Berkurban Akal Sehat
Usai shalat Idul Adha, muslimin merayakan hari agung ini dengan menyembelih hewan kurban yang sunnahnya sangat ditekankan syariat Islam. Mereka membagi-bagikan dagingnya. Berkurban, pertama merupakan ekspresi rasa syukur hamba atas karunia-karunia yang Allah berikan kepadanya.
Kedua, lebih dari sekedar indahnya berbagi dan nilai kemanusiaan, ekspresi rasa syukur ini tentunya atas ma’rifat dan iman kepada-Nya.
Ketiga, iman kepada Allah atau nilai ilahiah ini mewarnai proses pelaksanaan kurban dari awal sampai akhir. Tanpa nilai ini, maka berkurban, perbuatan ihsan, hal memberi manfaat bagi banyak orang, pengabdian kepada masyarakat dan kemanusiaan menjadi sia-sia di sisi Allah swt.
Nilai-nilai Universal
Lantas, apa yang diperoleh si pelaku dari berkurban? Hanya apresiasi, penghargaan atau pujian dari orang-orang, dan atau menjadi harum namanya. Kendati nihil nilai ketuhanan, ia mendapat tempat di hati masyarakat, disayang dan lebih diharapkan oleh mereka, ketimbang orang beriman tetapi minus nilai kemanusiaan. Selain itu, Allah Yang Maha pemurah menyukai kedermawanan terhadap orang lain yang terkadang mendapat bantuan dari orang yang tak beriman kepada-Nya.
Dengan kata lain, Allah memberi rezki mereka melalui si dermawan yang kafir ini. Sampai dikatakan dalam sebuah hadis yang maknanya kira-kira bahwa: “Orang kafir yang dermawan lebih diharapkan oleh-Ku daripada orang mukmin tapi kikir.” Adalah satu bukti bahwa Islam sangat menjunjung nilai kemanusiaan.
Nyatanya, sifat dermawan juga dimiliki oleh selain orang-orang yang beriman. Materialis yang dermawan, masalah dia ialah menganggap Rabbul ‘alamin yang telah menciptakan dirinya tidak ada. Jika seorang musyrik, masalahnya ialah menduakan Tuhan dalam rububiyah terhadap seluruh makhluk-Nya. Pengingkaran inilah yang menyia-nyiakan semua kebaikan dia di sisi Allah. Alquran menilai pengingkaran terhadap kebenaran ini sebagai kezaliman yang besar dan dosa besar tak terampuni.
Betapa tidak, jika dia tanya, untuk apa Anda melakukan semua kebaikan ini? Paling ideal jawaban dia adalah kemanusiaan! Bahwa, seluruh pengabdiannya mutlak untuk kemanusiaan. Artinya, adalah sesuatu selain Tuhan, dan sejatinya “kemanusiaan” itulah yang menjadi tuhan dia. Materi, hawa nafsu dan lainnya tercakup dalam konsep “menuhankan sesuatu lainnya selain Allah” ini. Sebagaimana dikatakan dalam ayat suci:
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?: (QS: al-Jasiyah 23) Yakni, dia telah menjadi budak nafsu.
Pelakunya banyak berkurban sekalipun, bagi-bagi uang dan materi-materi lainnya seperti yang dilakukan oleh sejumlah tokoh partai politik kini, kepentingan mereka adalah duniawi. Kebaikan-kebaikan yang sangat manis dari mereka untuk mendapat rasa simpati rakyat dan untuk tujuan kekuasaan, adalah “kurban” bagi nafsu mereka sendiri.
Andaipun yang materialis, musyrik dan politikus di atas tergolong lulus, mendapat nilai kemanusiaan (terlepas pamrih atau tidak), mereka gagal dalam pencapaian nilai ketuhanan. Sebab, yang mereka harap dan puja bukanlah Tuhan Yang Mahaesa.
Kurban Akal Sehat
Kebalikan dari itu adalah kelompok teroris yang mengislam. Sebut saja ISIS dan kelompok-kelompok jihadis sejenisnya. Tampak iman atau nilai ilahiah itu di lisan dan slogan mereka; tauhid yang ditunjukkan oleh jari telunjuk mereka, dan jihad yang diterapkan dengan cara teror terhadap siapapun yang tak sepaham dengan mereka. Dengan meledakkan diri, dengan menabrakkan mobil terhadap siapa saja di hadapannya, dan sebagainya.
Teror di tempat khalayak tanpa peduli orang-orang sipil, anak-anak dan kaum wanita di sana, lantas siapa musuh kelompok yang di dalam jihadnya menghalalkan segala cara itu? Siapapun termasuk Anda, Saya dan semua orang yang tak sepaham dengan mereka atau yang menurut mereka kafir. Dengan kata lain, bahwa seluruh manusia di muka bumi ini, selain mereka adalah halal untuk ditumpahkan oleh kelompok intoleran ini.
Andaipun kelompok berbendera hitam dengan kalimat tauhid ini dalam semua operasinya membawa nilai ketuhanan, tauhid dan anti segala jenis yang dipandang musyrik dan bid’ah olehnya, cara-cara lalim terhadap manusia bertentangan dengan nilai-nilai universal yang Islam serukan, seperti sabda Nabi saw: “Sayangilah siapapun di muka bumi, niscaya kamu disayangi para penghuni langit.”
Jika teks-teks keagamaan yang dipahami secara tak logis, kontra nurani dan mengorbankan akal sehat, padahal Islam berkata: “Tiada agama bagi siapa yang tiada akal baginya.”, tak heran dalam amaliyah dan berkorban dalam jihad, bertentangan dengan nilai kemanusiaan atau nilai-nilai universal dan kontra fitrah manusia. Mereka tak hanya gagal dalam nilai insaniyah ini, tetapi juga gagal dalam nilai ilahiah. Singkat kata, dalam beragama mereka “berkurban akal sehat”.