‘Irfan dalam Perspektif Murtadha Muthahari (Bagian Pertama dari Dua Tulisan)
Menurut pandangan Muthahari dalam kitab “’irfan islami”, ‘irfan (mistik) termasuk ilmu yang lahir dari buaian budaya Islam lalu ia tumbuh dan berkembang serta menyempurna.[1] Beliau tidak menerima—dengan alasan apapun—pernyataan dan anggapan bahwa ajaran mistik Islam itu memungut/menjiplak dari pelbagai agama dan mazhab, bahkan beliau menegaskan tentang orisinalitas dan independensi ‘irfan Islam. Dan pertumbuhan serta perkembangan ‘irfan Islam itu bertitik tolak dari ajaran-ajaran Alquran dan Sunah. Dan bahkan beliau mengkritisi pandangan yang mengatakan bahwa mistik Islam cenderung iltiqathi (memilih dan memilah-milah dari pelbagai sumber) dan talfiqi (perpanduan) dari mistik Hindu dan Kristen. Beliau meyakini. bahwa sesuatu yang pasti adalah bahwa mistik Islam merupakan modal utama yang diambil dari Islam.
Muthahari menjelaskan bahwa ‘irfan sebagai perangkat ilmu dan budaya memiliki dua pembagian, yaitu pembagian praktis dan pembagian teoritis. Bagian praktis adalah bagian yang menjelaskan tentang tugas-tugas manusia dengan dirinya, dunia dan Allah. Beliau mengemukankan, ‘irfan pada aspek ini seperti akhlak, yaitu ilmu praktis. Bagian ini disebut ilmu “sair wa suluk.” Pada bagian ini, salik (penempuh jalan spiritual) supaya berhasil mencapai puncak kemanusiaan, yaitu tauhid, maka ia harus mengetahui darimana ia harus memulai dan manazil (kedudukan-kedudukan) dan marahil (jenjang-jenjang) secara tertib yang mana yang harus dilaluinya.
Kemudian berkaitan dengan pentingnya ustad atau mursyid, Ustad Muthahari mengatakan: Tentu seluruh kedudukan dan jenjang ini harus dilalui dengan pengawasan dan kecermatan seorang insan kamil yang matang; yang ia sendiri telah melalui jalan ini dan ia sendiri mengetahui maqam ini. Dan bila perjalanan spiritual ini tidak dikawal oleh insan kamil maka dikhawatirkan akan terjadi kesesatan. Dalam melalui jenjang-jenjang dan maqam-maqam, dimana hal itu biasanya disertai dengan suara intuisi hati, ustad Muthahari menegaskan kebutuhan terhadap seorang pembimbing atau insan kamil.[2]
Jadi dalam kaca mata Muthahari, ‘irfan praktis seperti ilmu akhlak, yaitu ia membahas tentang apa yang harus dilakukan. Dengan perbedaan seperti ini: ‘sair dan suluk ‘irfan sebagaimana tampak dari pemahaman dua kata ini adalah sesuatu yang dinamis dan mobil (mudah bergerak) di samping ia mempunyai unsur-unsur spiritual yang mistik yang lebih luas.
Kemudian menurut Muthahari, ‘irfan teoritis adalah penafsiran terhadap wujud, yaitu penafsiran tentang Allah Swt, alam dan manusia. ‘Irfan dalam aspek ini seperti filsafat, dimana ia ingin menjelaskan dan menafsirkan tentang keberadaan. Hal ini berbeda dengan pembahasan yang pertama (‘irfan praktis) yang menginginkan “mengubah” manusia.[3]
Muthahari menilai bahwa komitmen terhadap syariat dan menjalankan hukum-hukum Islam merupakan konsekuensi dari ‘sair dan suluk’. Lalu beliau mengatakan: Seorang ‘arif meyakini tiga hal, yaitu: syariat, tariqat dan hakikat. Syariat merupakan sarana yang selalu digunakan untuk menjalani thariqat dan thariqat merupakan sarana untuk mencapai hakikat.
Syahid Muthahari menganggap bahwa ‘irfan minus mazhab adalah ‘irfan yang tidak berarti dan tidak mungkin. Beliau mengatakan, ‘irfan ingin dipisah dari Tuhan dan seorang arif. ‘Irfan minus Tuhan dan mazhab adalah sesuatu yang menakjubkan, tidak mungkin!
Kemudian menurut beliau, bahwa sebagaimana kalangan fuqaha meyakini aspek hukum, akhlak dan akidah dan tiga hal ini adalah sesuatu yang berbeda, maka kaum ‘urafa pun berpandangan bahwa manusia memiliki tiga unsur yang tidak terpisah, yaitu badan, nafas dan akal. Meskipun tiga hal tersebut berbeda, namun pada hakikatnya tiga hal tersebut bersatu. Dan hubungan antara yang satu dan lainnya adalah hubungan antara zahir dan batin, maka syariat, thariqat dan hakikat juga seperti ini; yakni yang satu adalah zahir yang lain adalah batin dan yang ketiga adalah batinul batin.
Ustad Syahid Muthahari memandang bahwa fitrah adalah induk dari makrifat (ummul ma’arif). Dan jalan kesempurnaan itu harus dicari melalui fitrah manusia.[4] Dalam kajian ‘irfan yang dibicarakannya, beliau selalu merujuk kepada fitrah manusia atau pengetahuan manusia terhadap dirinya.
Muhasabah dan muraqabah merupakan modal asli dari ‘irfan Islam. Menurut Muthahari, tauhidnya seorang ‘arif adalah berusaha melalui jalan dan mencapai suatu jenjang dimana di situ ia tidak melihat kepada selain Allah.
Dalam ‘irfan yang diusung oleh Muthahari, terdapat dua unsur penting, yaitu Allah dan insan kamil; yaitu tauhid dan muwahhid dan jalan mencapai maqam yang tinggi dari tauhid yang orisinil dan ‘irfan di jenjang-jenjang dan maqam-maqam. Seorang salik harus berjalan ke arah itu.
Dasar ‘irfan Islam itu berada dalam dua poros/pilar: yaitu mengenal diri dan membangun diri. Ustad Muthahari dalam pelbagai macam penjelasan dan orasinya, misalnya tentang manusia dalam Alquran dan studi kritis dalam Nahjul Balaghah, beliau menyinggung aspek tersebut dan mengingatkan akan manusia yang melupakan dirinya sendiri dan kemudian ia melupakan Allah Swt. Dan ini merupakan fator dari gangguan-gangguan pengenalan terhadap diri.
Dan termasuk faktor kebahagiaan dan kesempurnaan adalah ibadah kepada Allah Swt, berkhidmat (memberikan pelayanan) kepada orang-orang yang tidak mampu atau kaum fakir- miskin, tawakal, sabar, kelapangan hati dan takwa pada Allah Swt.
[1] آشنایی باعرفان اسلامی ص 186
[2]مجموعهآثاراستادشهيدمطهرى، ج23، ص: 27
[3] آشنایی با علوم اسلامی ج 2 ص 86
[4] Ibid. hal. 250.