Episemologi Agama (5)
Epistemologi Agama (5)
Oleh: Andi Mahdi
Pengalaman Agamawi dan Penyingkapan Sufistik
Perseteruan merebut posisi agama dalam diri manusia di antara para pemikir dan filsuf terjadi bukanlah hal yang baru, khususnya bagi kaum muslimin. Al-Maturidi meletakkan pesan-pesan wahyu yang berhubungan dengan keimanan dalam ranah akal praktis, begitu pula Abul-Hasan al-Asy’ari setelah memisahkan diri dari aliran Mu’tazilah.
Perdebatan serius dalam permasalahan baik-buruk perbuatan manusia menyeret pada permasalahan teologis yang lebih dalam yaitu, ketentuan Tuhan dalam kaitannya dengan perbuatan manusia. Dan berakhir pada meletakkan permasalahan teologis tersebut pada akal praktis.
Dari sisi lainnya, para sufi yang berkembang pada abad-abad awal Islam, menfokuskan diri mereka pada tazkiyah meletakkan agama dengan pesan-pesannya sebagai permasalahan akal praktis, namun jauh lebih spesifik ketimbang para teolog. Dalam pandangan mereka, para sufi, Tuhan dengan segala sifat dan asma’-Nya hanya bisa dikenali melalui pengalaman dan penyingkapan sufistik, karena akal manusia memiliki keterbatasan untuk mengenali-Nya. Dan proses penyingkapan sufistik atas realitas Tuhan hanya dengan cara tazkiyah (baca: penyucian jiwa).
Munculnya kelompok dan aliran dalam tasawuf berakar dari penentuan metodologi tazkiyah. Aliran tasawuf Abul-Hasan al-Bashri, yang dikenal dengan mazhab zuhud, menjadikan zuhud adalah pondasi dasar dalam tazkiyah. Ada pun, Rabi’ah al-‘adawiyah menjadikan isya dan cinta sebagai landasan dasar tazkiyah, sehingga aliran tasawufnya dengan dengan mazhab isyq wa mahabbah.
Para ‘arif atau pun sufi berkeyakinan, dengan kejernihan jiwa dapat meyakini teks-teks suci. Dalam artian, dengan kejernihan jiwa seorang ‘arif mampu memperoleh penyingkapan-penyingkapan hakikat atas teks-teks suci dan meyakininya tanpa proses rasionalisasi.
Dalam pandangan mereka, akal dan seluruh kemampuan pengetahuan manusia tidak memiliki kemampuan untuk sampai kepada Al-Haq, sifat-sifat dan asma’-Nya. Pengetahuan terhadap Zat Tunggal, sifat dan asma’-nya hanya bisa memperoleh jaminan validitasnya dengan cara penyingkapan dan ilham.
Di masa Suhrawardi, pada abad ke-enam hijriah, terjadi satu “revolusi” dalam mazhab tasawuf. Beliau menawarkan dalam hikmah isyraq-nya (baca: filsafat iluminasi) dua hal besar dalam berinteraksi dengan jagat wujud, khususnya Tuhan, dengan metodologi dzauq (baca: taste atau rasa) dan argumentasi rasional. Di mana, sebelumnya para sufi lebih cenderung menolak penggunaan rasio dalam berinteraksi dengan realitas Tuhan. Namun, sayangnya Suhrawardi dengan hikmah isyraq-nya tidak menjadi bagian tasawuf. Beliau diletakkan sebagai seorang filsuf dan bukan sebagai ‘arif.
Ibnu Arabi, pada abad ketujuh hijriah, mengamati sekumpulan faktor-faktor yang berlaku pada abad-abad sebelumnya, merumuskan tasawuf dalam wajah baru yang lebih menarik. Ibnu Arabi memberikan warna ilmiah, argumentatif dan sisi teoretis pada tasawuf. Karya monumentalnya, “fusus al-hikam” merupakan bukti nyata atas kerja ilmiah Ibnu Arabi. Dari sinilah, Ibnu Arabi menjadi tenar sebagai pendiri irfan teoretis.
Mengamati upaya rasionalisasi dan teorisasi irfan Ibnu Arabi sebagian ahli berpendapat bahwa penyingkapan atau mukasyafah merupakan akhir dari irfan praktis dan titik awal bagi irfan teoretis.
Lain di Timur, Barat pun juga tidak kalah menarik dalam diskursus keimanan dan agama. Tarik-menarik merebutkan posisi agama dan keimanan apakah berada dalam ranah akal teoretis ataukah akal praktis menjadi perdebatan-perdebatan panjang. Kant, filsuf Jerman, menarik dan meletakkan agama dalam cakupan akal praktis. Menurutnya, terdapat tiga unsur dasar agama yang keluar dari cakupan dan teritorial akal teoritis yaitu, keberadaan Tuhan, hak pilih manusia (ikhtiar) dan keberadaan serta kekekalan ruh. Selanjutnya, dalam pandangnya posisi agama tidak lain hanya berada pada ranah akal praktis, pada akhirnya agama akan berubah menjadi moral dan etika.
Pada masa berikutnya, Schleiermacher, filsuf Jerman (1768-1834), berpendapat bahwa argumentasi keberadaan Tuhan tidak lain hanyalah bentuk kulit agama, sedangkan “hati” agama adalah pengalaman. Schleiermacher menambahkan, Tuhan bukanlah satu asumsi yang digambarkan oleh manusia, akan tetapi Dia merupakan pengalaman bagi seorang yang beriman. Pengalaman merupakan sesuatu yang hidup dan dinamis, di mana ia akan memendarkan cahayanya di hati seorang agamis atau beriman.