Peringatan Arba’in: Kekuatan Cinta dan Kasih Sayang Universal
Dalam rangka memperingati kesyahidan Imam Husein a.s. di Karbala, Silaturahmi Majelis Hasani dan Maulid menyelenggerakan peringatan Hari Arba’in, yaitu hari ke-40 dari kesyahidan Imam Husein a.s., pada siang Ahad (27/11) di Bukit Indah, Purwakarta. Acara ini dihadiri oleh sekitar 3000 peserta dari berbagai kota dan lapisan masyarakat. Acara Arba’in kali ini dicerminkan melalui ilustrasi panji Imam Husein yang diusung oleh pejuang berbendera Merah Putih, menyampaikan pesan universal perjuangan cucunda suci Nabi SAW di Karbala yang menjadi nilai dan semangat perjuangan semua bangsa, yaitu cinta dan kasih sayang universal.
Inspektur direktorat pemda, Deni Bustomi,turut hadir sebagai perwakilan dari bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, yang berhalangan hadir. Acara diawali dengan tilawah ayat suci Al-Quran, kemudian dibuka oleh tokoh ulama terkemuka Purwakarta, Habib Hasan ibn Syueb. Dalam paparannya, Hasan membawakan hadis masyhur Al-Tsaqalain, hadis yang menerangkan posisi utama dalam Islam, yaitu kitab Allah (Al-Quran) dan keluarga Nabi (Ahlulbait).
Sementara itu, Deni Bustomi menyampaikan sambutan dan mengatakan bahwa pluralisme dan keragaman beragama adalah kenyataan di Indonesia. Untuk itu, menjalankan agama bukan semata-mata menerapkan syariat, tetapi juga menegakkan nilai-nilai moral. Semua itu dapat terealisasi dengan mengikuti Rasulullah SAW yang menjadi uswah dan pemersatu seluruh umat Islam.
Puncak acara diisi oleh pidato yang dibawakan Ust. Abdillah Ba’bud. Abdillah membuka paparannya dengan menyinggung falsafah Arbain Imam Husein a.s., dengan menukil hadis dari Nabi, yaitu orang yang mengikhlaskan hatinya selama 40 hari, Allah akan mengalirkan hikmah dari lisannya. Hikmah dan sumber-sumbernya akan memancar dari hatinya melalui hatinya. Hikmah lebih utama daripada ilmu. Bertahan tabah dan setia dalam memperoleh hikmah sangatlah berat, sebagaimana yang dialami oleh nabi agung, Musa a.s. Contoh konkret dari orang berhikmah di jaman sekarng adalah Imam Khomeini. “Kita sekarang pun perlu kesabaran dan keteguhan yang kokoh dalam memperingati kesyahidan Imam Husein a.s. Kita bukan sekedar mendengar dan menyimak peristiwa agung tragedi Karbala, tetapi menanamkan cita-cita dan semangat Imam Huseain a.s. dengan hati yang tulus agar semua yang didengar dan disimak menjadi hikmah yang memancar hingga mengalir dari lisan-lisan kita”, ujarnya.
Pesan utama yang disampaikan Abdullah ialah falsafah airmata dan tangisan. Abdillah mengatakan, “Bagaimana para imam suci Ahlulbait a.s. menekankan arti penting airmata sebagai bentuk duka dan kesedihan. Airmata yang pertama kali tertumpah adalah airmata yang jatuh dari mata suci Rasulullah SAW. Buku-buku hadis umat Islam mengungkapkan peristiwa ini. Terkait dengan falsafah airmata, Abdullah membawakan sejumlah riwayat yang menggambarkan bagaimana para imam meneteskan airmata mengenang Imam Husain a.s.”
Abdillah menlanjutkan, “Dalam riwayat disebutkan airmata demi Imam Husein a.s. sebagai fenomena insani, faktor penghapus dosa besar dan, bahkan sarana yang mengangkat seseorang sederajat dengan para imam di surga mereka. Dari sekelompok riwayat dapat dipahami sebuah gambaran seolah mendramatisasi peristiwa Karbala, seperti penyembelihan leher Imam Husein a.s. tak ubahnya dengan penyembelihan leher domba.”
Semua penekanan pentingnya menangis dan airmata untuk Imam Husein menyembunyikan suatu rahasia yang luar biasa dahsyat. Dengan bentuk pertanyaan, Abdillah menyimpulkan, “Apa arti airmata untuk Imam Husein? Apa rahasia di balik airmata dan tangisan untuk Imam Husein?”
Pertama, perlu ditegaskan falsafah Islam dan pengutusan nabi, yaitu rahmat dan kasih sayang untuk segenap makhluk. Sejarah Nabi SAW menunjukkan rahmatnya lebih luas dan lebih mendahului murkanya, bahkan untuk kaum kafir di Thaif dan kaum Nasrani dalam peristiwa Mubahalah.
Dalam peristiwa Karbala, Imam Husein menampilkan rahmat Allah SWT. Sebagai orang mukmin sejati, beliau tentu bisa membinasakan musuhnya dengan doa dan kutukan yang pasti dikabulkan Allah. Namun beliau tidak melakukannya. Justru beliau menyampaikan hujjah sampai sempurna hinga hembusan nafas terakhirnya. Para imam Ahlubait menghidupkan peristiwa dan semangat Karbala agar senantiasa membara di hati umat Islam, yaitu melalui airmata dan tangisan, sebuah cara dan sarana yang paling lembut dan menyentuh. Di balik airmata terdapat kekuatan, yaitu kekuatan cinta dan kasih sayang universal.
Abdullah menutup pidato Husaininya dengan mengemukakan tiga tujuan dari pengorbanan Imam Husaein a.s. di Karbala. Pertama, islah dan memperbaiki diri sendiri dalam berpikir, bersikap, mengambil keputusan dan memperlakukan sesama. Kedua, berani berkata “tidak” kepada selain Allah, yakni menolak pasrah dan tunduk di bawah hawa nafsu, setan, kebatilan dan hukum zalim. Ketiga, siap berjuang, menghadapi dan melawan musuh Allah, yaitu orang-orang zalim.
Acara Arba’in diharubirukan dengan pembacaan maqtal, kronologi peristiwa Karbala, pementasan seni religius, penayangan drama Abul Fadhl Abbas dan Ruqayah, pembacaan kidung duka beraksen Malayu, dan ditutup dengan pembacaan dia ziarah Asyura.[afh]