Haji Ha Ha Hi Hi
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُوماتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلا رَفَثَ وَ لا فُسُوقَ وَ لا جِدالَ فِي الْحَجِّ وَ ما تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَ تَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوى وَ اتَّقُونِ يا أُولِي الْأَلْبابِ
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats,[1] berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.[2]
Judul tulisan ini terinspirasi oleh puisi negeri ha ha hi hi, karya KH. Mustafa Bisri (Gus Mus)—hafizhahullah. Tulisan ini bukanlah puisi, namun catatan untuk mengkritisi praktik haji yang salah kaprah alias negatif.
Ath-Thabrani meriwayatkan dari Ibn Abbas yang berkata bahwa terkait dengan firman-Nya, “maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji,” Nabi saw bersabda: Rafats adalah perkataan yang menggoda dan merayu wanita untuk melakukan jima’ (hubungan seksual) dan kefasikan adalah segala bentuk kemaksiatan,[3] sedangkan jidal adalah seseorang yang mendebat sahabatnya.
Ada beberapa poin penting dari ayat tersebut:
1-Haji dilaksanakan dalam bulan-bulan tertentu, yaitu bulan Syawal, Dzilqadah, dan Dzilhijah.[4]
2-Orang-orang yang telah memakai pakaian ihram maka hendaklah ia menghindari hubungan seksual, tidak melakukan dosa dan tidak pula berdebat kusir.
Dengan demikian, lingkungan haji harus suci dari kenikmatan seksual dan sunyi dari dosa-dosa serta pembicaraan yang tidak bermanfaat dan debat yang mengundang permusuhan. Sebab, di lingkungan inilah ruh manusia harus mengambil energi dan berpisah dari alam materi dan menemukan alam metafisik. Selanjutnya, tali keharmonisan dan kesetiakawanan serta persaudaraan sesama Muslim justru semakin menguat dan mengakar.
Banyak ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud jidal adalah permusuhan dan pertikaian. Imam Qurthubi mengatakan, orang-orang Arab waktu melaksanakan haji, mereka saling bermusuhan dan masing-masing mereka bahwa mengklaim bahwa hajinya lebih baik daripada selainnya. Dan ayat ini turun untuk melarang perbuatan dan klaim semacam ini.
Fakhru Razi dalam Tafsir al-Kabir mengatakan bahwa rahasia ayat tersebut hanya menyebutkan larangan tiga perbuatan, yaitu: rafats, fusuq dan jidal adalah karena dalam ilmu rasional telah ditetapkan bahwa manusia memiliki empat kekuatan: syahwaniyyah bahimiyyah (nafsu kebinatangan), ghadbaniyyah sab’uiyyah (emosi kebuasan), wahmiyyah syaithaniyyah (imajinasi setan), ‘aqliyyah mulkiyyah (akal kemalaikatan). Dan yang dimaksud seluruh ibadah adalah menundukkan tiga kekuatan, yakni syahwiyyah (nafsu), ghadabiyyah (emosi) dan wahmiyyah (imajinasi).[5]
Kemudian Alquran mengisyaratkan masalah spiritual dan sesuatu yang terkait dengan ikhlas, “Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya.” Sungguh menyenangkan ketika perbuatan hamba disaksikan oleh Allah Swt.
Lanjutan ayat itu mengatakan bahwa takwa adalah sebaik-baik bekal dalam perjalanan spiritual bagi orang-orang yang berakal. Mungkin ayat ini mengisyaratkan suatu hakikat, yaitu dalam perjalanan haji terdapat serangkaian amalan yang dengannya manusia dapat menghimpun bekal spiritual yang cukup banyak yang tidak boleh dilalaikannya. Di sana tergambar sejarah Islam dan adegan langsung spirit pengorbanan Nabi Ibrahim-‘alaihi salam serta fenemona-fenemona kedekatan dan keintiman dengan Allah Swt. Sehingga bila bekal ini didapatkan secara cukup maka ia dapat menjadi modal berharga sepanjang hidup manusia.
Paragraf dan tulisan di atas menjelaskan haji yang hakiki, lalu haji ha ha hi hi seperti apa? Dan sudahkah jamaah haji kita melaksanakan haji yang hakiki?
Haji hakiki menciptakan insan penyayang, sedangkan haji ha ha hi hi melahirkan manusia pengganyang. Haji hakiki mengorbitkan pribadi yang mengedepankan kekuatan logika, sedangkan haji ha ha hi hi selalu menawarkan logika kekuatan. Haji hakiki mengarah pada transformasi (perubahan) dari diri yang sombong (angkuh) menjadi diri yang tawaduk alias rendah hati, sedangkan haji ha ha hi hi berbau terasi karena mengklaim hanya dia dan kelompoknya yang paling suci dan mencium wewangi surgawi. Yang lain dan yang tidak seakidah denganya, pasti sesat dan akan akan dikanvaskan dalam Jahanam.
Haji hakiki menonjolkan persamaan di antara pelbagai aliran fikih Islam. Sebab sebagaimana maklum, dalam manasik haji lebih banyak ditemukan persamaan di antara pelbagai mazhab fikih dibandingkan perbedaannya. Apapun alirannya; apapun mazhabnya; apapun fahamnya, semua menuju Ka’bah, semua berpakaian ihram yang serba putih dan semua menghadap kiblat yang sama, bahkan saat berhadapan dengan Ka’bah, shalat dari arah manapun diperbolehkan. Sehingga ketika berada di depan Baitullah, pelbagai aliran Islam melaksanakan shalat dalam posisi berhadap-hadapan dan shalat mereka sah, meskipun dari arah dan penjuru yang berbeda karena Ka’bah telah mempersatukan dan mengharmoniskan mereka.
Adapun haji ha ha hi hi selalu berupaya mengukir, mengaris bawahi dan mempertajam perbedaan, bahkan mereka berusaha “membunuh” perbedaan. Haji ha ha hi hi boleh jadi secara zahir melakukan manasik dengan khusyuk dan menjalankan sunah dengan semangat berapi-api, tapi yang bersangkutan dadanya dipenuhi dengan gelora kebencian dan permusuhan kepada sesama Muslim yang berseberangan aliran dengannya.
Akhirnya, haji ha ha hi hi mungkin saja menciptakan manusia yang langganan berhaji tapi sekaligus langganan memaki. Haji ha ha hi hi dan haji hi hi ha ha (dibolak balik sama saja) adalah hajinya orang-orang yang tidak kenal diri alias tidak tahu diri sehingga mereka gagal mentransformasi diri dan mengubah diri. Sehingga mereka tidak segan-segan melakukan rafats, fusuq dan jidal, meskipun mereka sudah berhaji dan bahkan sedang menggunakan pakaian ihram, karena kebencian dan permusuhan itu sudah mendarah daging dan mengkristal dalam diri mereka. Yang demikian itu karena mereka gagal mengelola dan menundukkan kekuatan syahwiyyah, ghadabiyyah) dan wahmiyyah. Dengan kata lain, ibadah haji mereka tidak membuahkan cinta dan kasih sayang, namun justru semakin memperkuat kebencian dan kedengkian. Maka tanda diterimanya ibadah seseorang adalah bila ia semakin sayang terhadap manusia dan ciptaan Tuhan lainnya. Sebaliknya, tanda ditolaknya ibadah seseorang adalah bila ia semakin garang terhadap manusia dan ciptaan Tuhan lainnya.
Haji haji ha ha hi hi dan haji hi hi ha ha adalah haji yang bercampur dengan kefasikan.Yakni, seseorang berhaji tapi ia sadar atau tidak melumuri hajinya dengan kemaksiatan dan tuduhan/kebohongan. Misalnya, pak haji ha ha hi hi ini menuduh bahwa kelompok si A wukuf di Irak (padahan semua mazhab Islam sepakat bahwa wukuf itu hanya di Arofah); kelompok si B berhaji di bulan Muharam. Alhasil, haji haji ha ha hi hi adalah haji yang haji ha ha hi hi.
Syekh Muhammad Gazali
[1] ‘Atha mengatakan: Ar-rafats adalah sesuatu tindakan yang mendekati jima’ (hubungan seksual), seperti perkataan yang jorok/porno. Lihat Jami’ al Bayan fi Tafsir al-Qur’an, juz 2, hal. 153.
[2] QS. Al-Baqarah, ayat 197.
[3] Dalam riwayat Ibn Mardaweh fusuk dimaknai dengan kemaksiatan kebohongan.
[4] Silakan lihat Tafsir ad Dur al Mantsur, karya Imam as Suyuthi terkait dengan ayat ini.
[5] Makhzan al-‘Irfan, juz 2,hal. 249.