Haji Mabrur dalam Perbincangan
Haji secara bahasa bermakna qashd (tujuan/bertujuan) dan suara gerakan untuk mencapai maqsud (yang dituju). Sedangkan secara istilah syar’i berarti bepergian ke tempat yang suci dan kota Mekkah di bulan haram (Dzilhijjah) dalam rangka berziarah ke rumah Allah (Ka’bah) dan melaksanakan manasik khusus di beberapa tempat yang ditetapkan (semuanya di Mekkah dan sekitarnya). Dan seluruh kegiatan ibadah ini dinamankan manasik haji.
Perjalanan sakral ini harus memenuhi syarat utama, di antaranya: kemampuan finansial, kesehatan jasmani, dan terbukanya jalan menuju ke Mekkah yang ketiganya terangkum dalam istilah istitha’ah (kemampuan). Setiap Muslim-Muslimah yang mencapai istitha’ah ini diharuskan/diwajibkan untuk melaksanakan ibadah haji sekali seumur hidup, dan meninggalkannya atau menundanya tanpa alas an/uzur syar’i akan mendatangkan dosa.
Ulama berbeda pendapat tentang makna haji mabrur. Sebagian berpendapat haji mabrur adalah amalan maqbul alias yang diterima di sisi Allah. Sebagian berpandangan, haji mabrur adalah haji yang hasilnya tampak pada pelakunya dengan bukti bahwa pola sikapnya setelah berhaji jauh lebih baik.
Al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani, pakar hadis dalam kitab Fathul Baarii, syarah Bukhari-Muslim menjelaskan, “Haji mabrur adalah haji yang diterima Allah.”
Imam Nawawi dalam syarah Muslim menjelaskan bahwa, “Haji mabrur itu ialah haji yang tidak dikotori oleh dosa, atau haji yang diterima Allah, yang tidak ada kesombongan di dalamnya.”
Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa melakukan ibadah haji karena Allah, kemudian tidak berkata kotor dan tidak melakukan perbuatan fasik, maka ia akan pulang tanpa dosa sebagaimana ketika ia dilahirkan ibunya.” (HR Muttafaq ‘alaih).
Prof Quraish Shihab, penulis Tafsir Misbah dalam bukunya, Haji dan Umrah, menjelaskan, ada satu hadis Rasulullah tentang haji mabrur yang populer, yaitu, “Alhajjul mabrur laysa lahu jaza’ illaljannah.” Artinya, tak ada balasan untuk haji mabrur kecuali surga.
Ustad Quraish menjelaskan, kata mabrur berasal dari kata barra. Artinya benar, diterima, pemberian, keleluasaan dalam kebajikan.
Selama berhaji, jamaah haji ditempa serangkaian manasik dan ibadah yang di situ sisi melelahkan secara fisik dan di sisi lain menyegarkan secara spiritual. Betapa tidak, begitu memakai kain ihram maka jamaah haji dilarang melakukan hal-hal yang sebelum memakai kain ihram diperbolehkan dan halal hukumnya. Dan larangan-larangan selama memakai kain ihram dapat disimpulkan dalam empat hal:
1-Menjauhi kelezatan dan kenikmatan seksual
2-Memadamkan egoisme dan api amarah
3-Meningalkan kenyamanan hidup
4-Menghindari berhias dan bersolek diri
Pada hakikatnya masing-masing dari empat poin tersebut adalah latihan yang sangat efektif untuk menguatkan iradah (kemauan) dan memerangi hawa nafsu serta naluri material yang liar.
Hâji (baca: orang yang berhaji) adalah seseorang yang saat ia memakai kain ihram, ia berjanji kepada Allah Swt bahwa akan selamanya menjauhi kenikmatan-kenikmatan illegal di dunia ini dan ia akan memadamkan naluri emosi dan egoisme dalam dirinya serta akan berhijrah dari seluruh dosa.
Hâji (baca: orang yang berhaji) adalah seseorang yang dengan melaksanakan tujuh kali tawaf di Ka’bah dan dengan menyentuh Hajar Aswad, ia berjanji kepada Allah Swt bahwa senantiasa akan memperhatikan rida Allah dan akan berjuang untuk persatuan umat Islam. Sebab, selama berhaji, ia merasa tidak sendirian; banyak kaum Muslimin dari pelbagai bangsa dan bahasa serta warna kulit juga ikut berhaji bersamanya. Sehingga benar perkataan Sayidina Ali yang menyebutkan bahwa “haji itu memperkuat agama”. Haji menunjukkan kebesaran dan kebersamaan umat Islam yang seperti satu tubuh yang bilamana ada yang sakit maka organ yang lain akan merasakan kesakitan pula.
Hâji (baca: orang yang berhaji) adalah seseorang yang setelah melaksanakan wukuf di Arafah, Masy’ar dan Mina serta setelah menunaikan lempar Jumrah dan menyembelih binatang, ia akan mengenal dengan pasti setan internal dan eksternal alias mengenal musuh zahir dan batinnya serta ia akan siap—sebagaimana Nabi Ibrahim—untuk mengorbankan apa yang dimilikinya di jalan Allah.
Haji mabrur menurut hemat kami adalah haji yang menjanjikan transformasi diri. Yakni, haji yang mendatangkan “reborn” alias kelahiran kembali. Seluruh amalan haji sejatinya menghidupkan jiwa yang mati. Jamaah haji berusaha meresapi dan menghayati setiap amalan dan manasik haji yang dimulai dari permulaan(niat dan memakai pakaian ihram) sampai akhirannya, yakni tahallul (yang ditandai dengan mencukur/memotong rambut). Mereka tidak hanya berhenti pada pemahaman zahir manasik haji tapi berupaya untuk memahami aspek batin dan filosofinya.
Selanjutnya, bagaimana mengetahui haji mabrur atau tidak? Mudah saja. Caranya: seseorang melihat dirinya, apakah penyakit hati yang selama ini diidapnya sudah hilang total atau tidak? Apakah misalnya, sifat kikir itu masih bersemayam dalam hatinya? Apakah sifat hasud itu masih “nongkrong” dalam kalbunya? Ya, haji mabrur ditandai dengan kemampuan seseorang melempar sifat-sifat tercela (hasud, kikir, dendam, amarah dan sebagainya) dari hatinya. Sehingga hati jamaah haji dipenuhi dengan cinta dan nyaris tidak ada kebencian dan permusuhan di ruang kalbunya.
Demikanlah hakikat haji mabrur, haji hakiki dan yang diterima oleh Allah Swt. Namun sayangnya ada sebagian orang yang memanfaatkan haji untuk alat mencari kesenangan dan kenikmatan duniawi sehingga mereka menggunakannya untuk tujuan wisata belaka dan pamer (riya), tanpa disertai keinginan kuat untuk mengubah diri.
Semoga Allah memberikan karunia haji mabrur kepada kaum Muslimin dan Muslimat yang sekarang sedang melaksanakan ibadah haji.
Referensi:
1-https://www.republika.co.id/berita/koran/jurnal-haji-koran/16/09/16/odlac71-makna-haji-mabrur, tgl akses, 22/8/2018.
2-Nahjul Balaghah, karya Sayidina Ali.