berkekurangan bisa membela sesuatu yang serba sempurna?
Akan tetapi, jika pemahaman Asy’ari ini kita terima, ada pertanyaan lain yang harus kita jawab. Jika Tuhan tak perlu dibela, bagaimana kita harus menyikapi bertebarannya ayat-ayat Al-Quran dan juga riwayat yang mewajibkan kita untuk membela agama?
Bermanfaat untuk Siapa?
Dengan perenungan yang sedikit mendalam dan menggabungkannya dengan beberapa prinsip yang terdapt pada teks-teks agama, kita sebenarnya bisa menyimpulkan adanya falacy (kerancuan) berfikir dalam hal ini. Kerancuan itu muncul dari tidak adanya pemilah-milahan terkait dengan tujuan dan manfaat dari sebuah perbuatan. Sebagaimana yang dibahas secara panjang lebar oleh para ahli logika, akibat dari sesuatu itu tidak melulu hanya satu. Demikian juga terkait dengan tujuan dan manfaat yang muncul dari sesuatu, tidak selamanya hanya satu.
Dalam hal ini, manfaat atau tujuan dari beribadah ataupun pembelaan kepada agama/Tuhan itu, secara akal, tidak hanya kembali kepada Dia sebagai Tuhan yang Maha Sempurna, tapi bisa saja kembali kepada kita yang serba berkekurangan dan membutuhkan.
Agar lebih jelas, marilah kita lihat contoh pembangunan rumah.Terkadang, kita membangun rumah itu bukan untuk kita sendiri, melainkan untuk orang lain yang membutuhkan. Terkadang kita membangun gedung sekolah, supaya ada tempat di mana terjadi transfer of knowledge. Yang lebih banyak mendapatkan manfaat dari pembangunan gedung itu adalah orang lain, bukan kita yang membangun.
Dengan demikian, yang memerlukan pembelaan itu bukan Tuhan yang menciptakan kita dan alam semesta ini, dan bukan juga agama itu sendiri. Kita sendirilah yang membutuhkan manfaat dari membela Tuhan dan agama.
Di sini, ada analogi sederhana lain yang sangat sering dikemukakan oleh para ulama. Saat kita sakit, kita akan pergi berobat ke dokter. Sang dokter akan menyarankan kita untuk mengkonsumsi makanan, minuman, atau obat tertentu, juga melarang kita mengkonsumsi makanan dan minuman tertentu.
Jelas bahwa dokter tidak memerlukan komitmen dan ketaatan kita untuk mengamalkan apa yang dia sarankan. Dokter tidak berharap manfaat tertentu untuk dirinya dari ketaatan kita. Kita bisa mengatakan bahwa dokter tidak memerlukan ketaatan pasien. Sebaliknya, justru pasien lah yang akan mendapatkan manfaat dari ketaatannya kepada dokter. Dalam konteks pembahasan kita, manusialah yang akan mendapatkan manfaat dari ketaatan kepada Allah (dengan beribadah dan membela-Nya).
Perhatikanlah, betapa sangat indahnya konsep Al-Quran terkait dengan hal ini.
Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Adz-Dzaariyat: 55-56)
Perhatikanlah bahwa pada ayat 55, Rasulullah SAW diperintahkan untuk menyampaikan peringatan kepada manusia yang pada akhirnya, peringatan itu bermanfaat bagi orang yang beriman. Di ayat lanjutannya, Allah menegaskan tugas utama makhluk bernama jin dan manusia, yaitu beribadah kepada Allah. Dan menariknya, di ayat selanjutnya (ayat 57), Allah berfirman:
Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka, dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan.
Ayat 57 ini bisa dimaknai sebagai upaya untuk menghilangkan dugaan bahwa Allah-lah yang akan mendapatkan manfaat dari ibadahnya jin dan manusia.
Kasus Abdul Muthallib dan Serangan Abrahah
Ada satu pembahasan yang sangat sering menjadi sumber perdebatan, yaitu ucapan Abdul Muthallib di saat pasukan Abrahah datang untuk menghancurkan Kabah. Alih-alih memobilisasi kekuatan untuk membela Kabah, beliau malah sibuk menyelamatkan unta-unta miliknya. Saat ditanya oleh orang sekitarnya, mengapa dia melakukan hal tersebut, Abdul Muthallib menjawab, “Akulah pemilik unta-unta ini, sedangkan Baitul Haram itu ada Pemiliknya yang siap melindunginya.”
Sebagaimana yang kemudian tercatat dalam sejarah, dengan sikap “tawakal” ala Abdul Muthallib ini, Kabah justru mendapatkan perlindungan langsung dari Allah. Pasukan gajah Abrahah luluh lantak oleh serangan sekawanan burung yang melontarkan batu berapi
Kisah ini sering dijadikan sebagai hujjah oleh beberapa kalangan untuk tidak melakukan apapun dalam rangka membela agama. Menurut kalangan ini, kita hanya perlu bertawakal manakala agama kita terancam. Betulkah demikian?
Di sini, penulis menyampaikan beberapa catatan. Pertama, kesahihan riwayat tentang adanya kata-kata Abdul Muthallib seperti itu sampai sekarang masih menjadi bahan perdebatan. Akan tetapi, dengan asumsi bahwa riwayat tersebut memang sahih, kita harus menempatkan kata-kata Abdul Muthallib itu dalam posisi yang tepat. Tanpa mengurangi rasa hormat kita kepada Abdul Muthallib sebagai kakek dari Baginda Nabi, kata-kata beliau itu tidak bisa menjadi hujjahagama secara langsung. Dalam hirarki sumber hukum agama, kita hanya mengenal Al-Quran, hadits, ijma ulama, dan akal. Kata-kata Abdul Muthallib (atau siapapun juga) hanya bisa menjadi hujjah jika bersesuaian dengan sumber-sumber hukum Islam di atas. Ini adalah catatan kedua.
Kemudian, sebagai catatan ketiga, dengan asumsi bahwa riwayat itu sahih dan kata-kata Abdul Muthallib memang bisa dijadikan sebagai hujjah, kata-kata tersebut harus difahami dalam konteks situasi yang tidak memungkinkan bagi beliau untuk menggalang kekuatan menghadapi pasukan Abrahah. Ditambah lagi dengan situasi internal kaum Qureisy yang ketika itu sedang dilanda rivalitas bahkan permusuhan antara bani Hasyim dan Bani Umayyah. Maka, dalam situsi seperti itu, tak ada hal lain yang bisa dilakukan kecuali bertawakal kepada Allah.